Mengenal Istilah Wokisme, Sebuah Gerakan Sosial Anti Diskriminasi

wokisme- ilustrasi

Bakukabar.id – Wokisme (atau dalam bahasa Inggris disebut wokeism) adalah istilah yang berasal dari kata “woke”, yang awalnya digunakan dalam komunitas Afrika-Amerika di Amerika Serikat untuk menggambarkan kesadaran terhadap isu-isu sosial, seperti rasisme, diskriminasi, ketidakadilan sosial, dan hak asasi manusia.

Namun, dalam perkembangan selanjutnya, istilah wokisme sering digunakan secara peyoratif atau negatif oleh pihak-pihak tertentu untuk menyindir atau mengkritik gerakan sosial yang dianggap terlalu progresif atau berlebihan dalam memperjuangkan keadilan sosial.

Wokisme adalah sikap atau pandangan yang sangat sadar dan peduli terhadap isu-isu keadilan sosial, ras, gender, lingkungan, dan hak minoritas.

Aspek-aspek yang sering dikaitkan dengan wokisme:

Wokisme merupakan gerakan sosial anti-diskriminasi, menolak rasisme, seksisme, homofobia, dan segala bentuk penindasan. Gerakan ini menuntut adanya kesetaraan gender dan ras, juga mendukung inklusivitas dan representasi yang adil bagi semua kelompok.

Gerakan ini pun syarat bahasa bahasa inklusif.  Penggunaan istilah inklusif  dianggap lebih ramah terhadap kelompok minoritas. Selain itu, gerakan ini juga mengkritik struktur sosial lama dan menggugat norma-norma yang dianggap menindas atau tidak adil.

Kontroversi tentang wokisme:

Pendukung wokisme: menganggapnya sebagai bentuk kepedulian dan kemajuan moral masyarakat. Pengkritik wokisme: menyebutnya sebagai bentuk kebangkitan berlebihan yang bisa mengancam kebebasan berbicara atau menciptakan budaya “cancel” (cancel culture). Di Indonesia sendiri, ada Gerakan Anti-Kekerasan Seksual di Kampus.

Banyak mahasiswa dan dosen mendorong kampus untuk lebih responsif terhadap korban kekerasan seksual. Kita barangkali masih ingat ada kampanye dengan tagar  #Usik (Untuk Suara Korban) dan lahirnya Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

Kampanye Kesetaraan Gender

Dukungannya terhadap perempuan untuk mendapat peran yang sama di dunia kerja, politik, dan pendidikan.

Isu Perlindungan terhadap Minoritas

Advokasi terhadap kelompok agama minoritas, komunitas disabilitas, atau kelompok LGBTQ+ agar tidak didiskriminasi dalam pelayanan publik.

Gerakan Lingkungan

Aktivisme menolak proyek-proyek yang merusak lingkungan atau mengancam masyarakat adat (contoh: penolakan tambang di Wadas, atau pembelaan terhadap hutan adat).

Contoh Wokisme yang Menimbulkan Kontroversi

Isu LGBTQ+ di Ruang Publik Misalnya.  Dukungan terhadap hak-hak LGBTQ+ yang sering dianggap “melawan nilai budaya” oleh sebagian masyarakat.

Contoh: Reaksi negatif terhadap acara TV atau influencer yang dianggap mempromosikan gaya hidup LGBTQ+.

Kritik terhadap Budaya Patriarki dan Agama

Aktivis yang mengkritik praktik-praktik sosial bernuansa patriarki sering dituduh menyerang agama atau adat.

Contoh: Kritik terhadap aturan berpakaian tertentu di sekolah atau tempat kerja.

“Cancel Culture” di Media Sosial

Seseorang bisa diboikot secara massal di media sosial karena dianggap rasis, seksis, atau intoleran — bahkan sebelum ada pembuktian.

Contoh: Artis/influencer yang dihujat karena komentar lama yang dianggap ofensif.

Catatan Penting:

Di Indonesia, “woke” atau “wokisme” belum menjadi istilah umum, tapi gejala atau semangatnya ada, terutama di kalangan anak muda, mahasiswa, aktivis HAM, dan netizen kritis.

Sebagian orang memandangnya sebagai kemajuan moral, sementara yang lain merasa itu adalah tekanan sosial baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup