Kemarahan di Paruh Ramadan
Jokowi dikenal sebagai presiden yang tanpa malu-malu melakukan manuver pengerahan polisi dalam pemenangan Pilpres 2024. Publik pun dengan sinis dan sarkas menyebut ada fenomena “NKRI” alias “negara kepolisian republik indonesia”. Bahkan mengolok kepolisian sebagai “partai cokelat” alias parcok yang memenangkan wapres fufufafa dan dinasti Jokowi.
Kini Prabowo mendorong fungsi baru bagi TNI dalam kehidupan sosial politik. Tidak lagi hanya dwi fungsi, seperti pada era mertuanya, Soeharto. Tetapi sudah menjadi “multi fungsi”. Lalu perubahan UU No.34/2004 tentang TNI dikebut untuk mewadahi ambisi presiden. Anggota DPR dan partai-partai yang bermental centeng pun ramai-ramai berani dan tanpa rasa malu bikin rapat tertutup di hotel. Akhirnya sampai digeruduk para aktivis.
Kemarahan publik di paruh ramadan pun makin menyeruak di tengah-tengah situasi ekonomi yang tidak baik-baik saja. Atau saat layanan publik dan perlindungan sosial makin memburuk karena “efisiensi anggaran”. Terlebih setelah publik makin mafhum bahwa efisiensi yang dimaksud tidak lebih dari hanya sekedar sebagai cover up terhadap ambisi populisme rezim yaitu “makan gratis” dan pembentukan lembaga keuangan Danantara. Danantara dibangun untuk membantu para investor (terutama para oligarki tambang dan sawit) dengan cara menguras dana kesejahteraan rakyat.
Saat ini, seakan ada kegentingan untuk menyeret tentara ke dalam ranah sipil untuk mengawal ambisi rezim prabowo-gibran (Jokowi). Perubahan UU No.34 memang masih berlangsung. Tetapi TNI sudah merambah ke berbagai rimba jabatan sipil bahkan ke berbagai proyek seperti food estate, termasuk proyek makan gratis. Kasad Jenderal Maruli Sitompoel bahkan sudah menunjukkan ekspresi tak suka terhadap siapapun yang memprotes pergerakan dan perubahan landasan hukum TNI (tak ubahnya sang mertuanya sendiri, Jenderal Luhut Binsar Panjaitan saat masih menjadi pembantu Jokowi).
Apakah ini pertanda bahwa kritisisme yang makin bertumbuh akan berhadapan (lagi) langsung dengan militerisme? Tentu, dan sudah bisa dipastikan. Bila suara atau kehendak publik tak didengar lagi, maka hanya kemarahan publik dan pembangkangan sipil (civil disobedience) yang bisa mengatasi kepongahan rezim ini.
Maka, bersiap-siaplah untuk situasi yang lebih represif.
Penulis : Rio Ismail ( Aktivis, Praktisi Komunikasi dan Pubic Educators)