Merah Putih Bertengkorak: Distorsi Simbol, Distorsi Nilai
Oleh: Zaenuddin Endy
(Wakil Sekretaris PW IKA PMII Sulawesi Selatan)
Fenomena munculnya bendera Merah Putih yang dilukisi atau ditambahi gambar tengkorak bukan sekadar ekspresi seni atau “gaya pemberontakan” belaka. Ia merupakan gejala yang lebih dalam, tentang krisis pemaknaan terhadap simbol negara, penipisan nilai kebangsaan, dan kemungkinan munculnya subkultur radikal yang mencemari ruang publik kita. Merah Putih bukan sekadar kain dua warna, tetapi simbol kedaulatan, perjuangan, dan pengikat identitas kolektif bangsa. Ketika ia dilumuri gambar tengkorak yang lazimnya melambangkan kematian, ancaman, atau teror, kita patut bertanya: apa yang sedang terjadi?
Secara hukum, tindakan mengubah, mencoret, atau menambahi simbol negara termasuk bendera Merah Putih merupakan pelanggaran. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara secara tegas melarang penggunaan bendera negara untuk tujuan yang merendahkan martabatnya. Gambar tengkorak, dalam konteks ini, bukan sekadar estetika, tapi simbol konfrontatif yang mereduksi makna luhur perjuangan para pahlawan.
Fenomena ini menandakan adanya alienasi sebagian kelompok masyarakat dari nilai-nilai nasionalisme. Jika dahulu Merah Putih dikibarkan dengan haru dan bangga oleh para pejuang, kini ia bisa menjadi “kanvas” dari protes tanpa arah atau bahkan parodi yang tak menghormati sejarah. Anak-anak muda yang mengenakan kaus bergambar bendera tengkorak, misalnya, mungkin hanya ingin terlihat “keren” atau “beda”, tapi secara tidak sadar telah ikut mencemari makna simbol kebangsaan.
Munculnya simbol tengkorak pada bendera negara bisa jadi merupakan ekspresi dari kekerasan simbolik, yakni bentuk protes terhadap negara atau pemerintah. Namun berbeda dengan kritik konstruktif dalam demokrasi, simbol semacam ini cenderung nihilistik: ia tidak menyampaikan tawaran jalan keluar, melainkan hanya menyebarkan kekacauan makna. Ini mencerminkan krisis representasi antara warga dan negara, antara identitas pribadi dan identitas kolektif.
Dalam konteks budaya populer dan digital, banyak anak muda yang mengonsumsi simbol-simbol ekstrem—baik dari budaya barat seperti punk, metal, maupun simbol subversif lainnya—tanpa memilah mana yang bisa dimaknai secara lokal dan mana yang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan. Bendera merah putih bertengkorak bisa jadi hanya “ikut tren”, namun tren semacam ini membahayakan bila tidak ada literasi simbol dan nasionalisme yang kuat.
Negara dan masyarakat sipil tidak boleh abai terhadap fenomena ini. Kita membutuhkan pendekatan kultural yang membumikan kembali simbol-simbol kebangsaan dalam bahasa generasi muda. Merah Putih harus dihidupkan kembali sebagai simbol perjuangan dan harapan, bukan sekadar dekorasi atau pelampiasan frustrasi.
Pendidikan kewargaan perlu diperkuat bukan hanya dalam aspek normatif, tetapi juga dalam membentuk kesadaran simbolik. Anak muda harus diajak memahami bahwa menghormati bendera bukanlah tindakan kaku, tapi bentuk penghargaan terhadap sejarah kolektif dan etika hidup berbangsa.
Fenomena ini juga menantang para seniman, budayawan, dan pendidik untuk menciptakan ruang-ruang ekspresi yang bebas namun tetap bertanggung jawab. Seni dan kreativitas tidak perlu dikekang, tetapi harus diarahkan agar tetap menghormati simbol-simbol bersama. Kritik terhadap negara sah-sah saja, namun ada batas etis dalam mengekspresikannya—terutama ketika menyangkut simbol pemersatu bangsa.
Pemerintah melalui kementerian terkait harus aktif melakukan sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya menjaga kehormatan simbol negara, termasuk bendera. Tidak cukup hanya melarang; perlu ada ruang dialog dan pendekatan kebudayaan agar generasi muda merasa memiliki dan menghargai Merah Putih.
Fenomena ini menjadi cermin bahwa nasionalisme tidak bisa dipelihara dengan upacara dan slogan semata. Ia harus dirawat dalam keseharian, dalam cara kita mendidik, mengelola media, hingga dalam cara kita memaknai simbol. Tanpa itu, nasionalisme bisa runtuh dalam simbol-simbol yang dikosongkan maknanya oleh generasi penerusnya sendiri.
Dalam konteks sosial-politik yang semakin terpolarisasi, penggunaan simbol-simbol ekstrem seperti tengkorak di bendera negara berpotensi memperuncing sentimen dan konflik identitas. Bila tidak ditangani secara arif, ia dapat menjadi bibit dari radikalisme kultural yang merongrong harmoni sosial.
Masyarakat perlu dilibatkan dalam pengawasan dan pembentukan opini publik terhadap fenomena semacam ini. Jangan biarkan relativisme makna menjadi pembenaran atas tindakan yang menciderai kesepakatan kolektif tentang simbol negara. Demokrasi memang menjamin kebebasan berekspresi, tetapi ia juga menuntut tanggung jawab.
Media sosial memiliki peran ambivalen. Ia bisa menjadi ruang edukasi, namun juga tempat penyebaran simbol-simbol menyimpang. Oleh karena itu, literasi digital menjadi kebutuhan mendesak untuk menumbuhkan sikap kritis sekaligus nasionalis dalam berselancar di dunia maya.
Kita perlu menggugah kembali semangat simbolik bendera Merah Putih sebagai warisan spiritual bangsa—bukan hanya legal-formal. Tengkorak mungkin mencerminkan kematian, tapi Merah Putih adalah kehidupan: pengorbanan, harapan, dan cita-cita bersama. Jika kita membiarkan simbol-simbol destruktif melekat padanya, maka kita sedang menyiapkan kematian simbolik bangsa sendiri.
Di tengah gempuran budaya global dan krisis identitas nasional, menjaga kehormatan Merah Putih bukan soal fanatisme simbolik. Ia adalah ikhtiar untuk merawat semangat kebangsaan di tengah dunia yang semakin cair, terbuka, dan rentan terpecah. Merah Putih tidak butuh tengkorak untuk terlihat kuat—karena kekuatannya telah tertanam dalam sejarah panjang perjuangan bangsa ini..