Menengahi Kebisingan Juru Bicara Kepala Daerah di Gorontalo
Kontestasi kepentingan politik dan ekonomi di Gorontalo kembali mencuat ke permukaan setelah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank SulutGo yang digelar di Manado pada, Rabu, 09/04/2025. Alih-alih menjadi ruang konsolidasi kepentingan antar daerah, forum itu justru memicu ketegangan politik yang baru—bukan hanya antar kepala daerah, tetapi juga para juru bicara mereka.
Pemicunya adalah pernyataan Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, dalam konferensi pers. Ia menyebut Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail, “dungu” karena dianggap gagal memperjuangkan keterwakilan Gorontalo dalam jajaran komisaris dan direksi Bank SulutGo. Ungkapan itu dibalas oleh Juru Bicara Gubernur, Alvian Mato, yang menegaskan bahwa Gusnar adalah figur intelektual, lulusan program doktoral, dan pernah menjadi pengajar di Lemhannas RI.
Ia juga menyentil bahwa ijazah Gusnar tak pernah digugat, sindiran yang dianggap menyasar persoalan lama Adhan yang ijazahnya pernah dipersoalkan saat maju dalam pemilihan wali kota—meskipun telah terbukti sah secara hukum dan administratif. Respon balik pun muncul dari Juru Bicara Wali Kota, Hadi Sutrisno, yang menyebut Alvian sebagai “jubir asbun” alias asal bunyi, dan menilai Alvian tak memahami tugas pokok dan fungsinya sebagai juru bicara.
Perang pernyataan ini tidak hanya memperlihatkan kegaduhan komunikasi antar elite, tetapi juga menunjukkan gejala yang lebih serius: degradasi etika komunikasi politik di lingkup pemerintahan daerah. Juru bicara, yang sejatinya menjadi wajah lembaga dan penjaga marwah komunikasi publik, malah terjebak dalam polemik personal yang tak bermutu. Mereka lupa bahwa tugas mereka bukan untuk menyerang, tetapi menjelaskan dan menjembatani.
Etika dalam komunikasi politik menjadi penting karena ia berfungsi sebagai pagar moral dalam ruang demokrasi yang penuh dinamika. Ketika juru bicara kehilangan kendali dan etika, bukan hanya kepercayaan publik yang runtuh, melainkan juga kehormatan lembaga yang mereka wakili.
Peran Juru Bicara
Berangkat dari arti kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah “juru” merujuk pada seseorang yang ahli dalam suatu pekerjaan yang membutuhkan latihan, kecakapan, dan ketelitian. Dengan demikian, “juru bicara” dapat dimaknai sebagai sosok yang memiliki kepiawaian dalam menyampaikan pesan secara lisan secara profesional.
Terkait peran juru bicara, Hotmaida Marttianno Nainggolan dkk., dalam jurnal berjudul Pentingnya Juru Bicara sebagai Komunikator Politik pada Presidensi G2P Indonesia (2019), menegaskan bahwa juru bicara memiliki peran strategis dalam lanskap komunikasi publik. Peran tersebut meliputi fungsi sebagai komunikator politik, penasihat strategis, dan sekaligus humas bagi pemimpin maupun institusi.
Sebagai komunikator politik, juru bicara memainkan peran penting di ranah sosial-politik. Ia bertanggung jawab untuk merespon tekanan publik dengan bijak dan tenang, sekaligus membentuk opini publik melalui narasi yang terstruktur. Peran ini tidak hanya dijalankan oleh para politisi, tetapi juga dapat diemban oleh kalangan profesional dan aktivis yang memiliki kapasitas komunikasi publik yang mumpuni.
Dalam kapasitasnya sebagai penasihat strategis, juru bicara bertugas memberikan masukan kepada pemimpin terkait isu-isu aktual yang berkembang di masyarakat. Ia menjadi penyalur informasi dan perspektif yang relevan sekaligus berfungsi sebagai “telinga” rakyat—menyerap aspirasi dan menyampaikannya dalam bentuk rekomendasi yang membantu proses pengambilan keputusan.
Adapun dalam perannya sebagai humas, juru bicara bertanggung jawab menyampaikan pesan pemimpin dengan bahasa yang jelas, runtut, santun, objektif, dan tegas. Kemampuan mengkomunikasikan pesan secara efektif menjadi kunci utama agar informasi dapat diterima secara utuh dan tidak menimbulkan multitafsir. Pada titik ini, kepercayaan publik dapat tumbuh secara alami karena merasa dihargai dan dipahami.
Belajar dari yang berpengalaman
Dalam lingkup nasional, kita bisa menimba pelajaran dari sejumlah juru bicara Presiden yang menunjukkan kapasitas luar biasa dalam menjalankan peran strategis mereka. Sebut saja Wimar Witoelar, Adhie Massardi, Yahya Cholil Staquf, dan Wahyudi Muryadi yang menjadi juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terdapat pula nama Dino Patti Djalal, Andi Mallarangeng, dan Julian Aldrin Pasha yang tampil sebagai juru bicara yang efektif dan berwibawa. Mereka membuktikan bahwa menjadi juru bicara bukan sekadar soal kefasihan berbicara, tetapi juga kemampuan menjembatani komunikasi antara pemimpin dan publik. Gus Dur, misalnya, dikenal dengan gaya komunikasinya yang ceplas-ceplos dan kerap multitafsir di tengah masyarakat.
Dalam konteks itu, keempat jubirnya memainkan peran penting dalam menjelaskan secara rinci maksud dari setiap pernyataan Gus Dur, sekaligus meredam polemik dengan sikap tenang dan narasi yang mencerahkan. Majalah Tempo yang terbit pada 27 Februari 2000 bahkan sempat menulis dalam salah satu kolomnya yang berjudul “Syukur-Syukur Ada Juru Bicara”, yang menegaskan betapa krusialnya peran jubir dalam mengawal komunikasi publik di era pemerintahan Gus Dur.
Hal serupa juga tampak di masa Presiden SBY. Dino Patti Djalal, Andi Mallarangeng dan Julian Aldrin Pasha tampil sebagai juru bicara yang tidak hanya menjawab ketidakjelasan pernyataan Presiden, tetapi juga merespons kritik publik dengan kepala dingin, analisis yang jernih, dan gaya komunikasi yang meyakinkan.
Bagaimana selanjutnya?
Gorontalo membutuhkan juru bicara yang cerdas, santun, dan mampu menahan diri dalam tensi politik yang panas. Dalam konteks demokrasi lokal, konflik dan perbedaan pandangan adalah hal biasa. Namun cara mengelola perbedaan itulah yang perlu dibenahi.
Sudah saatnya para juru bicara kepala daerah di Gorontalo menahan diri dari narasi provokatif dan lebih memilih jalur komunikasi yang konstruktif. Jika tidak, suara-suara yang seharusnya menjelaskan akan berubah menjadi kebisingan yang menyesakkan ruang publik, memperkeruh demokrasi, dan merusak kehormatan institusi.
Oleh : Abdul Rajak Babuntai, M.Ikom – (Alumni Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Jayabaya, Jakarta)