Menafsir Ulang Tumbilotohe
“Kau bukan dirimu lagi, kau bukan yang dulu lagi”, demikian sebait lagu yang dilantunkan Dewi Yull era tahun 1990an. Lagu ini seolah menyindir tradisi tumbilotohe yang telah mengalami banyak perubahan. Ada yang kecewa dengan perubahan itu, adapula yang menyambut gembira.
Kelompok yang kecewa adalah kalangan tua, yang tahu persis kandungan nilai-nilai kearifan di dalamnya. Sementara yang bergembira ria, pemilik toko alat-alat listrik -menyebut salah satunya.
Perubahan itu alami, tak bisa dibendung, seturut berkembangnya peradaban manusia. Kecewa dan gembira seolah menjadi pemanis perubahan yang terjadi.
Dalam konteks perubahan sosial, Tumbilotohe telah mengalami transformasi baik dari segi struktur maupun kultur. Perubahan struktur terlihat jelas pada aspek fisik dari artefak Tumbilotohe. Sementara pada aspek kultur, tumbilotohe mengalami pergeseran nilai dan makna.
Perubahan Artefak
Mulanya, bahan baku tumbilotohe berasal dari getah padat kayu gamar. Namanya kopal, dalam bahasa Gorontalo, tohetutu (lampu asli). Kartin Lihawa dkk. dalam Kamus Istilah Adat Gorontalo (2020; 126) memberi arti tohetutu sebagai (lampu benar); lampu tradisional dari minyak damar, lambang kehidupan yang terang, benar dan murni. Bentuknya yang padat memudahkan untuk dibungkus daun woka seperti dodol. Ujung sebelahnya terbuka. Lalu diikat pada arkus dan siap dinyalakan.
Tohetutu semakin sulit didapatkan, diganti dengan menggunakan minyak kelapa. Minyak digenangkan dalam wadah belahan buah pepaya muda. Lalu diberi sumbu dari kapas.
Kehadiran minyak tanah telah menggantikan minyak kelapa, Wadahnya juga berubah, berupa kaleng susu bekas dan botol minuman berenergi. Keduanya diberi sumbu yang dimasukkan dalam gulungan sebilah seng (palapudu).
Baik tumbilotohe yang berbahan tohetutu, minyak kelapa maupun berbahan minyak tanah ini ditempatkan pada media arkus bambu. Arkus dipancangkan di depan pekarangan rumah. Satu rumah satu arkus.
Perubahan semakin tak bisa dibendung, media tumbilotihe tak lagi menggunakan arkus, tetapi mematok bambu sebagai gantungan lampu minyak. Dipancangkan di sepanjang jalan, lahan kosong, tanah lapang bahkan areal persawahan.
Inilah puncak keemasan tumbilotohe dengan menggunakan lampu minyak. Banyak kreasi yang dibuat anak-anak muda, seperti menciptakan miniatur kapal laut, masjid dan simbol-simbol Islam lainnya. Kerangkanya dari bambu dan digantungkan botol-botol lampu mengikuti pola yang diinginkan.
Peralihan dari bahan bakar minyak tanah ke gas menyebabkan minyak tanah menjadi langka dan harganya melonjak. Kini, pilihan yang tersisa adalah menggunakan lampu listrik. Sebatang bambu utuh dipancangkan dan dililitkan kabel sekaligus lampu kedap-kedip.
Dalam perkembangan ini, lampu listrik semakin dikreasikan untuk menghasilkan view yang menakjubkan, seperti terowongan. Dinding-dindingnya bukan dari bebatuan melainkan cahaya lampu listrik yang bertaburan.
Pergeseran Makna
Tumbilotohe adalah tradisi penuh makna, lahir dari niat sederhana untuk menerangi jalan menuju masjid selama tiga malam terakhir bulan Ramadan. Bayangkan suasana malam yang gelap, di mana cahaya berkilau menghiasi jalanan.
Tumbilotohe telah menjadi alat penerangan, sekaligus sebuah undangan bagi umat Islam untuk berkumpul dan fokus mencari malam yang penuh berkah, Lailatul Qadar.
Tumbilotohe melambangkan cahaya di atas cahaya, Tulis Dr. Funco Tanipu 9 tahun lalu. Konsep ini telah disebutkan dalam kitab Meeraji dan telah dipelajari serta dipraktekkan oleh Ulama Gorontalo, Bapu Ju Panggola, sejak ratusan tahun lalu.
Dr. Funco mengakui adanya pergeseran makna dan menawarkan pemaknaan kembali yang lebih mendalam tentang arti Tumbilotohe.
Awalnya, tradisi ini memiliki nilai dakwah, tetapi kini menjadi objek wisata religi yang ramai dikunjungi. Tumbilotohe kini dirayakan sebagai festival menyambut Idul Fitri, mengundang semua orang—baik jamaah masjid maupun pengunjung luar.
Selama festival, suasana menjadi meriah, dengan jamaah yang sebelumnya di masjid memilih keluar karena tertarik pada cahaya lampu yang berkilauan.
Pergeseran ini menuai banyak sorotan. Banyak kalangan agamawan yang mengungkapkan keprihatinan terhadap perubahan ini. Ada kekhawatiran bahwa tradisi ini, yang dulunya sarat dengan tujuan spiritual, kini lebih dilihat sebagai ajang wisata reliji.
Untuk menjaga keaslian makna dakwah Tumbilotohe, muncul gagasan untuk memindahkan festival ini setelah bulan Ramadan. Namun, gagasan tersebut gagal terwujud karena momentum yang tidak mendukung, sehingga idenya tidak terlaksana.
Ruang Tafsir Baru
Penulis tertarik untuk memberi tafsir baru terhadap Tumbilotohe, dengan harapan agar nilai-nilai yang telah berubah dapat kembali menemukan jalannya. Meskipun Dr. Samsi Pomalingo dari Universitas Negeri Gorontalo menunjukkan ketidaksetujuan terhadap pendekatan penulis, dalam konteks budaya, memberikan tafsir adalah hal yang penting dan sah.
Hal ini sejalan dengan pemikiran antropolog terkenal, Clifford Geertz, yang telah banyak memberikan tafsir terhadap budaya Jawa. Dengan merujuk pada pendekatan Geertz, penulis berharap dapat membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai makna dan esensi Tumbilotohe dalam masyarakat kita saat ini.
Samsi menyatakan bahwa tafsir terhadap budaya tidak boleh dilakukan jika itu mereduksi makna asalnya. Jika ada tafsir lain yang mereduksi makna, itu hanyalah karangan dan mengada-ada. Terlepas dari kritik tersebut, berikut 3 penafsiran baru versi penulis:
Membakar Semangat di Akhir Ramadhan
Kata tumbilo/molumbilo menurut Prof. Mansur Pateda (1977;301) memiliki dua arti; membakar dan memasang. Penulis lebih memilih arti tumbilo sebagai membakar. Selanjutnya kata “tohe” yang dimaksud adalah “tohe otutu” (lampu yang sesungguhnya).
Dengan demikian, makna tumbilotohe adalah membakar api semangat yang sesungguhnya (kemurnian keimanan) untuk meraih lailatul qadar. Beribadah sepanjang malam, i’tikaf di masjid.
Dengan api semangat iman yang membara, umat muslim berlomba-lomba mengisi akhir ramadhan untuk meraih bonus 1000 bulan, seperti emak-emak yang berburu diskon 25% di supermarket dan swalayan. Berburu diskon 25% saja penuh semangat, apatahlagi meraih bonus 1000 bulan?
Menghadirkan Setan-Setan Secara Fisik
Dalam Al-Qur’an, terdapat rujukan yang jelas mengenai asal penciptaan setan dari api. Rujukan tersebut tertuang dalam Surah Al-Hijr (15:27) yang menyatakan, “Dan Kami ciptakan jin sebelum (manusia) dari api yang sangat panas,” serta dalam Surah Al-Rahman (55:15) yang menegaskan, “Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.”
Maka api yang dinyalakan pada tumbilotohe dapat diberi makna baru sebagai miniatur setan pengganggu manusia. Oleh sebab itu tradisi tumbilotohe dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk menampakkan musuh abadi manusia (setan) secara fisik dalam bentuk lampu-lampu yang menyala.
Hadirnya musuh abadi secara nyata mestinya dilawan dengan kekuatan iman. Misalnya dengan cara menjauhi arena tumbilotohe dan bergegas ke masjid. Siapa yang terpukau dengan nyala api yang berjejer, berbaris, melingkar dalam jumlah yang banyak, berarti berdamai dan bersahabat dengan setan, menghuni neraka.
Miniatur Lautan Api Neraka
Sumber Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa neraka adalah api yang menyala-nyala, salah satunya terdapat dalam Surah Al-Lail (92:14), yang berbunyi, “Maka kami memperingatkan kalian dengan neraka yang menyala-nyala.”
Tumbilotohe dapat diberi makna miniatur neraka (api yang menyala-nyala) sebagai pengingat agar umat muslim kembali ke jalan yang benar. Bahwa tafsir tumbilotohe sebagai cahaya di atas cahaya (Nur Muhammad) sebagaimana ditulis Funco Tanipu, sudah tak lagi menggugah kesadaran spiritual. Justru umat Islam berduyun-duyun meninggalkan sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa cahaya.
Bayangkanlah, tat kala memasuki torowongan tumbilotohe yang indah dan memukau, langkah kaki seakan menapaki jembatan siratal mustaqiim. Bayangkan bahwa lautan nyala api tumbilotohe adalah nyala api neraka yang membakar. Segeralah menuju masjid.
Dengan makna baru ini, nyala api tumbilotohe bukan mengagumkan tetapi gambaran yang menakutkan. Sebagai simbol dari konsekuensi pilihan hidup yang salah. Neraka adalah tempat bagi mereka yang memilih jalan terang tumbilotohe dan menolak kebenaran.
Penutup
Demikian tafsir baru tumbilotohe; 1) membakar semangat/iman, 2) menghadirkan musuh manusia (setan) dan 3) miniatur lautan api neraka. Pembaharuan atas makna tumbilotohe sebagai 1) menerangi jalan ke masjid, 2) menyemarakkan lailatul qadar, yang justru 3) menjadi arena wisata reliji, sehingga menjadikan masjid kosong melompong.
Kalau ini dianggap “ngarang-ngarang” tidak mengapa. Yang pasti, dengan tafsir baru ini, penulis berharap ada keinginan kaum muslim Gorontalo untuk memperbaharui kesadaran iman sehingga berhasil meraih 1000 malam yang menurut keyakinan para leluhur Gorontalo terselip pada 3 malam terakhir di bulan ramadhan.
Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si – (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)