Kurang Serius dalam Upaya Mencerdaskan

Ilustrasi/ Bakukabar.id

Pendidikan yang berkualitas tentu saja diharapkan demi kemajuan suatu bangsa, pendidikan bukan sekadar sebagai sarana ‘agent of change’ bagi generasi muda yang akan menjadi penerus suatu bangsa, tapi juga harus menjadi ‘agent of producer’ agar dapat menciptakan suatu transformasi yang nyata. Dalam upaya untuk menciptakan SDM unggul yang pintar, kreatif, jujur, dan bisa bersaing dalam mencapai visi Indonesia Emas tahun 2045, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan jumlahnya terus meningkat. Anggaran pendidikan yang dibagi ke beberapa Kementerian dan Pemerintah Daerah dalam bentuk Transfer Daerah pada 2014 sebanyak Rp367,02 triliun dan terus meningkat hingga Rp665 triliun pada 2024.

“Sayangnya, meningkatnya anggaran pendidikan tidak berarti meningkatkan mutu pendidikan kita seperti yang sudah dikaji oleh Bank Dunia sejak tahun 2013 dalam sebuah tulisan berjudul Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia,” kata Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji, Selasa (30/1/2024). Merujuk data BPS pada tahun 2023/2024, disparitas akses pendidikan antara daerah perkotaan dan perdesaan yang mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia. Masalah lainnya yang merupakan polemik mendasar adalah kesejahteraan tenaga pengajar dan masalah korupsi yang dilakukan sejumlah oknum dalam lingkup Pendidikan.

 

REFORMASI PENDIDIKAN JEPANG PASCA PD II

Pada awal Agustus 1945 dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki luluh lantah hancur lebur akibat serangan bom atom oleh Amerika Serikat. Pada tanggal 6 Agustus 1945, pesawat jenis B-29 superfoster dengan nama “Enola Gay”, yang membawa bom atom dengan massa 55 ton dari markas Amerika di Filipina, yang dipiloti oleh Kolonel Paul Tibbets Jr melepaskan satu bom atom bernama “Little Boy” di Hiroshima yang memiliki radius ledakan sebesar 50 km2. Tanggal 8 Agustus 1945, Jepang dikejutkan kembali dengan dijatuhkannya bom nuklir berjulukan “Fat Man” dengan massa 150 ton berdaya ledak hingga 100 km2 oleh bomber B-29 bernama “Bock’s Car” yang dipiloti oleh Mayor Charles Sweeney. Diperkirakan sekitar 70.000 hingga 135.000 orang tewas di Hiroshima dan 60.000 hingga 80.000 orang tewas di Nagasaki, baik akibat paparan akut ledakan maupun efek samping radiasi jangka panjang. Dampak dari kejadian tersebut, pada tanggal 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mengumumkan penyerahan negaranya dan menandatangani instrumen penyerahan diri yang otomatis mengakhiri Perang Dunia II.

Kemudian kaisar Hirohito menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa. Dari seluruh pelosok kota, jumlah guru yang tersisa pada saat itu kurang lebih 45.000 guru saja. Kaisar Hirohito dengan penuh harapan mengatakan kepada seluruh pasukan dan juga rakyat Jepang bahwa kepada gurulah sekarang mereka akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan. Momen ini pulalah yang menjadi tonggak kebangkitan Jepang sehingga menjadi salah satu negara maju hanya dalam kurun waktu 20 tahunan. Padahal dengan kondisinya yang hancur lebur saat itu, dunia memprediksi paling tidak Jepang membutuhkan waktu kurang lebih 50 tahun untuk dapat bangkit kembali.

Pakar sejarah Jepang dari Universitas Indonesia (UI), Susy Ong, BA, MA, DSc, mengatakan “Pasca kekalahan perang, para akademisi dan birokrat Jepang segera melakukan introspeksi dan riset. Kesimpulan bahwa ada kesalahan fatal pada kebijakan dan filosofi pendidikan selama ini,” tulisnya dalam situs resmi Kemdikbud, dikutip Jumat (3/5/2024). Pemahaman ini yang kemudian membawa Jepang mulai membangun pendidikannya dari masa kelam. Pemerintah melakukan revisi undang-undang pendidikan secara total.

 

REVOLUSI PENDIDIKAN ALA CUBA

Kita mungkin hanya mengenal dua tokoh revolusioner Fidel Castro dan Che Guevara sebagai Rebel berfaham sosialis marxis dan anti Kapitalis yang berhasil menggulingkan pemerintahan tirani Batista pada tahun 1959. Saat pemerintahan diktator Bautista berhasil digulingkan, tingkat melek huruf penduduk Kuba sangatlah rendah yaitu sekitar 47 %. Hal inilah yang melatarbelakangi Fidel Castro dan Che Guevara mencanangkan “Tahun Pendidikan Literasi”. Berbagai lapisan masyarakat dan profesi mulai dari guru, pelajar, mahasiswa, pekerja pabrik, pekerja kantoran bahkan sampai aparat-aparat militer yang mempunyai kemampuan literasi dikerahkan untuk mengajari penduduk yang buta huruf, mulai dari perkotaan hingga pedesaan pelosok. Oleh Fidel Castro mereka ini disebut “Alfabetizadores Briggadistas”, atau “Laskar Pemberantas Buta Huruf”. Para laskar literasi ini bergerak secara sukarela alias tanpa dibayar, dengan semboyan ‘Yo Si Puedo’ yang artinya ‘Ya Saya Bisa’, mengandung makna bahwa setiap individu mempunyai hak yang sama untuk menjadi terdidik dan juga memiliki kewajiban untuk mendidik.

Dengan di anggarkan nya 6,7 persen dari GNP untuk sektor Pendidikan, yang dua kali lebih besar dari anggaran pendidikan di seluruh negara Amerika Latin. Semua hal yang berkaitan dengan operasional bagi peserta didik mulai dari seragam, buku buku, jatah sarapan pagi dan makan siang yang bergizi, semua gratis tanpa dipungut biaya sepeser pun. Pemerintah Kuba menyediakan 394 jam untuk program pendidikan setiap minggunya pada acara televisi nasionalnya, atau sekitar 63 % dari total siaran negara mereka. Berbanding terbalik dengan acara-acara televisi negara kita yang justru menayangkan siaran kartun hiburan pada jam-jam belajar anak-anak. Hasilnya,  pada tahun 1962, tingkat melek huruf di Kuba sudah mencapai 97 %, termasuk tertinggi di Amerika, bahkan dunia. Tahun 1964 UNESCO pun memberikan penghargaan kepada pemerintah Kuba atas keberhasilannya memberantas buta huruf dengan cepat dan massif.

 

KESIMPULAN

Program mencerdaskan kehidupan bangsa harus menjadi prioritas bagi siapa saja yang menjalankan roda pemerintahan. Jangan terjebak dalam pengulangan masalah lama tanpa mengatasi akar permasalahannya. Kebijakan merupakan hasil dari olah konsep yang bagus, basis teori yang mumpuni, dan silang pendapat yang tajam. Namun atribut pendukung kebijakan tersebut jangan sampai luput dibahas dan disiapkan. Seperti pemerataan sarana prasarana, standar minimum gaji guru, pengontrolan mutu guru, dan kesamaan akses tiap siswa.

 

Oleh: Doni Onfire

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup