Mencari Jalan Damai, Mengakhiri Duka Cita
Oleh : Halid Lemba (Dosen Jurusan Sosiologi-UNG)
Agustus kita diakhiri duka cita, bukan suka cita. Demontrasi yang terjadi diberbagai tempat yang bergulir sejak tanggal 25 agustus sampai saat ini memakan korban jiwa, bentrokan antara aparat keamanaan dengan masyarakat yang tidak terkendali menimbulkan insiden kekerasan, terjadinya penjarahan.
Selain kejadian-kejadian di atas, demostran juga merusak berbagai fasilitas umum, dibeberapa tempat dan di beberapa kota (baca,idntimes.com) amuk masa yang bereskalasi dibeberapa tempat ini tidak bisa dilihat dan dibaca sederhana.
Amuk masa ini harus dilihat secara konfrehensif. Ia bukan hanya faktor elit politik nasional yang berbicara dan menyinggung perasaan masyarakat. Tetapi akumulasi masalah dan rasa marah masa yang baru terluapkan Ketika mendapatkan momentum. Dalam beberapa momen yang diperlihatkan di media sosial hal tersebut adalah cerminan rasa frustrasi.
Lalu bagaimana kita menyikapi permasalahan ini ?
Kita tidak bisa menyalahkan pihak manapun dalam persoalan ini, termasuk tudingan campur tangan pihak asing. Argumentasinya adalah seberapapun kuatnya campur tangan asing dalam kericuhan ini, jika tidak terdapat bara api di grassroots, konflik tidak bisa dipicu.
Yang harus dilihat oleh pemerintah pusat adalah konteks masalah, bukan perilaku dan sikap masyarakat. (baca. Johan Galtung). Jika pemerintah melihat konteks masalah maka yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah berbenah secara struktural kelembagaan, memperbaiki pola komunikasinya yang berantakan, perbaikan ekonomi masyarakat, termasuk janji menyediakan lapangan pekerjaan, mempertimbangkan berbagai feasible kebijakan (termasuk kebijakan menaikan pajak), secara sungguh-sungguh berpihak kepada masyarakat.
Sampai saat ini, pemerintah pusat fokus pada sikap dan perilaku masyarakat dan sebagian elit politik. Bagi beberapa elit politik yang dianggap “niretika” mendapat disiplin dari pimpinan partai politik (meskipun hal tersebut harus diperikasa kembali). Dan membatalkan kebijakan menaikan tunjangan DPR yang kontroversial tersebut.
bagi demostran menurut pidato presiden mereka mengarah pada tindakan “makar”. Karena itu menurut persiden harus dintindak tegas. Tindakan tegas tersebut diterjemahkan oleh Kapolri dalam video yang tersebar luas adalah tembak ditempat, apabila ada masa aksi menyerbu markas kepolisian. Hal yang dilakukan pemerintah pusat dan Kapolri tersebut tidak sedikitpun menyentuh akar persoalan.
Apa yang disampaiakan oleh Lewis coser terkait konflik dapat ditransformasi menjadi perubahan sosial tidak memenuhi syarat, khususnya point keseimbangan kekuatan antar pihak. Konflik yang bereskalasi dibeberapa tempat, lebih cenderung bersipat destruktif, bukan konstruktif
Transformasi Konflik menuju arah perubahan
Jika melihat situasi saat ini, tahapan konflik yang harus dilakukan adalah menejemen konflik dan berupaya meresolusi konflik. Menejemen konflik harus dilakukan agar konflik tidak semakin memburuk dan bereskalasi diberbagai daerah, tidak ada tindakan represif dan kekerasan karena hal tersebut akan memicu konflik dan korban jiwa baru.
Pada tahap resolusi kita berupaya mencari titik temu dan penyelesaian masalah secara subtantif. Pemerintah yang memiliki otoritas dan wewenang, tidak hanya mengumpulkan tokoh-tokoh agama, elit politik. Tetapi juga wajib menfasilitasi dan mengakomodir aspirasi dari berbagai simpul masa, seperti point-point yang dirumuskan oleh seknas Gusdurian (lihat tujuh poin rekomendasi Gusdurian).
Pada skala pengendalian nirkekerasan bisa membaca rekomendasi Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM (lihat intagram mprk.ugm).
Upaya-upaya yang dilakukan dalam memfasilitasi menyelesaiakan konflik ini, harus menyentuh “akar konflik dan mengobati rasa kemanusiaan yang tercederai”. Jika tidak konflik serupa akan terulang lagi dan rekonsiliasi kebangsaan tidak akan tercapai.
Tidak cukup dengan permintaan maaf kepada korban jiwa dari berbagai pihak, harus ada upaya pengungkapan kesalahan, kelalaian dari berbagai pihak pula baik pemerintah dan masyarakat yang terlibat, baru kemudian bisa membicarakan arah baru kebangsaan.