KH. Adam Zakaria: Ulama Tanpa Pesantren yang Melahirkan Banyak Ulama
Barangkali tidak semua orang mengenal sosok ulama masyhur Gorontalo yang satu ini. Namun di kalangan para santri, guru agama, dan tokoh masyarakat, nama KH. Adam Zakaria dikenang sebagai ulama yang tak pernah berhenti belajar, mengajar, dan berkhidmat untuk Islam. Ia adalah cerminan nyata dari kegigihan menuntut ilmu, meski tanpa pernah mencicipi pendidikan formal di pesantren.
Ulama Tanpa Pesantren
KH. Adam Zakaria memang tak pernah menempuh pendidikan di pesantren sebagaimana sahabat sekaligus gurunya, KH. Ridwan Podungge (Aba Idu). Namun siapa sangka, ia justru menjadi pengajar berbagai kitab kuning yang lazim diajarkan di lembaga-lembaga pesantren.
Ia belajar dari banyak guru, dengan semangat yang tak mengenal lelah. Kitab-kitab seperti Risalatul Mu’awanah karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad — yang juga pengarang Ratibul Haddad dan Wirdul Lathif — menjadi bacaan utamanya. Dari kitab tersebut, ia menyerap pelajaran adab dan akhlak, yang kemudian ia wariskan kepada murid-muridnya.
Salah satunya adalah KH. Abdul Rasyid Kamaru, yang kelak menggantikan posisi Kiai Adam sebagai Qadhi di Kota Gorontalo. Selain Risalatul Mu’awanah, Kiai Adam juga mendalami Alfiyah Ibnu Malik, sebuah karya klasik dalam ilmu nahwu dan shorof, juga kitab-kitab fikih serta manasik haji. Semua itu ia pelajari bukan di pesantren, tetapi dari para guru yang ia datangi secara langsung — dengan sepeda ontel, melintasi jarak jauh demi secercah ilmu.
Kelahiran dan Tanda Keistimewaan
KH. Adam Zakaria lahir di Gorontalo pada 21 Juli 1924 dari pasangan Zakaria Soi dan Afifah Ismail. Meski berasal dari keluarga sederhana, kedua orang tuanya dikenal sebagai sosok yang taat beribadah. Sebuah kisah turun-temurun menyebutkan bahwa sang ibu pernah bermimpi melihat anaknya — Kiai Adam kecil — berada di atas bumbungan rumah. Dalam tradisi Gorontalo, mimpi semacam itu adalah pertanda bahwa anak tersebut kelak akan menjadi tokoh besar. Mimpi itu terbukti nyata.
Sanad Keilmuan dan Guru-Gurunya
Sanad keilmuan KH. Adam Zakaria bersambung pada para ulama besar Gorontalo. Ia adalah murid dari: KH. Abas Rauf (1921–1980), Qadhi Kota Gorontalo era 1970-an, KH. Abdussamad Ota (Tuan Samadi), KH. Yahya Podungge (Paci Nurjana), Kali Hundu, Habib Ahmad bin Alwi Almasyhur, dan Habib Bin Lamin Al-Jufri. Para guru inilah yang mengasah dan menanamkan ilmu-ilmu agama pada Kiai Adam. Ia tidak pernah membeda-bedakan latar belakang para guru — apakah dari Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah. Bagi Kiai Adam, siapa pun yang berilmu adalah tempat belajar yang layak dihormati.
Kisah Inspiratif: Ilmu di Balik Baju
Salah satu kisah menarik dalam perjalanannya menuntut ilmu terjadi saat Kiai Adam hendak mengikuti pengajian fikih di rumah Tuan Samadi. Dalam perjalanan, ia sadar bahwa kitab fikih tertinggal di rumah, sementara yang terbawa hanya kitab Risalatul Mu’awanah. Alih-alih kembali, ia tetap melanjutkan perjalanan. Begitu tiba, Tuan Samadi justru berkata:
“Hari ini kita belum belajar Fiqih. Kayaknya ada kitab yang harus kita baca hari ini, yakni Risalatul Mu’awanah. Ayo cepat keluarkan kitab itu dari balik bajumu.”
Kiai Adam terperanjat. Ia tidak menyangka bahwa gurunya mengetahui kitab apa yang sedang ia bawa — seolah hubungan batin murid dan guru begitu erat. Ia memang dikenal sebagai murid istimewa dari KH. Abas Rauf dan Tuan Samadi. Bahkan, KH. Abas Rauf pernah berpesan kepada para muridnya: “Jika ada pertanyaan dan aku sudah tiada, tanyalah kepada KH. Adam Zakaria.”
Ulama yang Melahirkan Ulama
Berkat ketekunan dan kesungguhannya, KH. Adam Zakaria berhasil melahirkan banyak ulama dan dai di Gorontalo. Beberapa di antaranya adalah: KH. Armin Otoluwa (alm), KH. Yusuf Mopangga (alm), Ustadz Basi Jidi (alm), KH. Abdulla Hippi (Imam Hippi), KH. Muin Mooduto (Pimpinan Ponpes Alkhairaat dan Ketua MUI Kota Gorontalo), KH Abdul Rasyid Kamaru, Ustadz Safrudin Mahmud dan masih banyak lagi.
Pada era 1990-an, setiap kelurahan di Kota Gorontalo bahkan mengirimkan dua orang untuk belajar langsung kepada Kiai Adam.
Dalam setiap pertemuan mingguan di berbagai masjid, para murid belajar membaca dan memahami kitab kuning. Ia dikenal sabar membimbing; tidak pernah menyuruh berhenti membaca sebelum ia sendiri yang memberi aba-aba.
Tak Pernah Lelah Mengajar
Semangat KH. Adam Zakaria dalam mendidik tak luntur oleh usia maupun perjalanan jauh. Suatu ketika, para murid sempat hendak pulang karena guru mereka belum tiba dari perjalanan dari Manado. Namun sebelum langkah mereka menjauh dari tempat pengajian, mobil yang ditumpangi Kiai Adam sudah terparkir di depan mereka. Ia langsung turun dan mulai mengajar seperti biasa, seakan tak ada rasa lelah yang menghampiri. “Mestinya ia istirahat karena perjalanan jauh. Tapi beliau tetap mendampingi murid-muridnya,” kenang Ustadz Safrudin Mahmud.
KH. Adam Zakaria wafat pada tahun 2006. Namun warisan ilmunya masih hidup dalam diri para murid dan pengagumnya. Ia adalah cermin dari seorang ulama sejati — yang meski tanpa pesantren, mampu menjadi samudera ilmu yang dalam dan luas. Ia menunjukkan bahwa semangat belajar, adab terhadap guru, dan kesungguhan hati jauh lebih penting daripada gelar formal.