Menulis Ulang Sejarah; Pentingkah?
(catatan reflektif untuk gagasan penulisan ulang sejarah Indonesia)
Sejarah, pada hakikatnya, tidak pernah beku. Ia adalah aliran waktu yang terus bergerak, terus diinterpretasi ulang. Gagasan untuk menulis ulang sejarah, dalam kondisi tertentu, bukanlah hal yang tabu—bahkan sebaliknya, bisa menjadi langkah penting untuk menyembuhkan luka kolektif, membetulkan narasi yang timpang, dan membuka ruang bagi suara-suara yang selama ini dibungkam. Menulis ulang sejarah dalam konteks ini menjadi sangat penting.
Karena itu, penulisan ulang ini harus menyertakan partisipasi publik yang luas. Bukan sekadar memberi ruang untuk bicara, tapi juga menyiapkan ruang untuk bersilang pendapat. Koreksi antar data, ketegangan tafsir, dan debat terbuka yang konstruktif bukan hambatan, melainkan fondasi. Sebab sejarah yang ditulis bersama tidak lahir dari keheningan, tetapi dari pertemuan tafsir yang bersedia saling menguji. Dari situlah spektrum sejarah yang luas dan inklusif bisa tumbuh—tidak seragam, tapi saling menyilang dan saling jaga.
Tapi proyek penulisan ulang sejarah ini akan problematik apabila dijalankan bukan dalam semangat keterbukaan, melainkan sebagai cara baru untuk menutup fakta, menghapus tragedi, dan menggantikan kebenaran dengan narasi kuasa. Ketika Fadly Zon, sebagai Menteri Kebudayaan, meragukan “fakta” pemerkosaan massal pada Mei 1998, kecurigaan publik pun muncul. Jangan-jangan keinginan untuk menulis ulang sejarah Indonesia untuk kepentingan politis, bukan kepentingan sejarah itu sendiri.
Dengan begitu, sejarah akan kehilangan peran sentrumnya sebagai cermin kebenaran. Ia berubah menjadi tembok: membatasi, menyaring, dan menolak yang tak sesuai dengan arah kekuasaan. Dalam logika semacam itu, yang dibungkam bukan hanya suara penyintas, tetapi juga kemungkinan bagi bangsa ini untuk menyusun ulang ingatannya secara jujur.
Fanon, dalam The Wretched of the Earth, mengajarkan bahwa sejarah bukan sekadar kronik. Ia adalah alat penjajahan—atau pembebasan. Sejarah bisa menciptakan rakyat yang tunduk atau membangkitkan kesadaran yang melawan. Maka, ketika sebuah otoritas mencoba menyusun ulang sejarah tanpa partisipasi korban, tanpa mendengar kesaksian yang getir, tanpa pengakuan akan luka, maka ia sedang menghapus eksistensi manusia itu sendiri.
Di sinilah bahayanya.
Sejarah, jika disulap menjadi versi steril dan menyenangkan bagi penguasa, akan menjelma menjadi mitos. Ia akan mengubah pelaku kekerasan menjadi pahlawan, dan para penyintas menjadi gangguan naratif. Padahal sejarah bukan tentang kenyamanan, melainkan tentang keberanian menghadapi fakta, sepahit apapun itu. Jika luka itu disangkal, bukan hanya para korban yang dihianati—tetapi bangsa ini sedang menegasikan dirinya sendiri.
Penulisan ulang sejarah baru akan bermakna jika dilakukan dengan prinsip keberpihakan pada kejujuran. Ia harus membuka ruang arsip dan kesaksian. Harus menyediakan wadah bagi mereka yang selama ini tidak dianggap “layak dicatat.” Ia bukan tentang versi tunggal, tetapi tentang percakapan antar-versi—tentang mempersilakan NU menulis sejarah NU, Muhammadiyah menulis sejarah Muhammadiyah, perempuan menulis sejarah tubuh mereka, Tionghoa menulis tentang diskriminasi yang mereka hadapi, dan penyintas 98 menulis tentang malam-malam ketika hidup mereka tak lagi sama.
Semua itu ditulis bukan untuk saling mengalahkan narasi. Tetapi untuk mengakui bahwa sejarah Indonesia bukan satu sungai, tapi delta—bercabang, berliku, dan menyatu di hilir yang disebut bangsa.
Fanon menyebut bahwa untuk membebaskan diri, rakyat harus merebut kembali sejarahnya. “The colonized subject is always presumed to have no history; liberation begins when they begin to narrate.”
Kita sudah merdeka dari kolonialisme formal. Tapi kita belum sepenuhnya merdeka dari kolonialisme narasi—dari sejarah yang ditulis dari atas menara kekuasaan. Maka, menulis ulang sejarah bisa menjadi momentum pembebasan, asal bukan untuk membungkam, melainkan untuk menyuarakan.
Yang kita butuhkan bukan “versi baru” dari sejarah yang disusun ulang demi kenyamanan politik. Bukan narasi bersih yang menghapus bagian-bagian yang dianggap mengganggu. Yang kita butuhkan adalah ruang bagi kebenaran yang beragam, bagi kisah yang selama ini terabaikan, dan bagi rakyat yang selama ini hanya menjadi objek wacana untuk mulai berbicara atas nama dirinya sendiri.
Karena bangsa yang besar bukan bangsa yang menyimpan sejarah yang rapi dan indah. Tetapi bangsa yang berani menulis sejarahnya sendiri—dengan kesediaan untuk jujur, keberanian untuk menghadapi kenyataan, dan komitmen untuk tidak mengulang kesalahan masa lalu.
Oleh : Pepy Albayqunie (Seorang pecinta kebudayaan lokal dan Jamaah Gusdurian di Sulawesi Selatan yang belajar menulis novel secara otodidak. Ia lahir dengan nama Saprillah)