KH. Abd. Muin Yusuf: Menanamkan Akar NU di Bumi Sidrap

Tokoh Kunci di Balik NU Sidrap

Dalam sejarah perjalanan Nahdlatul Ulama (NU) di Sulawesi Selatan, nama KH. Abd. Muin Yusuf memiliki posisi istimewa. Ia bukan hanya dikenal sebagai muassis (pendiri) NU Sidrap, melainkan juga sebagai sosok kiai yang menanamkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) melalui jalur dakwah, pendidikan, dan keteladanan hidup. Perannya tidak sekadar administratif; ia menjadi penggerak ideologis, kultural, dan spiritual dalam membangun tradisi keagamaan NU di tengah masyarakat Sidrap yang kala itu masih kuat dengan tradisi lokal, tarekat, hingga pengaruh aliran-aliran modernisme keagamaan.

Pada pertengahan abad ke-20, Sidrap (Sidenreng Rappang) dikenal sebagai wilayah agraris yang sangat kuat menjaga nilai adat, ikatan kekerabatan, dan kewibawaan ulama. Penyebaran paham Aswaja, khususnya dalam bingkai NU, menuntut pendekatan yang bijak, sabar, dan memahami akar tradisi masyarakat setempat. Di titik inilah ketokohan KH. Abd. Muin Yusuf menemukan relevansinya. Latar belakang pendidikan pesantren berbasis kitab kuning dan tarekat menjadikan dakwahnya kaya akan nilai tasamuh (toleransi) dan tawazun (keseimbangan).

Mendirikan NU Sidrap: Dari Masjid ke Organisasi

KH. Abd. Muin Yusuf bukan sekadar ulama biasa. Ia sadar betul bahwa organisasi adalah alat penting dalam menjaga dan merawat ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Dengan jejaring luas bersama tokoh-tokoh NU di Makassar, Parepare, Bone, dan Wajo, ia mulai memikirkan pentingnya membangun struktur resmi NU di Sidrap. Pada dekade 1960-an, ia memprakarsai berdirinya NU Cabang Sidrap sebagai wadah konsolidasi kiai kampung, ulama pesantren, dan tokoh agama untuk menjaga keberlangsungan tradisi keagamaan yang inklusif dan ramah tradisi.

Selain menguatkan NU secara struktural, KH. Abd. Muin Yusuf juga aktif mengajarkan kitab-kitab klasik seperti Tafsir Jalalain, Fathul Mu’in, Al-Hikam, dan karya-karya Imam Al-Ghazali. Ia rutin menghidupkan pengajian-pengajian di masjid, langgar, hingga pesantren kecil binaannya. Dari sinilah lahir generasi kiai muda yang kelak meneruskan perjuangannya menjaga dakwah Aswaja.

Jejaring Ulama dan Penguatan Aswaja di Sulawesi Selatan

Dalam membangun NU di Sidrap, KH. Abd. Muin Yusuf menjalin hubungan erat dengan ulama-ulama penting NU Sulawesi Selatan. Ia dikenal dekat dengan tokoh-tokoh seperti KH. Muhammad Ramli, KH. Djamaluddin Assegaf, KH. Syaifuddin, dan lainnya yang kala itu menjadi rujukan keilmuan dan organisatoris NU. Jejaring ini bukan sekadar memperkuat dukungan moral, tapi juga memberikan legitimasi kuat bagi NU Sidrap dalam peta pergerakan NU di Sulawesi Selatan.

Warisan terbesarnya bukan semata organisasi, tapi nilai-nilai wasathiyah (moderasi), mahabbah (kasih sayang), dan ukhuwah (persaudaraan) yang ia tanamkan dalam kehidupan masyarakat. NU bagi KH. Abd. Muin Yusuf bukan soal kepengurusan, tapi soal menjaga hati umat tetap dalam orbit kecintaan kepada Allah, Rasulullah, dan ulama.

Dari Pesantren hingga Tafsir Bugis: Kiprah Keilmuan yang Langka

KH. Abdul Muin Yusuf lahir di Rappang, 21 Mei 1920. Sejak kecil, ia tekun menuntut ilmu di Inlandsche School, lalu melanjutkan ke Madrasah Ainur Rafieq, dan kemudian memperdalam ilmu agama di Madrasah Arabiyah Islamiyah Sengkang di bawah bimbingan Anregurutta Muhammad As’ad, ulama besar Sulawesi Selatan.

Pada April 1974, beliau mendirikan Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqa di Benteng Sidrap, yang dikenal sebagai pesantren pertama di kabupaten tersebut. Melalui pesantren ini, ia mencetak generasi baru yang kokoh dalam tradisi Aswaja dan berakar kuat pada keislaman rahmatan lil alamin.

Salah satu karya monumental KH. Abd. Muin Yusuf adalah penyusunan tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Bugis berjudul Tafsere Akorang Ma’basa Ogi. Karya ini disusun selama delapan tahun, mencakup 30 juz, dan menjadi karya langka yang menggabungkan keilmuan tafsir klasik dengan pendekatan kultural Bugis. Di sini, ia membuktikan bahwa dakwah dapat berjalan harmonis bersama budaya lokal.

Ungkapan yang terkenal darinya, “accemali‑maliko naekiyaa aja numali” (“ikut arus namun terbawa arus”), mencerminkan kearifannya dalam menghadapi tekanan sosial-politik tanpa kehilangan prinsip keilmuan dan keteguhan dakwah. Ia lebih memilih merawat umat daripada larut dalam pusaran konflik kekuasaan.

Kiai yang Membumi, Dakwah yang Menyejukkan

KH. Abd. Muin Yusuf dikenal sebagai sosok kiai yang dekat dengan masyarakat, lembut dalam tutur kata, dan sederhana dalam menyampaikan pesan agama. Ia tidak berbicara untuk didengar, melainkan untuk dipahami. Ia tidak tampil untuk dipuja, tetapi untuk melayani umat. Tak heran, hingga wafatnya pada 23 Juni 2004, haul beliau masih rutin diperingati oleh ribuan santri dan masyarakat luas.

Jejak KH. Abd. Muin Yusuf membuktikan bahwa NU di Sidrap bukan gerakan dari luar, melainkan tumbuh dari dalam: dari masjid, pesantren, dan dialek Bugis. NU hadir sebagai perpanjangan kearifan lokal, bukan penghapusnya. Ia menjadi penjaga tradisi, perawat sosial, dan perekat bangsa tanpa kehilangan identitas budaya.

Warisan Abadi: Bukan Gedung, tapi Nilai

Warisan KH. Abd. Muin Yusuf bukan sekadar bangunan fisik atau lembaga organisasi, tapi nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, ketekunan, dan keteguhan menjaga kebenaran. Warisan ini hidup dalam ingatan kolektif umat yang rindu akan dakwah yang menyejukkan, ajaran yang membebaskan, dan ilmu yang mencerahkan.

Generasi muda NU Sidrap hari ini memikul tanggung jawab moral untuk melanjutkan perjuangan para Anregurutta. Tugas mereka bukan hanya mempertahankan nama NU, tetapi meneruskan ruh perjuangan: ilmu, akhlak, dan pengabdian. Menelusuri jejak beliau bukan sekadar mengenang sejarah, tapi membaca peta masa depan.

NU Sidrap tak akan besar karena struktur semata, tetapi karena ruh dan nilai yang diwariskan. Itulah suluh dalam gelap, tonggak dalam arus, dan mata air di tengah dahaga zaman.

Penulis: Zaenuddin Endy
(Koordinator Instruktur PKPNU Sulawesi Selatan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup