Masyarakat Sipil, Energi yang Selalu Siap Bergerak

Pepy Albayqunie (Seorang pecinta kebudayaan lokal dan Jamaah Gusdurian di Sulawesi Selatan yang belajar menulis novel secara otodidak. Ia lahir dengan nama Saprillah)

Masyarakat sipil adalah denyut nadi demokrasi. Ketika ia kuat, demokrasi menguat. Ketika masyarakat sipil melemah, demokrasi ikut melemah. Dan ketika demokrasi melemah, kekuasaan negara cenderung meningkat dan bisa mencapai level (neo) otoritarianisme. Jika kekuasaan politik negara menguat, biasanya berimplikasi pada meningkatnya frustasi sosial, meluasnya kecemasan, dan naiknya angka kemiskinan.

Masyarakat sipil bukan hanya penyeimbang politik. Ia adalah indikator kesehatan demokrasi. Demokrasi membutuhkan masyarakat sipil yang mampu menjaga keseimbangan ini: menyalurkan energi sosial, mempertahankan ruang publik, dan mengingatkan kekuasaan untuk tidak melampaui batas. Tanpa itu, demokrasi rapuh.

Masyarakat sipil bukan sekadar massa di jalanan, ormas, atau organisasi yang terdaftar. Ia adalah ruang—sebuah medan di mana energi sosial berkumpul, bergerak, dan menekan batas-batas eksistensi kolektif. Ia bukan monolit, bukan entitas tetap; ia terus berubah, menyesuaikan diri dengan kondisi, waktu, dan tekanan yang datang dari berbagai arah. Kadang ia tampak produktif, menyalurkan aspirasi dan kritik dengan jelas, kadang destruktif, muncul dalam bentuk perlawanan atau ledakan yang sulit dikendalikan. Ada kalanya ia hanya diam, tampak pasif, namun tetap meninggalkan jejak dan pengaruh yang membentuk arah politik dan kehidupan publik. Ia hidup di antara gerak dan hening, di persimpangan antara keberanian dan keraguan, selalu mencari jalannya sendiri di medan sosial yang kompleks.

Energi masyarakat sipil tidak selalu terlihat, dan itulah yang membuatnya menarik sekaligus sulit dipahami. Ketika negara bertindak, sipil bisa muncul sebagai penyeimbang atau koreksi, hadir untuk menegur atau mengingatkan, kadang tanpa suara yang nyaring, kadang melalui langkah-langkah kecil yang memengaruhi arah kebijakan dan wacana publik. Ketika ruang politik terlalu sempit, energi itu bisa meledak, muncul tiba-tiba dalam protes, demonstrasi, atau bahkan kerusuhan. Tapi kemunculan itu bukan sekadar “marah” atau “heroik.” Ia adalah cermin dari energi kolektif yang mencari bentuknya sendiri, dari rasa ketidakpuasan, harapan, dan kekhawatiran yang lama terpendam, yang menunggu momen untuk menampakkan dirinya.

Yang menarik adalah ketahanannya. Masyarakat sipil bisa kehilangan arah, bisa melemah oleh pragmatisme atau kenyamanan, bisa terhanyut oleh rutinitas dan kompromi, namun energi yang tersimpan tidak pernah benar-benar hilang. Ia tetap ada, menyebar seperti rimpang, bergerak di bawah permukaan, menembus ruang yang tampak sepi, menunggu saluran yang tepat, menunggu momen ketika suara kolektif bisa menemukan jalannya.

Dan ketika momen itu datang, ia muncul dengan cara yang spontan dan alami—bukan karena instruksi, bukan karena arahan organisasi, tapi karena ada kebutuhan bersama untuk menegaskan diri, untuk menandai eksistensi, untuk menyalurkan energi yang lama tertahan. Seperti rimpang yang muncul tiba-tiba dari tanah, gerakan masyarakat sipil bisa menyusup ke ruang publik, menegaskan diri, dan menunjukkan bahwa meski tersembunyi, kekuatan kolektif itu selalu hidup, selalu mencari jalannya, dan selalu siap menumbuhkan dampak yang tak terduga.

Namun, di tengah energi masyarakat sipil yang hidup, selalu ada ancaman penumpang gelap. Mereka adalah kelompok yang berasal dari sipil tetapi bekerja untuk kekuasaan atau kepentingan kapital ekonomi. Hadirnya mereka sering tersembunyi, tidak terlihat oleh banyak orang, namun dampaknya bisa besar. Mereka menggeser fokus gerakan, menciptakan chaos, mengarahkan energi kolektif ke arah yang menguntungkan kepentingan mereka sendiri, bukan untuk kebaikan publik.

Masyarakat sipil mengingatkan kita bahwa demokrasi bukan hanya prosedur formal, bukan hanya pemilu atau hukum, tetapi ruang hidup yang harus dijaga dan diisi energi sosialnya. Ia bukan titik, melainkan spektrum; bukan diam, melainkan gerak; bukan sekadar konsep, melainkan pengalaman. Memahami masyarakat sipil berarti membaca energi yang tidak selalu terlihat, merasakan ketegangan yang tidak selalu dijelaskan, dan menyadari bahwa kekuatannya terletak pada kemampuannya untuk terus bergerak—meski arah, bentuk, dan wajahnya berubah dari waktu ke waktu.

Energi masyarakat sipil selalu ada, menunggu saluran yang tepat untuk tersalurkan. Mari bergerak!

Oleh: Pepi Albayqunie – (Jamaah GUSDURian tinggal di Sulawesi Selatan yang lahir dengan nama Saprillah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup