Mobuka To Tihi; Potret Kemiskinan Pedesaan

Ilustrasi: www.radarsampit.com

“Undangan ditujukan kepada seluruh jamaah untuk berbuka puasa bersama pada besok hari di masjid ini, penyelenggara kelompok Paci Haru dan Pali Sango (rekaan)”. Demikian pengumuman mobuka to tihi (bukber di masjid) yang disampaikan Aba Danggu (rekaan) melalui pengeras suara masjid seusai sholat tarawih. Anak-anak bersorak, membayangkan makan bergizi gratis, sepiring bubur ayam kampung yang lezat, segelas teh hangat dan sepiring kecil aneka kue.

Sejak ashar, anak-anak sudah berkumpul di masjid. Lebih tepatnya main kejar-kejaran. Di bagian belakang, ibu-ibu kelompok pelaksana di bawah komando Dangi Rami, berbagi peran menyiapkan menu berbuka. Ada yang mencerabut bulu-bulu ayam, ada yang mengiris-iris bawang merah, ada yang mencuci beras dan ada yang berusaha menyalakan api pada tungku besar.

Jemari lincah ibu-ibu selincah bibir mereka mengumbar karlota dengan berbagai tema. Sejam kemudian, aroma bubur ayam mulai menggoda selera. Benar-benar bubur ayam. Isinya bubur dan serpihan-serpihan besar daging ayam.

Tak seperti bubur ayam yang dijual di pasar takjil atau pinggiran jalan. Lebih tepat dinamakan bubur rasa ayam. Hanya ada dua tiga serpihan kecil daging ayam setipis karet gelang. Padahal ayamnya gemuk. Orang menyebut ayam pedaging. Rasanya beda dengan ayam kampung. Mungkin karena malas bergerak, terkungkung dan setiap hari makan makanan siap saji. Berbeda dengan ayam kampung, rajin bergerak, bebas pacaran, tidur bertengger pada ranting pohon, mencari makan sendiri dengan mengais-ngais apa saja.

Sejurus kemudian, Aba Danggu menyetel radio. Terdengar suara penyiar cantik RRI, Denylsa Boking memberi pengumuman “buka puasa hari ini jatuh pada pukul 18 lewat 4 menit. Untuk daerah Isimu ditambah 1 menit”. Moment penantian sepuluh menit jelang berbuka rasanya sejam 2 jam, ditambah lagi 1 menit.

Suara pengajian menggema. Jamaah mulai menyemut. Didominasi anak-anak, mengelilingi barisan menu buka puasa. Wajah mereka cerah ceria, seperti sedang tidak berpuasa. Lebih tepatnya pura-pura puasa, demi menikmati lezatnya bubur ayam.

Ada kebahagiaan di antara anak-anak ketika masih terdapat sela-sela tempat duduk yang kosong. Betapa beruntungnya anak yang sebelahnya tak terisi. Berharap beduk tanda berbuka segera dibunyikan. Akhirnya… Secepat kilat anak beruntung itu melahap sepiring bubur ayam jatahnya. Tak perlu dikunyah, seperti meneguk susu segar. Sambil tangannya meraih sepiring lagi yang tak bertuan di sampingnya.

Ini adalah strategi menang banyak. Tapi mereka tak serakah, seperti kebanyakan oknum pejabat kita yang semakin tinggi jabatan semakin rakus dan tamak. Anak-anak berebut tetapi saling berbagi. “Berbagi kemiskinan” sebut Prof. Sajogjo, Guru Besar Sosiologi Pedesaan IPB.

Waktunya Iqomah, anak-anak masih sibuk mengoleksi sisa-sisa kue tak bertuan. Lantaran kekenyangan, sebagian yang bertekstur kenyal, diselip pada lipatan sarung, sebagian lagi diselip pada songkok. Buat jaga-jaga, setelah ini tak ada acara makan lagi, selain makan sahur nanti.

Sekonyong-konyong seorang anak menjerit tertahan, menahan malu. Modusnya terbongkar. Dari arah rambut ke wajahnya meleleh cairan kecoklatan. Rupanya seseorang menepuk songkoknya yang berisi 3 butir onde-onde moddayanga kesukaannya.

Demikianlah. Berbuka di masjid bagi anak-anak kampung laksana pesta besar. Di sana tersedia aneka kue dan lezatnya sepiring dua piring bubur ayam gratis. Menu serupa tak tersedia di rumah. Selain sepiring nasi jagung dengan sepotong ikan tumis di puncaknya.

Cara memakannya dimulai dengan menyicil nasi berkuah di lereng piring. Lauknya sekadar pajangan, untuk memompa semangat mengunyah, agar kenyangnya dapat. Barulah pajangan itu diraih, pelan-pelan dicicipi, menemukan sensasi puncak kenikmatan di bagian akhir. Ini sebagai strategi efisiensi, sebelum pemerintah mencanangkannya, demi makan bergizi gratis. Sayangnya yang ini makanan kurang bergizi.

Bagi kalangan mapan. Fenomena ini dianggap isapan jempol. Apalagi yang rajin perjalanan dinas ke berbagai kota dan negara. Hihi haha dengan sesama pejabat dan pengusaha. Bukbernya di café-café dan restoran mewah. Lebih banyak lauk daripada nasinya. Terkadang tak disentuh, hanya difoto lalu dipajang di media sosial.

Belanjaan mereka barang-barang bermerek yang hanya sekali pakai, langsung memenuhi lemari. Tak ada empatinya terhadap kaum miskin pedesaan. Kalau tak percaya, dengarkan saja siaran RRI jelang buka. Program “Puasa orang susah” sebagai fakta pembanding. Naratornya menangis tertahan.

Itu bukan narasi karangan Pakuni maupun Maciri. Benar-benar potret kemiskinan pedesaan. Jumlahnya masih cukup besar. Mereka tak tersentuh bansos pemerintah, yang konon katanya lebih menyasar keluarga dekat aparat desa, yang berpura-pura miskin itu. Fenomena bansos seperti merawat kemiskinan pedesaan.

Kaum miskin pedesaan berharap, semoga di bulan suci ini mendapat sentuhan tangan-tangan dermawan perkotaan. Baik dalam bentuk zakat, infaq dan sedekah. Sehingga mereka bisa bergembira mulai hari ini, hingga hari raya idul fitri nanti. Semoga.

Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup