Jolly Roger, Semesta One Piece dan Tidak Semua Hal Bisa Dicocok-cocokkan: Sebuah Tanggapan [Lagi] untuk Funco Tanipu
Saya ingin mengulangi kalimat saya pada Funco pada tulisan saya saban hari sebagai respons atas atas tulisannya soal Yahudi—yang juga mengada-ada—pada tulisan ini namun dengan cara yang lebih provokatif: selain argumentasi yang lemah, ia juga cocoklogi dengan mengklaim bahwa ada kesamaan antara karakter dan cerita One Piece itu sendiri dengan Presiden ke-8 RI, yakni Prabowo Subianto. Saya tak tahu apa intensinya menulis soal One Piece. Sebab ketika membacanya, saya langsung mengernyitkan dahi: perasaan tidak begini, deh! Kok bisa? Dugaan saya, ia sebenarnya hanya ikut-ikutan saja merespons sesuatu tanpa mendalaminya untuk riding the wave atau memanfaatkan tren yang sedang naik. Jika itu benar, sayang sekali, ombak yang ingin ia tunggangi, sepertinya adalah knock up stream yang menghancurkan kapal-kapal dalam semesta One Piece yang gagal menuju Skypea. Jika ia ingin meraba-raba saja, maka ia sebenarnya telah berada di Calm-Belt, sebuah territori di Grand Line tanpa ombak, angin dan navigasi yang pasti. Sungguh, saya terkesima!
Tulisan Funco yang ingin saya respons itu bertajuk Bendera One Piece dan Merah Putih: Prabowo, Luffy dan Nasionalisme yang Luka, terbit pada kanal bakukabar.id pada 4 Agustus 2025. Tulisannya itu sebenarnya cuman pengen merespons maraknya berbagai kalangan yang mengibarkan Jolly Roger, bendera milik kru Topi Jerami di bulan kemerdekaan Indonesia ini dan kaitannya dengan memudarnya nasionalisme anak muda. Namun situasi berubah dengan cepat ketika ia menulis: “ada sesuatu yang tidak sengaja terbayangkan ketika membayangkan One Piece, yakni Prabowo Subianto”. Awalnya saya tidak ngeh ketika ia menuliskan itu. Tapi mulai ganjil ketika pada lanjutan tulisan tersebut, ia berusaha mati-matian mempertahankan argumentasi: ada kesamaan antara Luffy dan Prabowo. Keganjilan juga muncul ketika ia bilang menyamakan kru Mugiwara seperti Zoro, Sanji dan Nami persis Sufmi Dasco, Sugiono, dan Prasetyo Hadi, sebagai orang-orang yang setia pada Prabowo. Yang paling aneh ketika ia menulis dengan eksplisit bahwa Prabowo bukan sekadar politisi, tapi “metafora hidup dari dunia yang diciptakan Eiichiro Oda, kreator One Piece: seorang kapten kapal yang berkali-kali tenggelam, tapi tidak pernah karam”. Serius betul klaim-klaimnya itu?
Saya menulis ini tentu saja untuk meruntuhkan klaimnya. Kenapa? Karena Luffy dan Prabowo tidak (akan pernah) sama. Tak ada kesamaan pula antara Zoro, Sanji dan Nami dengan Dasco, Sugiyono dan Prasetyo. Jauh betul metafora Oda—meskipun saya sendiripun tidak percaya Oda mau metafora semacam itu—yang dibayangkan Funco tersebut dengan kehidupan Prabowo. Sebenarnya, tidak juga penting-penting amat menanggapi ini. Tapi, pada akhirnya saya ingin melakukannya. Sebabnya boleh jadi alasannya sederhana: karena saya mengikuti One Piece sejak SD sampai sekarang dan dari perjalanan panjang itu, saya tidak menemukan satu pun klaim Funco itu valid. Tulisan ini akan saya pecah menjadi tiga bagian. Pertama soal Luffy yang coba disamakan oleh Funco dengan Prabowo. Kedua soal kemunculan Bendera Jolly Roger dan refleksinya soal nasionalisme yang memudar. Bagian ketiga adalah catatan tambahan yang lebih personal soal fenomena Jolly Roger ini dalam perspektif saya sendiri.
Klaim-klaim yang Rumpang
Bagaimana membuktikan bahwa Funco tak tahu soal One Piece? Pertama, ketika ia bilang bahwa Luffy adalah “anak biasa dari pelosok desa”. Seriously? Luffy justru anak dari pemimpin Pasukan Revolusi, Monkey D. Dragon. Kakeknya, Monkey D. Garp, adalah Wakil Laksamana Angkatan Laut (Vice Admiral). Baru terungkap pada chapter 1097, Dragon ternyata pernah menjadi bagian dari angkatan laut sebelum akhirnya keluar dan membentuk Pasukan Revolusi. Luffy juga tokoh utama dengan kemampuan buah iblis karet yang diremehkan di awal-awal cerita, namun saat ini, menjadi begitu diperhitungkan setelah mengalami awakening (kebangkitan) Gear 5 pada Arc Wano di Chapter 1044 dan diperjelas lagi oleh Dr. Vegapunk pada Arc Egg Head di Chapter 1069 karena ternyata, buah iblis tersebut merupakan personifikasi dari Dewa Nika, sebuah mitologi dari dunia One Piece, sebagai Prajurit Pembebasan. Lalu, soal desa. Luffy memang dari Desa Foosha, East Blue yang dikenal lemah. Tapi tunggu dulu. East Blue justru menjadi tempat kelahiran beberapa karakter kuat seperti Gol D. Roger (raja bajak laut), Dragon dan Roronoa Zoro. Ditambah, East Blue menjadi babak awal paling penting dengan Loguetown sebagai kota tempat Roger dieksekusi dan mengucapkan kata-kata pamungkas yang menandai era baru bajak laut. Kurang istimewa apa Luffy, coba?
Kedua, ada yang ganjil ketika ia menegaskan bahwa genealogi Prabowo dengan tasalsul leluhur Luffy memiliki kesamaan. Tidak! Tidak sama. Keistimewaan Luffy tidak serta-merta membuatnya sama dengan Prabowo yang lahir dari kalangan elit—meskipun benar, Prabowo sendiri tidak pernah membesar-besarkannya. Justru, huruf “D” yang bersemayam di tengah-tengah Luffy—dan beberapa tokoh lainnya—merupakan inisial yang hidup sejak era misterius Void Century (Abad Kekosongan) menjadi manifestasi perlawanan terhadap elit dan bangsawan yang berlaku sewenang-wenang. Itu sebabnya mengapa Bajak Laut Topi Jerami menantang konsep elitisme, kebangsawanan dan segala macam tetek-bengeknya karena semua itu menjadi akar ketimpangan di dunia One Piece. Pada Arc Dressrossa, terjadi bakuhantam antara kru Topi Jerami x Trafalgar Law dengen Don Quixote Doflamingo (Chapter 700-801), salah seorang kaum naga langit (tenryubito) yang mengudeta Raja Riku dan memenjarakannya. Tampak luar, Kerajaan Dressrossa yang begitu memesona, ternyata diam-diam melakukan perbudakan, penindasan dan diskriminasi terhadap masyarakatnya. Kedatangan Luffy yang semula hanya ingin menghancurkan pabrik SMILE, tempat pembuatan buah iblis tiruan, tiba-tiba berubah: ia ingin menghajar Doflamingo sampai ke ulu hati dan membebaskan masyarakatnya dari kondisi terjajah. Hal yang sama juga terjadi pada Arc Wano ketika Bajak Laut Topi Jerami membebaskan Wanokuni dari cengkraman Kaido, salah seorang Yonkou.
Contoh ini berbeda betul dengan apa yang ditulis Funco ketika menggambarkan perlawanan leluhur Prabowo. Bagaimanapun diutak-atik, basis argumennya takkan goyah: bagi Bajak Laut Topi Jerami, elit memiliki logikanya sendiri, yakni untuk melanggengkan status quo dan untuk itulah mengapa ia harus dilawan. Pun ketika ditanya soal mengapa Luffy ingin menjadi raja bajak laut, ia tidak bilang ingin menguasai dunia, pun ingin mengukuhkan kelas-kelas sosial baru untuk berkuasa. Sebaliknya, jawaban atas pertanyaan ini sangat sederhana—dan kenapa itulah saya begitu menyukai One Piece—yang muncul pada Arc Sabaody chapter 507, ketika Silver Rayleigh (tangan kanan Roger) bertanya pada Luffy “kau ingin menaklukkan lautan ini dan menjadi Raja Bajak Laut?”. Jawaban Luffy di luar nurul: “aku tidak ingin menaklukkan apa pun. Tapi aku tahu bahwa dia yang paling bebas… adalah raja bajak laut!”. Dalam hal ini, tegaslah definisi raja bajak laut, yakni orang paling bebas di dunia, alih-alih memegang kekuasaan tertentu untuk melakukan segalanya. Di sinilah juga tampak pertentangan antara kebebasan vs. kekuasaan. Kebebasan dalam dunia One Piece sesederhana “melakukan apa pun dan bersenang-senang seperti Luffy”. Kontras sekali dengan kekuasaan yang kerap kali menggunakan senjata paling purba dalam sejarah peradaban umat manusia, yakni rasa takut dan kendali.
Ketiga, adalah metafora Eiichiro Oda pada Luffy sebagai “seorang kapten kapal yang berkali-kali tenggelam, tapi tidak pernah karam”. Ada benarnya. Sebab, Luffy, pernah kalah khususnya ketika Arc Marineford ketika ingin menyelamatkan kakaknya, Portgas D. Ace yang hendak dieksekusi oleh pemerintah dunia. Namun bagi saya, metafora dunia One Piece tidak sesederhana itu. Justru, Oda sedang menggambarkan bagaimana dunia ini bekerja: pertentangan kelas, perbudakan, kolonialisme, otoritarianisme, tirani dan despotisme, yang menciptakan ketimpangan sosial pada rakyat kecil. Luffy juga pernah ditinggalkan krunya, yakni Usopp, pada Arc Water Seven (Chapter 322-374), karena Going Merry, yang rusak parah. Usopp lantas menyadari kesalahannya dan kembali bergabung dengan kru setelah meminta maaf. Lebih-lebih, menyamakan Zoro, Nami dan Sanji sama dengan Dasco, Sugiyono dan Prasetyo Hadi hanya karena kesetiaan dan pengorbanan juga merupakan tindakan melebih-lebihkan. Sebab, titik berangkat dua tipe kru itu saling bertentangan sejak awal. Zoro, Nami dan Sanji dari kalangan bajak laut; sedang Dasco, Sugiyono dan Prasetyo Hadi itu dari kalangan pemerintah. Posisi ideologis ini menentukan tindakan mereka, khususnya terhadap kaum naga langit (tenryubito). Nami begitu membenci mereka. Sanji, yang bahkan berasal dari keluarga bangsawan, justru menunjukkan sikap anti-tenryubito, karena baginya itu simbol perbudakan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dipegangnya. Apalagi Zoro, hampir menebas kepala tenryubito di Arc Sabaody. Apakah Dasco, Sugiyono dan Prasetyo juga membenci elit? Justru, dalam dugaan saya, ketiganya berdiri bersama elit dan mengukuhkan “arsitektur kekuasaan lewat rekonsiliasi dan konsolidasi” sebagaimana pernah ditulis oleh Funco sendiri sebelumnya belum lama ini dengan judul Politik Baru Prabowo (Bakukabar.id, 2025)
Nasionalisme yang Memudar?
Harus diakui bahwa dua argumentasi Funco, khususnya di sub-poin kedua tulisannya benar: Jolly Roger bukan ancaman atau tuduhan kurang nasionalis kepada siapa pun yang mengibarkannya. Tapi keanehan sekali lagi muncul ketika ia menulis bahwa tindakan tersebut lahir dari berbagai “paradoks” karena “kekosongan ruang representasi”. Tidak. Bukan. Bukan begitu. Justru, semesta One Piece hadir karena keyakinan bahwa representasi tidak diberi oleh otoritas tertentu, melainkan harus direbut dengan pertarungan-pertarungan. Itu sebabnya, Jolly Roger sedari awal tengah menunjukkan garis pembatas yang begitu jelas: perlawanan terhadap otoritas terpusat yang seolah-oleh bertanggungjawab “mengisi” kekosongan representasi. Di situ bedanya! Begitulah akumulasi kekecewaan yang dirasakan oleh mereka yang mengibarkan Jolly Roger terhadap kondisi yang terjadi hari ini: bahwa mereka hidup di dunia yang tidak jauh berbeda dengan semesta ciptaan Oda di mana ketakutan dan kendali selalu muncul. Sayangnya, sebagai kritik, Jolly Roger justru dicap sebagai upaya memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa, sebagaimana ucap Dasco 5 hari lalu di Gedung DPR RI. Mereka yang mengibarkannya bahkan diancam pidana oleh Menko Polkam, Budi Gunawan. Di berbagai platform media sosial, bahkan bersileweran video penghapusan mural One Piece dan penurunan Jolly Roger karena dianggap “kurang mewakili rasa nasionalisme”.
Sayangnya, sikap Funco meskipun yang terlihat seolah-olah menyayangkan tindakan pemerintah dengan mengajukan pertanyaan reflektif tentang nasionalisme yang telah memudar, namun sebenarnya juga tidak pasti posisinya di mana. Sebab ia juga menulis menulis “respons terhadap fenomena ini tidak cukup hanya berupa larangan atau sanksi”. Jadi, tidak jelas sebenarnya apakah dia sendiri menyayangkan atau mendukung pembungkaman? Tapi, apakah benar nasionalisme kita memudar hanya karena Jolly Roger berkibar? Sulit sekali menjawab ini. Sebab komunitas, kelompok, kolektif dan berbagai gerakan sosial ramai-ramai mengibarkan Jolly Roger itu memiliki tendensi yang berbeda-beda. Jolly Roger bahkan pernah digunakan Wakil Presiden Gibran ketika kampanye dan debat-debat politik untuk menggaet suara publik, khususnya para nakama One Piece dan wibu lainnya karena kuantitasnya. Sri Mulyani, Menteri Keuangan era rezim ini pun pernah mengunggah fotonya menggunakan topi jerami persis Luffy di akun instagramnya. Namun jika ingin dipersempit pada konteks hari ini, boleh jadi tindakan ini berhasil menggambarkan kekacauan dunia One Piece yang merepresentasikan kondisi Indonesia hari ini di mana setiap jengkal pulaunya telah dikuasai oleh konsesi-konsesi berbagai industri ekstraktif raksasa yang digunakan untuk memenuhi kepentingan segelintir orang saja lewat berbagai mekanisme politik tertentu yang jamak menabrak dan atau mengutak-atik aturan untuk memuluskan investasi berbasis sumber daya alam.
Hal ini misalnya mengingatkan saya ketika melakukan riset di Maluku Utara pada pertengahan hingga akhir 2023, saya menyaksikan betul dampak dari perusahaan nikel IWIP terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat, khususnya nelayan skala kecil yang terdampak aktivitas perusahaan yang membuat sungai keruh, banjir, nelayan sulit melaut, hingga berbagai pelanggaran ham yang terjadi pada masyarakat adat (unduh laporannya di sini). Saya bahkan berbincang-bincang dengan salah seorang nelayan perempuan yang penuh ketakutan saat memancing ikan di tepian pantai karena was-was ditangkap aparat. Hal ini bahkan dilakukan dengan menerobos beberapa aturan kunci yang telah menegaskan pentingnya menjaga lingkungan hidup sebagai bagian integral dari HAM. Pada konteks yang lebih lokal, Gorontalo juga mengalami hal yang, bagi saya, sama, di mana ekosistem hulu hingga hilirnya sedang mengalami penghancuran sistematik berbagai industri ekstraktif Sawit, Hutan Tanaman Energi, monokultur jagung dan tebu, serta pertambangan emas. Di dalam dunia One Piece, dampak perusakan ini persis dengan apa yang pernah terjadi di berbagai Arc One Piece, khususnya Dressrossa dan Wano, di mana kedaulatan rakyat dan identitas lokal dihapus, dan rakyat mengalami penindasan yang sistemik.
Pada saat yang sama, daripada berhenti pada persoalan nasionalisme yang memudar, Jolly Roger yang berkibar sebenarnya menunjukkan watak dasar dari kekuasaan yang, sebagaimana tulis Scott di dalam Weapons of the Weak (1985), seringkali ketakutan pada bentuk-bentuk perlawanan rakyat seperti gosip, ejekan dan permainan simbol. Bagi Scott, meskipun itu hanya sinyal kecil, namun berpotensi membuat negara mengambil tindakan represif karena terjadi ketidakpatuhan terhadap otoritas terpusat. Begitulah yang terjadi. Bahwa di hadapan bendera yang sebenarnya membawa simbol kebebasan, impian, dan persahabatan, negara merasa terancam. Keterancaman ini, pada akhirnya, menciptakan berbagai pengekangan: siapa yang boleh bicara dan berekspresi, bahkan siapa yang boleh menuliskan sejarah. Semuanya diintensikan untuk satu hal: menjaga stabilitas.
Beberapa Catatan Tambahan
Hampir 20 tahun mengikuti One Piece setiap minggunya; dari berbagai stasiun tv hingga platform video gratisan di internet saat ini, baru kali ini saya merasa begitu aneh: mengapa film kartun yang lahir dari corat-coret di atas kertas, fiksi pula, berhasil membuat otoritas negara terganggu? Padahal, karakter di dalam dunia Oda itu kalau mau dibilang begitu absurd. Jalan ceritanya pun begitu panjang dan bikin pusing. Sampai saat ini, One Piece sudah pada Chapter 1156, sedang animenya sudah di episode 1138. Itu juga alasan mengapa orang lain enggan mulai menonton One Piece karena sudah terlampau jauh. Kama misalnya, di dalam tulisannya berjudul One Piece dan Sepotong Nasionalisme yang Hilang (Trilogis, 2025), memilih menonton Kimetsu No Yaiba—anime yang juga saya ikuti. Ia mengaku bahwa generasi One Piece juga turut membentuk lanskap emosinya. Ia, yang juga menjadi anggota penguasa saat ini secara eksplisit tidak menyalahkan fenomena ini karena baginya, itu hal yang normal sebagai akibat dari perjumpaan identitas yang makin cair: “lokal dan global, antara identitas nasional dan ekspresi individu”.
Mawan melepaskan kritiknya ada pada soal Jolly Roger yang ia duga, berkibar lebih tinggi dan viral dibandingan bendera Merah Putih. Ia bahkan menyebut bahwa ini adalah ekspresi FOMO (fear of missing out). Intinya, Mawan mau bilang, bahwa gerakan ini “ikut-ikutan” dan untuk itulah, perlu ada refleksi yang serius lewat pertanyaan “apakah kesadaran kita tentang Indonesia memudar?” Sebenarnya, Mawan juga gagal melihat fenomena ini. Pertama, soal FOMO. Bagi saya, Jolly Roger bukan FOMO, melainkan hal penting sebagai bagian dari menjaga ingatan agar tetap waras di tengah-tengah berbagai kondisi ketimpangan riil, yang terjadi saat ini. Dari banyak diskusi kami, Mawan tahu soal ini.
Saya ingat betul tulisan Zen RS bertajuk Biar Gak Salah Kaprah Soal Rimpang yang boleh jadi dapat menggambarkan fenomena Jolly Roger ini sebagai bagian dari Gerakan Rimpang. Bagi Zen, Gerakan Rimpang itu seperti pohon yang punya batang, cabang, lalu daun. Akarnya menyebar, menyelinap ke mana-mena, dan tiap simpulnya hidup sendiri tapi saling sambung. Gerakan Rimpang juga bukan serta merta karena ia viral, melainkan karena kedalaman relasi. Rimpang juga bukan soal ada barisan, kaderisasi dan semuanya organik, melainkan rimpang itu menekankan pada simpul yang kuat, mandiri, dan punya daya tahan tersendiri. Yang paling penting, rimpang bukan soal spontanitas, melainkan soal siapa yang menjaga ingatan secara terus-menerus. Bentuk-bentuk manifestasinyalah yang boleh jadi berbeda. Dalam hal inilah, boleh jadi saya keliru. Namun saya berpendapat bahwa Jolly Roger adalah bagian kecil, boleh jadi dia batang, daun, atau bahkan salah satu cabang atau akar dari pohon besar yang turut memupuk gerakan rimpang ini tetap hidup. Seperti daun, atau cabang, bahkan salah satu dari bagian akar pohon yang rentan gugur dan layu, fenomena ini boleh saja sementara. Namun ingatan yang terhubung dengan kondisi-kondisi konkrit ini berusaha terus dijaga dan pada momen inilah ia hidup dengan wajah yang baru, yakni Jolly Roger.
Simbol ini juga bukan sekadar “melawan-dan-terus-melawan”. Tidak begitu. Sebab sekali lagi, tindakan ini temporal dan populis. Ia bisa saja, dan sangat mungkin, berhenti di tengah jalan karena habis waktu atau ditekan lewat berbagai upaya. Namun bukan berarti dia tidak mungkin muncul dengan bentuk-bentuk yang lain. Itu sebabnya, kata Zen, ia harus dikonsolidasikan. Lalu, jika kalah, apa yang terjadi? Tentu saja belajar lagi dari kegagalan dan merekonsolidasi diri. Perubahan tidak hadir satu hari, satu momen, apa lagi hanya gara-gara Jolly Roger. Penting dicatat juga, hari-hari belakangan ini momen One Piece. Namun bisa jadi di masa depan, Naruto atau Kimetsu No Yaiba pujaan Mawan-lah yang akan muncul sebagai simbol perlawanan. Dengan kata lain, bukan Jolly Roger-nya lah yang membuat orang-orang antusias, melainkan kondisi-kondisi timpanglah yang membuat setiap orang terhubung dan merasa terwakili dengan semesta One Piece karena pada dasarnya berada dalam kondisi rentan di hadapan otoritas yang lebih kuat. Dengan demikian lagi, Jolly Roger, atau emblem Konoha, atau bisa jadi Pedang Nichirin, bukanlah satu-satunya faktor, melainkan, mengutip Zen RS, adalah “pengalaman solidaritas yang sangat material”. Jika begitu, maka One Piece setidak-tidaknya menjadi pengalaman bersama dan karena itulah, meskipun ada banyak yang tidak mengikuti One Piece namun turut mengibarkan Jolly Roger, tidak bisa dianggap FOMO, Mawan! Mereka adalah harapan yang hidup!
Terakhir, saya ingin kembali ke premis awal: tidak semua hal bisa seenaknya dicocok-cocokkan sebab justru alih-alih mendulang simpati, hal ini justru menjelaskan ketidaktahuan atas suatu persoalan karena menganggap semua sama padahal, jika didedah mendalam berbeda. Tidak ada yang salah untuk memulai menonton One Piece hari ini. Pelan-pelan tidak mengapa. Dan karena saya salah satu penggemar berat One Piece, saya mengamini ungkapan populer para Nakama: semoga kita semua diberi umur yang banyak-banyak untuk mengetahui ending One Piece!
“Kaizoku oni ore wa naru!”***
Oleh : Tarmizi Arief Abbas – Peneliti/Nakama One Piece sejak 2005.