Kisruh RUPSLB BSG: Runtuhnya Corporate Culture
“Para pemimpin bisnis menyukai humaniora karena mereka tahu bahwa untuk berinovasi, Andamembutuhkan lebih dari sekadar pengetahuan hafalan. Andamembutuhkan imajinasi yang terlatih.“ — Martha C. Nussbaum(77), The Fragility of Goodness(1986).
Kasus Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Bank Sulut-Gorontalo (BSG) yang belakangan ini menjadi sorotan publik merupakan contoh nyata dari betapa pentingnya budaya perusahaan yang sehat dalam sebuah organisasi.
RUPSLB BSG, yang seharusnya menjadi wadah bagi pemegang saham(PS) untuk mengambil keputusan penting, justru menjadi ajang pertarungan kepentingan dan kekuasaan.
Menurut Edgar Schein, budaya perusahaan adalah “pola asumsi dasar yang ditemukan atau dikembangkan oleh suatu kelompok saat memecahkan masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal” (Schein, 1992).
Disimak dari kasus RUPSLB BSG, budaya perusahaan yang ada tampaknya tidak mendukung terciptanya lingkungan yang kondusif untuk pengambilan keputusan yang sehat.
Salah satu contoh budaya perusahaan yang bermasalah adalah adanya praktik nepotisme dan kronisme atau koncoisme.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gomez dan Jomo (1997), praktik nepotisme dan kronisme dapat menyebabkan ketidakadilan dan inefisiensi dalam pengelolaan perusahaan.
Dalam kasus RUPSLB BSG, adanya dugaan nepotisme dan kronisme telah memicu kontroversi dan ketidakpercayaan di kalangan pemegang saham.
Selain itu, budaya perusahaan yang tidak transparan dan tidak akuntabel juga menjadi masalah.
Menurut Jensen dan Meckling (1976), transparansi dan akuntabilitas adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengambilan keputusan yang sehat.
Dalam kasus RUPSLB BSG, kurangnya transparansi dan akuntabilitas telah menyebabkan ketidakpercayaan di kalangan pemegang saham dan publik.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan perubahan budaya perusahaan yang menyeluruh.
Menurut Kotter (1996), perubahan budaya perusahaan memerlukan kepemimpinan yang kuat dan komitmen yang tinggi dari seluruh anggota organisasi.
Dalam kasus RUPSLB BSG, perlu dilakukan upaya untuk menciptakan budaya perusahaan yang sehat, transparan, dan akuntabel.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa budaya perusahaan yang sehat sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengambilan keputusan yang sehat. Dan bukan pengambilan keputusan yang mengabaikan representasi dan rekrutmen dengan merit system.
Oleh: Reiner Ointoe – (Fiksiwan/Budayawan Sulawesi Utara)
Referensi:
Gomez, E. T., & Jomo, K. S. (1997). Malaysia’s political economy: Politics, patronage and profits. Cambridge University Press.
Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs and ownership structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305-360.
Kotter, J. P. (1996). Leading change. Harvard Business School Press.
Nussbaum, Martha. C. (1986). The The Fragility of Goodness. UK: Cambridge University Press.
Schein, E. H. (1992). Organizational culture and leadership. Jossey-Bass Publishers.