McDonalisasi PMII…..!!!

Dr. Samsi Pomalingo, MA - Alumni PMII Manado- Sulawesi Utara

Sahabat Senior: ente tahu tanggal 17 April torang akan merayakan HARLAH PMII?

Sahabat Yunior: Jelas taulah (sambil tersenyum)…! PMII itu kan singkatan dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, ya? Ada apa senior?

Sahabat Senior: Iya, butul! Harlah ini bukan hanya sekadar perayaan, tapi juga momen untuk refleksi atas perjuangan dan kontribusi PMII dalam pengembangan kader dan masyarakat. Butul kan..???

Sahabat Yunior: butul Senior….

Menjelang moment penting dan penuh makna dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalah perayaan Hari Lahir PMII ke 65 tepatnya tanggal 17 April 2025. Beragam kegiatan dilaksanakan, entah itu tasyakuran yang ditandai dengan pemotongan tumpeng, dialog, diskusi, atau apapun itu untuk memeriahkan Harlah PMII. Glorifikasi para kader menyambut Harlah PMII nampak dari serangkaian ucapan melalui twibbon di berbagai media sosial (Facebook, TikTok dan Instagram). Harlah PMII yang ke 65 jika dinisbatkan ke usia seorang manusia maka itu menunjukan bahwa seseorang tersebut sudah tua atau lansia. Jika semakin tua, maka memorinya berkurang, termasuk daya kritisnya juga berkurang. Mungkin dan mungkin inilah yang menyebabkan mulai “berkurangnya kritisisme” pada kader PMII khususnya di Gorontalo.

PMII telah lama menjadi salah satu organisasi mahasiswa yang berperan penting dalam dinamika sosial dan politik di Gorontalo. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena yang menarik untuk dianalisis, yaitu “McDonalisasi” dalam konteks kader PMII Gorontalo. Istilah ini merujuk pada proses di mana nilai-nilai budaya, tradisi, dan kritisisme yang menjadi landasan organisasi mulai tergeser oleh praktik-praktik yang lebih bersifat komersial dan pragmatis. Hal ini berdampak pada krisis kritisisme di kalangan para kader. McDonalisasi, sebagai konsep yang diangkat oleh George Ritzer seorang teoritisi sosiolog asal Amerika yang banyak berkarya dalam bidang metateoritis. Ritzer menggambarkan bagaimana prinsip-prinsip efisiensi, kalkulasi, prediktabilitas, dan kontrol menjadi dominan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks PMII, kita dapat melihat bahwa proses ini berimplikasi pada cara anggota atau kader berinteraksi dengan isu-isu sosial dan politik. Alih-alih mempertahankan semangat kritis dan analitis, tidak sedikit kader PMII yang terjebak dalam pola pikir yang lebih pragmatis, mengutamakan hasil yang cepat dan terukur.

Dalam masyarakat tidak tertinggal kader-kader PMII yang terpengaruh oleh McDonalisasi, pola hidup konsumerisme muncul sebagai respons terhadap kebutuhan akan efisiensi dan kenyamanan. Konsumen cenderung mencari produk yang dapat memenuhi kebutuhan mereka dengan cepat dan praktis, tanpa mempertimbangkan aspek kualitas atau dampak sosialnya. Lihat saja bagaimana mereka lebih senang nongkrong di setiap warkop (warung kopi) dengan segala macam sajian makanan dan minuman sesuai selera masing-masing. Obrolan atau percakapan sampai tengah malam, hal ini menciptakan budaya di mana nilai-nilai material dan kepuasan instan lebih diutamakan daripada pertimbangan yang lebih mendalam tentang makna dan nilai dari barang yang dikonsumsi. Dalam konteks ini, seseorang menjadi lebih terfokus pada kuantitas dan kemudahan akses daripada pengalaman atau nilai intrinsik dari produk tersebut. Adagium lama masih sangat kuat “mangan ora mangan, asal ngumpul” kira-kira seperti itu pepatah orang jawa. Apa yang di percakapan, hanya mereka yang tahu.. agak pragmatis…!

Pragmatisme menjadi salah satu hasil dari proses McDonalisasi. Dalam dunia yang serba cepat dan terukur, banyak orang merasa tertekan untuk mencapai hasil yang konkret dan terlihat. Pendekatan pragmatis ini mendorong individu untuk mencari solusi cepat dan efisien untuk masalah yang dihadapi, sering kali mengabaikan analisis kritis atau pertimbangan etis. Hal ini dapat dilihat dalam cara orang mengambil keputusan, di mana mereka lebih memilih opsi yang memberikan hasil segera, meskipun pilihan tersebut mungkin tidak selalu yang terbaik dalam jangka panjang. Semua dipertimbangkan atas asas keuntungan, apakah itu keuntungan pribadi atau kelompok.

Pergeseran dari idealisme menuju pola hidup konsumtif yang lebih pragmatis , dalam lensa teori McDonalisasi hal ini berpotensi mengikis kritisisme yang menjadi landasan gerakan. Pergeseran ini dapat dilihat dalam cara dimana kader PMII berinteraksi dengan isu-isu sosial dan politik. Idealnya, PMII seharusnya menjadi ruang diskusi dan refleksi kritis, di mana para kader dapat mempertanyakan norma-norma yang ada dan berupaya mencari solusi atas berbagai permasalahan. Akan tetapi, dengan meningkatnya fokus pada hasil yang cepat dan terukur, tidak sedikit kader PMII lebih memilih untuk mengikuti arus daripada berusaha menganalisis dan memahami secara mendalam. Hal ini menciptakan atmosfer dimana kritisisme menjadi hal yang kurang dihargai.

Konsumerisme yang berkembang dalam masyarakat modern turut memengaruhi kader PMII. Dalam dunia yang serba cepat dan terhubung, banyak individu terbawa oleh gaya hidup yang menekankan pada kepuasan instan. Mereka cenderung mengejar prestise yang datang dari materi, alih-alih menekankan nilai-nilai idealisme yang seharusnya menjadi landasan gerakan mahasiswa. Akibatnya, diskusi kritis yang seharusnya menjadi ciri khas PMII sering kali tergantikan oleh kegiatan yang lebih bersifat seremonial atau superficial.

Dampak dari pergeseran ini sangat signifikan. Tanpa adanya ruang untuk kritisisme, PMII berisiko kehilangan relevansi dalam menjawab tantangan sosial dan politik. Kritisisme yang memudar dapat menyebabkan stagnasi dalam pemikiran dan tindakan organisasi. Oleh karena itu, penting bagi PMII untuk kembali kepada nilai-nilai dasar yang mengedepankan pemikiran kritis, analisis mendalam, dan keberanian untuk mempertanyakan norma-norma yang ada. Jangan dianggap sepele, karena dampak dari McDonalisasi ini sangat signifikan. Hilangnya kritisisme dapat menyebabkan stagnasi dalam pemikiran dan tindakan organisasi. Tanpa adanya kemampuan untuk mempertanyakan dan menganalisis situasi yang ada, para kader PMII berisiko kehilangan relevansi dalam menjawab tantangan sosial dan politik di era modern. Untuk mengatasi krisis ini, penting bagi PMII untuk kembali pada nilai-nilai dasar yang mengedepankan pemikiran kritis, analisis mendalam, dan keberanian untuk mempertanyakan norma-norma yang ada.

Salah satu contoh gerakan mahasiswa yang mengalami kehilangan kritisisme akibat McDonalisasi yaitu Student Government Association (SGA) yang ada di berbagai universitas di Amerika Serikat. SGA ini muncul pada awal 2000-an, khususnya di kampus-kampus yang terpengaruh oleh budaya konsumtif. Dalam banyak kasus, SGA mengalami pergeseran fokus dari aktivisme sosial dan politik ke kegiatan yang lebih bersifat konsumtif dan hiburan, sehingga mengurangi semangat kritis di kalangan anggotanya. Di banyak universitas, gerakan mahasiswa yang dulunya dikenal karena aktivisme sosial dan politiknya mulai beralih fokus ke kegiatan yang lebih bersifat konsumtif, seperti acara-acara sosial dan festival yang menonjolkan merek dan sponsor. Banyak organisasi mahasiswa lebih memilih untuk berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan besar, sehingga menggeser perhatian mereka dari isu-isu kritis seperti ketidakadilan sosial, masalah lingkungan, ketidaksetaraan gender dan hak asasi manusia. Di Indonesia sendiri tidak sedikit ada oknum mahasiswa atau aktivis yang dekat dengan pejabat, dan senang berpose di berbagai kegiatan dan mempostingnya di berbagai media sosial.

Hal ini menciptakan atmosfer dimana kegiatan aktivis mahasiswa lebih berorientasi pada hiburan dan kepuasan instan, daripada mempertanyakan struktur sosial yang ada. Diskusi-diskusi tentang kebijakan publik, ketidaksetaraan, dan isu-isu lingkungan sering kali tergantikan oleh kegiatan yang lebih mengutamakan kesenangan dan popularitas. Sebagai hasilnya, banyak aktivis mahasiswa menjadi kurang aktif dalam mempertanyakan atau berdebat tentang isu-isu penting, yang seharusnya menjadi fokus utama gerakan mahasiswa. Pergeseran ini mencerminkan dampak McDonalisasi, di mana nilai-nilai efisiensi dan konsumsi mengalahkan semangat kritis yang seharusnya ada dalam gerakan mahasiswa.

Di era modern ini, kader PMII Gorontalo dihadapkan pada tantangan yang kompleks akibat fenomena simulacra dan post-truth. Konsep simulacra, yang diusung oleh Jean Baudrillard seorang pakar teori kebudayaan dan filsuf kontemporer asal Prancis, menggambarkan keadaan di mana realitas dan representasi menjadi kabur. Dalam konteks ini, kebenaran tidak lagi menjadi hal yang absolut, melainkan tergantikan oleh citra dan narasi yang sering kali dibentuk oleh media dan teknologi. Fenomena ini menciptakan lingkungan di mana informasi dapat dengan mudah dimanipulasi, dan kebenaran seringkali diukur berdasarkan popularitas atau daya tarik emosionalnya. Kader PMII, sebagai agen perubahan, perlu menyadari bahwa dalam belantara informasi ini, mereka harus mampu memilah dan menganalisis berbagai narasi yang ada. Ketika emosi dan opini pribadi lebih mendominasi, kemampuan untuk berpikir kritis dan mempertanyakan informasi menjadi sangat penting.

Kondisi ini berpotensi mengikis suara kritis yang seharusnya menjadi ciri khas kader PMII. Banyak kader yang mungkin terjebak dalam konsumsi informasi yang dangkal, lebih memilih untuk terlibat dalam diskusi yang tidak substansial, yang dapat memperlemah kemampuan para kader PMII dalam menghadapi isu-isu sosial dan politik yang kompleks. Dalam lingkungan yang serba cepat ini, tantangan untuk mempertahankan integritas pemikiran kritis menjadi semakin besar. Apalagi mencuatnya fenomena post-truth, di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih memengaruhi pandangan dan keputusan seseorang daripada fakta objektif. Bagi kader PMII Gorontalo, tantangan ini menciptakan belantara informasi yang membingungkan, di mana fakta dan fiksi saling berbaur dan sulit untuk dibedakan. Dalam dunia digital yang sarat dengan informasi, mereka seringkali terjebak dalam narasi yang menyesatkan, yang dipromosikan melalui media sosial dan platform online. Inilah yang dikatakan oleh Carl Gustav Jung seorang psikolog dari Swiss bahwa “berfikir itu sulit, itulah mengapa orang lebih suka menilai”.

Pada akhirnya suara kritis yang seharusnya menjadi ciri khas kader PMII dapat menjadi semakin memudar. Ketika informasi yang tidak akurat atau bias mendominasi wacana publik, kemampuan untuk berpikir kritis dan menganalisis isu-isu sosial dan politik menjadi sangat penting. Namun, banyak kader yang lebih terfokus pada citra dan popularitas, serta terpengaruh oleh opini publik yang sering kali tidak berbasis pada fakta yang solid. Dalam belantara simulacra dan post-truth ini, identitas dan tujuan organisasi juga dapat menjadi kabur. Ketika kebenaran menjadi relatif, kader PMII mungkin kehilangan arah dalam perjuangan mereka. Oleh karena itu, penting bagi PMII untuk kembali mengedepankan nilai-nilai dasar yang menekankan pemikiran kritis, integritas, dan analisis mendalam.

Ketika informasi yang beredar di masyarakat seringkali tidak akurat atau menyesatkan, kader PMII perlu lebih berhati-hati dalam menyerap dan menyebarkan informasi. Keterbatasan dalam pemahaman akan isu-isu sosial dan politik yang kompleks dapat membuat kader PMII terjebak dalam opini publik yang tidak berbasis fakta. Oleh karena itu, penting untuk kembali kepada nilai-nilai dasar yang menekankan pemikiran kritis transformatif (PKT) dan analisis yang mendalam. Pilihan “Paradigma Kritis Transformatif” (PKT) yang diusung oleh PMII sesungguhnya berawal dari dialektika model gerakan yang harus dipilih dalam menghadapi realitas kebangsaan dan kemanusiaan, antara yang ber”politicho-thing” yang hobinya bermanja-manja dengan kekuasaan, dengan yang berkeinginan untuk mengembalikan PMII pada khittah gerakan mahasiswa, gerakan pemikiran dan gerakan moral (moral force) yang independen.

PKT Lahir pada kepemimpinan Ketua Umum Syaiful Bahri Anshori (1997-2000).  Selanjutnya, pada kepemimpinan Ketua Umum Herry Harianto Azumi (2006-2008) PB PMII mengembangkan paradigma “Menggiring Arus Berbasis Realitas.” Cara pandang ini ada sebagai jawaban atas masih terjeratnya kader PMII pada orientasi gerakan yang cenderung temporal-spasial, dan orientasi gerakan yang strategis jangka panjang tidak mendapatkan tempat di gerakan kader PMII. Akibatnya, cita-cita ideal negara hanya akan ada di puncak menara gading, di mana kader PMII sangat kesulitan mewujudkannya karena ketidakmampuan dalam membaca realitas yang terjadi. Terbaru, pada beberapa kesempatan Ketua Umum PB PMII Muhammad Abdullah Syukri (2021-2024) menyatakan bahwa paradigma PMII adalah “Paradigma produktif”. Paradigma ini berangkat dari salah satu tri motto PMII, yaitu Amal Shaleh. Paradigma tersebut menjelaskan bahwa PMII sebagai organisasi gerakan sudah saatnya untuk berorientasi pada lahirnya karya dan hasil nyata. Paradigma produktif adalah kunci untuk dapat bertahan dalam menghadapi kemajuan di era revolusi industri dan kemajuan teknologi informasi.

Terlepas dari perubahan paradigma dalam PMII, pemikiran kritis seharusnya menjadi pedoman dalam menghadapi perubahan sosial yang massif di Gorontalo. Namun, banyak yang berpendapat bahwa paradigma yang ada seringkali hanya menjadi slogan kosong, tanpa implementasi yang nyata. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas paradigma berpikir dalam menjawab tantangan yang dihadapi oleh masyarakat. Salah satu alasan mengapa paradigma yang dimiliki oleh PMII saat ini bisa dianggap sebagai “slogan kosong” karena kurangnya pemahaman yang mendalam di kalangan kader PMII Gorontalo. Tanpa pemahaman yang kokoh tentang makna dan tujuan dari ketiga paradigma di atas, banyak kader yang tidak mampu menerapkannya dalam konteks sosial yang kompleks. Akibatnya, tindakan mereka menjadi kurang substansial dan lebih bersifat simbolis, tidak memberikan dampak yang signifikan pada perubahan sosial di Gorontalo.

Perubahan sosial yang cepat dan sering kali disruptif di Gorontalo menuntut kader PMII untuk lebih responsif dan adaptif. Namun banyak yang terjebak dalam rutinitas dan kegiatan yang tidak relevan, sehingga kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam transformasi masyarakat. Kader lebih memilih untuk mengikuti tren dan opini yang bersifat temporal, daripada mendorong diskusi dan pemikiran kritis yang seharusnya menjadi ciri khas organisasi ini. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh kurangnya ruang untuk dialog terbuka dalam organisasi. Ketika kader tidak memiliki kesempatan untuk berbagi ide dan pengalaman, mereka merasa terasing dari nilai-nilai paradigma yang telah diusung oleh pendahulunya. Hal ini menciptakan kesenjangan antara “slogan dan praktik,” di mana banyak kader yang tidak merasa terlibat dan tidak memiliki komitmen untuk menerapkan prinsip-prinsip kritis dalam tindakan sehari-hari.

Untuk mengatasi masalah ini, PMII perlu merumuskan strategi yang jelas untuk mengimplementasikan paradigma yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat dalam konteks perubahan sosial di Gorontalo. Pendidikan yang menekankan pemikiran kritis, analisis mendalam, dan keterlibatan langsung dalam isu-isu sosial harus menjadi prioritas. Dengan pendekatan yang tepat, kader dapat dilatih untuk memahami dan menghayati prinsip-prinsip yang terkandung dalam sebuah paradigma. Mengembalikan fokus pada pemikiran kritis akan membantu kader untuk lebih jeli dalam menganalisis informasi yang mereka terima. Melalui diskusi yang terbuka dan reflektif, kader dapat dilatih untuk mempertanyakan dan menganalisis berbagai narasi yang ada di sekitar mereka. Dengan cara ini, mereka tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen pemikiran yang dapat memberikan kontribusi berarti dalam konteks sosial.

Integritas juga menjadi aspek yang krusial dalam menghadapi tantangan ini. Kader PMII harus berpegang pada prinsip-prinsip etika dan kejujuran dalam setiap tindakan dan keputusan yang mereka ambil. Dengan membangun reputasi sebagai organisasi yang kredibel dan dapat dipercaya, PMII Gorontalo akan lebih mampu menarik perhatian masyarakat dan memberikan dampak yang positif. Pendidikan yang menekankan keterampilan berpikir analitis harus menjadi prioritas dalam kegiatan organisasi. Melalui pelatihan dan seminar, kader dapat dilengkapi dengan alat dan pengetahuan yang diperlukan untuk mengatasi tantangan simulacra dan post-truth. Dengan pendekatan yang tepat, mereka dapat belajar untuk menyaring informasi dan membuat keputusan yang berdasarkan pada fakta yang kuat.

Dengan mengedepankan Nilai Dasar pergerakan (NDP), kader PMII Gorontalo harus memperkuat identitas dan tujuan organisasi. Hal ini tidak hanya akan membantu mereka untuk tetap fokus dalam perjuangan, tetapi juga memastikan bahwa mereka tetap relevan di tengah perubahan zaman. Dengan demikian, PMII akan terus berperan sebagai agen perubahan yang kritis dan berpengaruh dalam masyarakat. Semoga***

Oleh : Dr. Samsi Pomalingo, MA(Alumi PMII Manado, Sulawesi Utara)

Kabar Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup