KH. Abdul Hamid: Jejak Muassis NU Bantaeng

KH. Abdul Hamid, Muasis Nahdlatul Ulama Bantaeng, Sulawesi Selatan/ FOTO : Zaenuddin Endy

Nama KH. Abdul Hamid mungkin tidak sepopuler tokoh-tokoh nasional pendiri Nahdlatul Ulama (NU), namun jejak langkahnya sebagai muassis NU di Bantaeng menempati tempat penting dalam sejarah dakwah Islam tradisional di Sulawesi Selatan. Beliau bukan hanya seorang guru ngaji, melainkan penjaga tradisi keilmuan Islam klasik yang diwariskan dari Haramain ke kampung-kampung pelosok Sulsel.

KH. Abdul Hamid lahir sekitar tahun 1909 di Labakkang, Kabupaten Pangkep, dari pasangan keluarga taat agama. Ibunya bernama Hj. Suhrah. Saat berusia sekitar 10 tahun, ia dibawa ayahnya ke Salemo untuk tinggal dan belajar bersama pamannya, Puang Lanti, seorang tokoh keagamaan setempat. Pendidikan awal ini menjadi pondasi penting bagi perjalanan intelektualnya kelak.

Pada usia 15 tahun, semangat menuntut ilmunya membawanya ke Tanah Suci Mekkah. Di sana, ia berguru kepada KH. Abdul Asis Al-Bugisi, ulama Bugis yang menetap di Haramain. Di bawah bimbingan para ulama besar, KH. Abdul Hamid mendalami ilmu fiqh Mazhab Syafi’i, tasawuf Imam al-Ghazali, hadis Shahih Bukhari, serta ilmu alat seperti nahwu, sharaf, dan balaghah.

Ia menjadi bagian dari jaringan intelektual pesantren yang memiliki sanad keilmuan kuat, berakar dari Syekh Nawawi al-Bantani hingga Imam Nawawi di Syam (Suriah). Rantai keilmuan ini menjadi modal penting yang ia bawa pulang ke tanah air pada 1929, menjadikannya salah satu penyambung warisan ulama besar dunia Islam ke komunitas lokal Sulawesi Selatan.

Alih-alih memilih kota besar, KH. Abdul Hamid justru menetap di daerah terpencil dan menyusuri kampung-kampung seperti Madalle, Segeri, Bissampole, Banyorang (Bantaeng), hingga Jeneponto. Di setiap tempat, beliau aktif dalam halaqah, menyebarkan ilmu melalui metode sorogan—membaca kitab di hadapan guru—yang khas pesantren tradisional.

Kiprahnya di Bantaeng menjadi sangat menonjol. Bersama KH. Jabbar Arafah dan KH. Yusuf Sulaiman, ia membangun Masjid Ruhul Amin di Bissampole. Masjid ini menjadi pusat ibadah sekaligus ruang pendidikan keagamaan nonformal. Pengajian rutin selepas Maghrib dan Subuh digelar untuk masyarakat, memperkuat akar spiritual dan intelektual komunitas desa.

Puncak kontribusinya dalam dunia pendidikan terjadi saat ia menggagas pendirian Madrasah Aliyah Ma’arif NU Lasepang pada tahun 1958. Di madrasah ini, beliau mengajar hingga akhir hayatnya. Ia membimbing santri dengan kitab-kitab seperti Fathul Mu’in (fiqh), Shahih Bukhari (hadis), dan Tuhfatul Muhtaj (fiqh lanjutan), menegaskan orientasi keilmuannya yang mendalam pada Mazhab Syafi’i dan tradisi tasawuf ala al-Ghazali.

Nilai-nilai lokal seperti siri’ (harga diri) dan pacce (empati sosial), yang menjadi etika khas Bugis-Makassar, ia gunakan sebagai pendekatan pedagogis. Islam yang ia ajarkan bukan sekadar normatif, tetapi membumi, menyatu dalam kebudayaan masyarakat. Itulah sebabnya, masyarakat menerima dakwahnya dengan lapang dan hormat.

Sanad keilmuan KH. Abdul Hamid tidak hanya terekam dalam catatan biografis, tetapi hidup dalam ingatan para muridnya: Kyai Madalle, Kyai Lasepang, dan tokoh-tokoh NU generasi awal di Bantaeng. Dari mereka, estafet dakwah Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah terus berkembang di wilayah selatan Sulawesi hingga kini.

Dalam lanskap sejarah NU Sulawesi Selatan, KH. Abdul Hamid memiliki posisi unik sebagai pelopor pendidikan Islam berbasis pesantren dan pendakwah yang istiqamah di pelosok desa. Keistiqamahan beliau mengajarkan ilmu dalam kesunyian dusun dan kekhusyukan masjid desa merupakan teladan keulamaan yang langka di era sekarang. Ia mengajarkan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari tempat kecil—asal dijalani dengan ilmu dan keikhlasan.

KH. Abdul Hamid wafat pada tahun 2001. Namun, warisan ilmunya tetap hidup. Masjid Ruhul Amin masih berdiri, Madrasah Ma’arif NU Lasepang masih mengajarkan kitab kuning, dan para santri dari generasi ke generasi masih menyebut namanya dalam doa-doa dan pelajaran mereka. Sejarah tidak pernah diam, dan dalam setiap denyut sejarah NU Bantaeng, nama KH. Abdul Hamid akan terus disebut sebagai pelita keilmuan dan keteladanan yang tak padam.

Oleh: Zaenuddin EndyKoordinator Pendidikan Kader Penggerak Nusantara (PKPNU) Sulawesi Selatan

*Disclaimer: opini maupun ulasan di bakukabar.id sepenuhnya tanggung jawab penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup