Matinya Multikulturalisme Kita

Almunauwar Bin Rusli- Akademisi di IAIN Manado, Sulawesi Utara

Dari sebuah kamar kecil di Yogyakarta, tak sengaja saya ikut menyaksikan bagaimana ganasnya fatwa MUI, tingginya ketakutan dosen hingga yang paling parah adalah berubahnya fungsi kampus menjadi sarang kapitalisme dan konservatisme. Segala macam komentar liar digrup whatsapp civitas akademika itu sebenarnya hanya ingin menitipkan satu pesan kebencian moral yang membabi buta terhadap Ahmadiyah (splinter groups). Bertaklid kepada Ahmadiyah memang hanya akan mematikan nalar, namun terus memandang Ahmadiyah dengan perasaan curiga juga bakal mematikan cinta. Kita boleh tak sependapat dengan keyakinan orang lain, tapi kita juga wajib membela hak mereka untuk bersuara. Paling tidak, begitulah esensi demokrasi.

Kampus tak akan pernah maju jika cenderung menuhankan fatwa, kampus akan merdeka jika memfasilitasi kebebasan manusia untuk berdialektika. Menjadi progresif bukan berarti 100% permisif. Kekeliruan analogi dari Dr. Nasruddin Yusuf saya kira penting diluruskan. Kasus pembatalan bedah buku “Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah” karya Dr. Samsi Pomalingo pada 02 Juni 2025 di IAIN Manado terus terang mengingatkan saya pada kasus serupa yang menimpa Irshad Manji ketika mengisi acara bedah bukunya “Allah, Liberty & Love : Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan” di CRCS UGM tahun 2012 silam. Pertanyaannya, apakah MUI adalah barisan geng takfiri? Mengapa multikulturalisme mati di kampus multikultural? Dan apa dampak buruk dari peristiwa memalukan ini?

Merevisi Hegemoni MUI

Secara pribadi, saya menghormati posisi dan fungsi MUI Kota Manado selama tidak bertentangan dengan prinsip “democratic mind” serta “civilian values”. Akan tetapi, dalam kasus Ahmadiyah, sepertinya MUI telah terjebak pada tingkat kecemasan mental yang berlebihan.  SKB 3 Menteri No. 199 Tahun 2008, Fatwa MUI No.11/MUNAS VII/MUI/15/2005 dan Hasil Rakornas MUI Tahun 2023 itu pada dasarnya hanya bersifat dugaan (deskripsi) bukan pembuktian (evaluasi). Pertama, apakah MUI bisa menunjukkan berapa banyak presentase Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang masuk ke dalam penjara akibat tindakan penodaan agama (Islam)? Kedua, jika keputusan MUI mengandung kebenaran absolut, lantas mengapa fatwa mereka tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum positif di Indonesia? Ketiga, apabila fatwa-fatwa MUI justru selalu menjadi pemicu intoleransi, maka beranikah pemerintah untuk segera  membubarkannya?Terlepas dari itu, saya tahu bahwa ada banyak pemikir-pemikir Muslim progresif dalam tubuh MUI, namun mereka tenggelam dalam arus hirarki dan senioritas dari beberapa kelompok ulama takfiri. Hegemoni semacam ini mutlak perlu direvisi  agar fatwa-fatwa MUI  tak lagi membuat umat saling menipu lalu membunuh.

Mundurnya IAIN Manado

Ketika pejabat kampus memilih tunduk pada fatwa MUI, maka di situlah kekuatan intelektualitas kita dilucuti. Dengan kata lain, multikulturalisme telah  mati di kampus multikultural. Kita menang dalam teori tapi kalah di dalam aksi. Bukankah ini sebuah bentuk kemunafikan intelektual?  Kematian ini pada umumnya jarang disadari seiring dengan terpilihnya pemimpin yang oportunis, pelayanan birokrasi tanpa sistem meritokrasi dan masifnya penindasan total atas oposisi. Saya kurang mengerti, apakah ketundukan ini dilatarbelakangi oleh faktor politis, teologis, bisnis ataukah sejenis intimidasi fisik. Idealnya, rektor beserta para guru besar berani menolak fatwa tersebut dan memanggil aktor-aktor utama MUI agar datang untuk berdialog secara ilmiah tanpa membawa amarah purba. Namun, sayangnya pejabat di kampus kita seakan tak punya nyali alias banci. Jika konsisten dengan slogan multikultural, maka IAIN Manado harus siap membela atmosfer akademik yang reformis. Sehingga, lahirlah orang-orang seperti  Qasim Amin, Ali Abd al-Raziq, Thaha Husain, Najib Mahfuz, Farag Fauda atau Nasr Hamid Abu-Zayd.

Dengan begitu, IAIN Manado perlahan sanggup menjadi ‘rumah kedua’ Ahmadiyah untuk berbicara mengenai keragaman identitas (subcultural diversity), perspektif (perspectival diversity) dan komunitasnya (communal diversity) dalam memahami Islam. Tidak ada iman tanpa kebenaran dan tidak ada kebenaran tanpa kebebasan. Persatuan tak harus membungkam perbedaan. MUI dan IAIN Manado tampaknya harus lebih banyak belajar lagi soal epistemologi. Pada konteks inilah, karya Dr. Milad Hanna, Qabul al-Akhar yang terbit tahun 1999 di Kairo sangat relevan untuk dikaji ulang.  Jangan sampai kampus semakin terang, tapi otak kita justru semakin gelap.

Hilangnya Kepercayaan Publik

Fenomena ketertundukan akademisi atas hegemoni MUI dalam prediksi saya akan berdampak serius pada hilangnya kepercayaan (trust) masyarakat sipil dan kalangan ilmuwan asing ketika mereka hendak melakukan acara serupa di IAIN Manado. Sebab, kampus multikultural faktanya tidak pernah benar-benar kompatibel dengan semangat demokrasi dan oleh sebab itu berhak direhabilitasi. Pada masa yang akan datang, sangat mungkin dialog-dialog progresif mengenai khazanah Studi Islam (Islamic Studies) sudah tidak lagi berlokasi di kampus kita, melainkan berpindah alamat ke kampus agama lainnya karena dianggap lebih aman, dewasa dan terbuka. Bukankah ini sesuatu yang memalukan ? Sekali lagi, pandangan saya bukanlah upaya untuk memuji Ahmadiyah dan memaki Ulama, melainkan hanya suatu keberpihakkan kecil guna menyelamatkan sesama warga negara yang rajin membayar pajak dari ancaman ortodoksi yang tak bijak. Sampai di sini, jika ada pihak yang merasa keberatan,  maka  saya selalu membuka diri untuk bertukar pikiran. Sekian !

Yogyakarta, 02 Juni 2025

Penulis : Almunauwar Bin Rusli – (Akademisi di IAIN Manado)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Sanusi

    Ah terulang dan terus terulang, makhluk seperti apakah MUI itu? ko lebih ditakuti daripada Tuhan Sendiri. Tuhan saja mengumumkan hanya Aku yang tahu siapa yang berada dalam petunjuk dan siapa yang sesat. sejak kapan manusia diberi kewenangan untuk ini.

    kalau saja manusia bebas menentukan siapa yang sesat dan siapa yang benar, tak tersisa lagi, karena manusia punya sifat saling menuduh. Kalau semua menyadari bahwa ia adalah Musafir di jalan Ilahi, yang ada hanyalah saling menyayangi satu sama lain.

    Balas
Sudah ditampilkan semua
Tutup