Mobuli dan Biloli; Nikmat Membawa Sengsara

ilustrasi

Hari raya sudah dekat. Ujian semakin pekat. Bukan lagi ujian menahan lapar dan dahaga. Juga bukan soal menahan kantuk dan lelah bersujud, tetapi cobaan menahan hasrat berbelanja. Lihatlah. Warga tumpah ruah berkendara di jalan. Jalanan macet dibuatnya. Pusat perbelanjaan penuh sesak. Warung makan mulai berdecak. Bonus seribu bulan tergadaikan.

Hari raya laksana pesta akbar. Dirayakan secara besar-besaran. Dipersiapkan secara habis-habisan. Dilengkapi mati-matian. Mati-matian beli kursi baru, gorden baru, baju baru, sandal baru, serba baru. Padahal baju lama masih satu lemari.

Kue-kue berlumur gula bertoples-toples. Lusinan minuman soda merek tiga serangkai berbuih-buih, mengancam raga. Uang THR tak cukup. Uang simpanan habis. Meminjam saudara, dia juga butuh. Pinjam ke bank, persyaratan rumit.

Cari jalan pintas yang serba instant. Mendekati jasa pinjam meminjam. Tak peduli bunganya berlipat-lipat. Koperasi berubah jadi tukang peras. Pinjaman online berubah jadi pinjaman bikin oleng.

Negara Pun Berhutang

“Wanu dila mobuli dila mo’otuli”. Kalau tidak ngutang tidak bisa membalas. Maksudnya tidak berdaya dan tak bisa apa-apa. Inilah ungkapan yang menyesatkan. Memantik hasrat meminjam uang, berhutang, dalam bahasa Gorontalo dinamakan mobuli.

Perilaku mobuli sepertinya bagian dari kehidupan. Mobuli bukan hanya dilakukan oleh orang tak mampu yang ingin bertahan hidup. Atau orang yang kesulitan untuk bisa bernafas lega. Mobuli juga banyak dilakukan oleh orang kaya yang ingin melipatgandakan kekayaannya.

Bahkan, negara zamrud katulistiwa, juga ikut-ikutan berhutang. Jumlahnya sangat mencengangkan. Triliunan rupiah. Sebagaimana dirilis antaranews.com, saat ini, total utang pemerintah Indonesia mencapai Rp. 8.041,01 triliun.

Angka yang tidak main-main. Uang sebanyak itu jika ditimbang, beratnya sekitar 75.500.000 kg, dibutuhkan sekitar 1.510.000 karung ukuran 50 kg. Untuk membawa pulang uang sebanyak itu diperlukan sekitar 7.550 mobil kontainer dengan kapasitas 10 ton. Andai satu saja dari mobil-mobil kontainer itu mengalami kecelakaan dekat pusat perbelanjaan, apa yang akan terjadi?

Atas Nama Gaya Hidup

Mobuli ramai dipraktikkan. Mulai dari individu sampai institusi besar. Cara praktis memenuhi kebutuhan.  Plus mengejar gengsi. Jadi, mau kaya atau miskin, semua pasti terjebak hutang piutang (biloli).

Dangi Rami adalah salah seorang dari sejuta warga Gorontalo yang terjebak dalam gaya hidup konsumtif. Ia merasa mudah untuk membeli barang-barang mahal hanya dengan mengisi formulir pengajuan kredit. Lalu menandatanganinya.

Dalam pikirannya, masalah pelunasan bisa dicicil, karena ia memiliki gaji dan tunjangan bulanan. Yang terpenting baginya adalah menikmati hidup secara instan. Merasakan betapa bergengsi memiliki barang mahal.

Apa manfaat dari barang yang dibeli biasanya justru menjadi pertimbangan ke delapan belas. Masalah mulai timbul ketika tagihan kredit datang di kemudian hari, yang ternyata jumlahnya membengkak, akibat bunga berbunga yang menjebak.

Dangi Rami sebetulnya berpendidikan. Dia punya pengetahuan tentang hukum pinjam meminjam. Sialnya, dia terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya. Berlomba menggadaikan surat-suratan penting. Dia pun ikut berlomba.

Hanya hitungan bulan, Dangi Rami sudah bisa bangun rumah, bisa beli mobil, buka usaha, menyekolahkan anak-anak, dan semua kepentingan yang membutuhkan nilai uang besar dapat diselesaikan dengan mobuli.

Tiga kali Dangi berhutang untuk memegahkan dunianya. Pinjaman pertamanya untuk membangun rumah. Pinjaman kedua untuk beli mobil, pinjaman ketiga buka usaha. Lengkap sudah. Kelihatannya Dangi sangat bahagia, ternyata sebaliknya.

Perasaannya tidak tenang. Setiap bulan penghasilannya tersedot bayar cicilan. Padahal kebutuhannya terus meningkat. Terlihat kaya secara lahir, nyatanya, batinnya menderita.

Minjam Uang ke Teman

Lain lagi dengan Pakuni. Menggilir teman-teman dekatnya untuk berhutang. Tidak ada bunga ribawi, tetapi hubungan persahabatan menjadi taruhannya. Ketika meminjam, aksi Pakuni sangat dramatis. Memelas, meminta belas kasihan. Berjanji untuk segera membayar. Bersumpah akan melunasi utang secepatnya.

Nyatanya, janji tinggallah janji.  Bak janjinya ketika masih bujang kepada sang kekasihnya yang hamil. “Aku akan menikahimu sayang”. Lalu pergi tanpa pesan.

Demikianlah aksi sang pengutang. Ketika urusannya tertolong, dia lupa pada dewa penolongnya. Sudah jatuh tempo, mulai tak kelihatan batang hidungnya. Coba ditagih malah mengumbar banyak alasan. Wajahnya cemberut. Mulai aksi menghindar.

Pintu rumahnya ditutup rapat-rapat. Sekaligus dengan kedua telinganya. Dikirim WA, tak lagi dibaca, apalagi dibalas. Ditelfon tak mau angkat. “Sungguh tak tahu malu”. Sumpah Balimbo korban ingkarnya Pakuni.

Karena kesal, akhirnya heboh di dunia maya. Balimbo menulis status di akun medsosnya. Netizen kepo. Modus Pakuni terbongkar. Ternyata berhutang di sana-sini (lihu-lihu lo biloli). Jadilah bulan-bulanan netizen. Sungguh berhutang sangat menyiksa hidup. Nikmat membawa sengsara.

Sadar setelah Terlilit Hutang

Berbeda dengan Madaa, belasan tahun dalam lilitan utang ribawi. Dia terjebak dengan pikirannya. Dia lupa bahwa Allah Maha Kaya Raya. Dia lebih fokus menjawab pertanyaan dalam benaknya. Bagaimana dengan biaya pendidikan anak? Bagaimana dengan biaya menikahkan anak? Bagaimana dengan masa depan anak?

Inilah kekhawatiran-kekhawatiran yang datang menghantui Madaa. Meminjam uang di bank seolah satu-satunya solusi.

Kesadaran Madaa tergugah ketika dia mulai ikut majelis ilmu. Ditambah lagi dengan inisiatif mencari informasi secara online. Lalu Madaa bergabung di grup whatsapp. IBR=Indonesia Bebas Riba.

Membernya sebagian besar adalah mantan pegawai bank. Mereka memilih resign meninggalkan riba. Mulai membuka usaha kecil-kecilan yang penting halal.

Madaa menyangka, pelaku riba adalah pemberi pinjaman. Ternyata tidak. Obrolan di IBR menyadarkannya, bahwa pegawai bank dan nasabah sama-sama pelaku riba. Ya. Pelaku riba. Riba ancamannya berat. Setara dengan berzinah puluhan kali, dengan ibu kandung sendiri. Sungguh menjijikkan ya?

Hidup tenang Tanpa Riba

Betapa riba telah menggerogoti perekonomian umat. Ibaratnya para nasabah seperti tenaga kerja para bankir. Tenaga kerja tak berupah. Setiap bulan berusaha keras menyetor ke bankir dari hasil usahanya dengan modal yang dihutangkan.

Bagi kalangan PNS mungkin cicilan setiap bulan relatif aman, hanya mengurangi keinginan dan kemauan. Bagaimana dengan pedagang kecil, pengusaha yang untungnya pasang surut?

Mereka berjibaku mendapatkan keuntungan setiap bulan. Agar bisa menyetor cicilan. Tak jarang hasil yang mereka dapatkan tersedot habis untuk membayar cicilan.

Menanggapi hukum bunga bank, kalangan ulama berbeda pendapat. Sebagian menghukumi boleh sebagian mengharamkan. Itulah kenapa, banyak umat Islam yang ikut pendapat yang membolehkan. Hanya riba kecil tidaklah mengapa.

Pesan Leluhur

“Dila Pohiyamela Piyohu uti”. Jangan mempercepat kebaikan. Artinya tidak mengambil jalan pintas meskipun untuk kebaikan. Demikian pesan Kadaa Hama kepada putranya yang baru menikah.

Masa-masa, di mana baru terasa betapa membutuhkan banyak hal. Rasanya ingin punya rumah sendiri, punya kenderaan sendiri, dst. Andai bukan pesan keramat ini, jadilah dia aktivis riba di usia muda.

Betapa arifnya petuah leluhur (mongo panggola mulolo). Mereka tidak serta merta melarang keras “Dila pobuli uti” Jangan berhutang nak. Sebagai gantinya “Dila pohiyamela piyohu” Petuah sarat makna. Bahwa berhutang adalah satu langkah menyelesaikan masalah, yang justru menambah banyak masalah.

Terlihat mapan dan makmur. Faktanya jiwa kerontang hidup tak tenang. Kerja keras peras keringat siang dan malam. Besoknya dikejar-kejar sang penagih hutang.

Apalagi si ratu dan raja belanja di ujung Ramadhan. Belanja dengan uang pinjaman berbunga. Benar-benar nikmat saat berlebaran. Sengsara berlipat setelah syawal.

Gorontalo, 25 Ramadhan 1446 H

Penulis : Dr. Momy Hunowu, M.Si – Dosen Sosiologi IAIN Gorontalo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup