Kabar Duka: Kiai Imam Aziz, Murid Gus Dur dan Intelektual NU, Wafat di Usia 63 Tahun
BAKUKABAR.id – Dunia aktivis sosial dan warga Nahdlatul Ulama (NU) tengah berduka. Salah satu tokoh penting pergerakan Islam progresif, KH. Imam Aziz, wafat di usia 63 tahun pada Sabtu dini hari (12/7/2025) di Yogyakarta.
Kiai Imam dikenal luas sebagai murid langsung Presiden ke-4 RI, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ia adalah figur kiai sekaligus intelektual yang aktif menggerakkan diskursus Islam yang berpihak kepada keadilan sosial, demokrasi, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kabar wafatnya dibagikan oleh banyak tokoh dan organisasi melalui media sosial, termasuk di antaranya para sahabat dekat dan kolega perjuangannya.
Salah satu tokoh nasional yang turut melayat adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD. Dalam unggahan di akun Facebook pribadinya, Mahfud menyampaikan duka mendalam atas wafatnya Kiai Imam.
“Saya melayat kepergian sahabat, Kyai Imam Aziz, intelektual NU yang meninggal dunia dini hari tadi di Yogyakarta. Almarhum dikenal kritis dalam pengembangan pemikiran Islam. Pendiri Lembaga Kajian Islam dan Sosial, Ketua PBNU, terakhir menjadi Staf Khusus Wapres Kyai Ma’ruf Amin. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu,” tulis Mahfud.
Kiai Imam Aziz dikenal sebagai pendiri Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS)—salah satu pusat intelektual Islam progresif yang berpengaruh sejak era 1990-an. Kiprahnya di PBNU semasa menjadi Ketua juga menunjukkan konsistensinya dalam menjembatani nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin dengan kebutuhan perubahan sosial.
Hingga akhir hayatnya, ia menjabat sebagai Staf Khusus Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin. Meski berada di lingkar kekuasaan, ia tetap dikenal sebagai tokoh yang kritis, jujur, dan berpihak kepada rakyat kecil.
Sekilas tentang KH. Imam Azis
Pada sebuah tulisan yang tayang di media alif.id yang ditulis Rekki Zakkia aktivis di Front Perjuangan Pemuda Indonesia, bahwa Kiai Imam Aziz bukan hanya seorang kiai. Ia adalah jembatan antara visi langit dan aksi bumi, antara ruh Islam yang murni dengan dunia sosial-politik yang berkelok dan keruh. Di tengah pusaran zaman yang sarat kepentingan, ia hadir sebagai penanda arah, sebagai suara yang tetap jernih meski di tengah kegaduhan.
“Beliau tidak sekadar berbicara tentang demokrasi; ia menghidupinya, mempraktikkannya, dan menjadikannya bagian dari laku spiritual dan tindakan kultural. Baginya, Islam bukan sekadar doktrin yang dihafalkan atau ibadah yang dilazimkan. Islam adalah kesadaran, adalah keberpihakan. Islam adalah etika pembebasan sosial. Bersamanya, aku belajar bahwa iman dan keberpihakan tidak bisa dipisahkan. Keduanya adalah satu napas perjuangan”, tulis Rekki.
Bagi ia, Kiai Imam adalah ‘Kiai Kiri’, dalam makna yang paling mulia, agung, tinggi, dan luhur. Kiri bukan sekadar label ideologis, tapi keberanian memilih jalan sunyi—jalan yang menantang, ketika banyak yang lebih memilih diam di zona nyaman. Ia berdiri di sisi mereka yang lemah, berpihak pada yang tertindas, tak goyah meski banyak yang menempuh jalan kompromi.
Menurutnya, Kiai Imam Aziz memaknai Islam bukan sebagai agama individual semata, tetapi sebagai jalan hidup kolektif: untuk pembebasan, untuk keadilan, untuk kesejahteraan umat, untuk kemanusiaan. Di masanya, dan juga di masa kini, tak banyak yang berani bersikap seperti beliau. Ia tegak lurus di garis perjuangan, tak tunduk pada kompromi murahan, tak silau oleh gemerlap kekuasaan.
“Ia bukan kiai panggung. Ia adalah kiai jalanan. Yang hidup bersama rakyat, merasakan denyut luka mereka, dan menyuarakan jerit yang tak terdengar. Keteguhannya bukan hanya soal keyakinan, tapi keberanian untuk tetap berada di jalan yang benar, bahkan ketika jalan itu sepi”, tulis Anggota di Departemen Agitasi dan Propaganda Rakyat Kuasa.
Dilansir dari NU Online, Almarhum yang bernama lengkap Muhammad Imam Aziz dilahirkan di Pati, Jawa Tengah pada 29 Maret 1962. Ayahnya bernama KH Abdul Aziz Yasin, santri KH Ali Maksum Krapyak (Rais Aam PBNU 1981-1984). Sementara ibunya Hj. Fathimah.
Semasa kuliah di Institut Agama Islam Negeri (sekarang Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Lembaga Pers Mahasiswa Arena.
KH Imam Aziz dikenal sebagai tokoh penting gerakan kaum muda NU yang pernah melakukan Mubes Warga NU di Cirebon tahun 2004 untuk mengawal Khittah NU; Nahdliyin Crisis Center pada Muktamar NU di Boyolali.
Ia juga dikenal dalam Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat) yang berbicara soal rekonsiliasi nasional dari kalangan santri juga merupakan salah seorang pendiri Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta.
Saat di PBNU, ia merupakan salah seorang yang mendukung dalam penerbitan Ensiklopedia NU (2014) serta berperan besar pada penyelenggaraan dua perhelatan akbar NU, yaitu sebagai Ketua Panitia Muktamar ke-33 NU yang berlangsung di empat pesantren di Jombang pada 2015 dan Muktamar ke-34 NU di Lampung pada 2021.
Kiai Imam Azis di makamkan di Komplek Pondok Pesantren Bumi Cendekia, Yogyakarta, Gombang, Titroadi, Mlati Sleman DIY.