Moduduto; Serangan Ngantuk Saat Berpuasa
Tak sengaja bertemu kolega di sebuah kantor ekspedisi; pengiriman barang, logistik, dan cargo. Hari itu hendak mengirim buku yang baru terbit kepada sahabat di UIN Surabaya. “So dari kampus ini?” selidiknya, “Bulum kak, setelah ini baru mau”. Jawabku malu-malu. “Sudah jo, kampus sepi ini”. Ujarnya sambil berlalu. Petugas ekspedisi berparas cantik itu tersenyum sinis mendengar obrolan kami.
Kampus Sepi
Tak diragukan lagi, bulan puasa menjadi momentum bermalas-malasan bagi pekerja kantoran dan kampusan. Malas ke kantor/kampus , atau ke kampus hanya sebentar, atau sepanjang hari di kantor tapi kerjaannya tidur. Kerja sedikit, sedikit-sedikit tidur. Tidur di ruang kerja, tidur di musholla, di masjid dan tidur lagi di rumah. Rupanya serangan ngantuk di bulan puasa sangat akut. Bawaannya jadi malas.
Budaya malas di bulan puasa umumnya karena 3 alasan; Pertama; diintai rasa lapar karena makan sahur kurang bernafsu mengunyah. Stok makanan yang terbatas dalam perut rupanya menyebabkan badan lemas. Bawaannya terkantuk-kantuk. Mengantuk berat. Padahal tanggung jawabnya lebih berat.
Kedua, rasa ngantuk menyerang lantaran full ibadah. Semalam qiyamul lail; tarawih di masjid dan tahajud jelang sahur, menghabiskan target tilawah 1-2 juz sebelum tidur.
Bisa juga keasyikan main kartu. Seru-seruan bersama kawan-kawan. Atau main game bareng (mabar), terkadang seorang diri tapi ramai rasanya. Selanjutnya menunggu sholat subuh. Bisa juga langsung tidur tanpa sholat. Begitu bangun tidur, rasanya tetap mengantuk.
Ketiga; Sejak pagi di kantor tidak ada yang mengajak ngopi bareng. Meski banyak pegawai yang masuk kerja, suasana terlihat hening. Hanya terdengar sesekali suara di antara mereka berinteraksi menyelesaikan pekerjaan. Pada hari biasa, sejam dua jam kemudian biasanya beranjak ke kantin untuk sarapan atau ngopi. Ngobrol ngalor-ngidul sok pintar. Karena sedang puasa, kebiasaan itu ditiadakan jadilah terkantuk-kantuk.
Sudah masuk pertengahan ramadhan, suasana pada beberapa kantor dan kampus semakin sepi. Perkuliahan dilakukan secara daring. Mengajar sambil pakai sarung. mahasiswanya dalam selimut, tak menyalakan kamera.
Kantor pelayanan sepi, selain bank yang penuh semangat melayani penukaran uang zakati plus memanen riba. Sebaliknya, pusat-pusat perbelanjaan modern dan pasar tradisional semakin ramai. Para pedagang, mulai dari pedagang dadakan, pedagang kaki lima hingga pedagang besar panen raya. Tumpukan uang yang tak biasanya dari hasil berdagang membuat mata melek tak mempan diserang kantuk.
“Olohiyo butuhiyo, lantingiyo polangiyo”, Siapa yang rajin akan kenyang, siapa yang malas akan kelaparan. Begitu ujar-ujar para tetua. Para pedagang memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya. Terkadang mereka semalam tidur pulas agar sepanjang hari tidak mengantuk. Ada pula yang memilih tidak puasa. Terlena dengan tumpukan uang yang memukau.
Budaya malas pegawai negeri (lantingiyo), rupanya tak menyebabkan mereka kelaparan (polangiyo) atau penyusutan pendapatan. Justru di bulan puasa yang malas karena serangan kantuk, mereka justru panen raya. Menanti-nanti, menghitung-hitung, mereka-reka waktu pencairan THR. Antara ada dan tiada. Program efisiensi semakin liar. Menyasar THR yang terancam tak dibayarkan, atau hanya dibayarkan separuh.
Tentu saja kebijakan ini cukup meresahkan para ASN. Kasihan bendahara, setiap saat seperti mendapat teror dari ibu-ibu dharma wanita. “Kapan THR cair”, “Kenapa lama cairnya”, “apakah ada pemangkasan”? dan pertanyaan sejenis yang memabukkan bagian keuangan.
Tahapan Serangan Kantuk
Secara medis rasa kantuk saat puasa disebabkan oleh penurunan kadar gula darah dalam tubuh. Hal ini membuat tubuh terasa lemas (molulupuhu) dan otak sulit berkonsentrasi (mba-mbayanga), sehingga meningkatkan rasa kantuk yang dapat mengganggu produktivitas (mobuheto wawao).
Selain itu, waktu tidur yang tidak teratur juga berkontribusi pada rasa kantuk. Banyak orang yang harus bangun lebih awal untuk sahur dan biasanya tidak tidur lagi hingga pagi. Kombinasi antara kurang tidur dan rendahnya kadar gula darah membuat serangan kantuk semakin sulit dihindari.
Mohuwabu (menguap) adalah pertanda ngantuk mulai menyerang. Mulut keseringan menganga selebar-lebarnya sambil mengeluarkan aroma tak sedap. Mohuwabu biasanya datang bertubi-tubi dan membuat kepala mulai berat.
Pasca mohuwabu, serangan kedua datang, mentulongo atau terkantuk-kantuk di depan komputer, di ruang kerja. Mentulongo pada saat sholat biasanya cukup membahayakan bagi pelakunya dan menjadi tontonan yang lucu bagi jamaah lain. Kepala tiba-tiba merunduk berkali-kali, tak terkontrol, terasa mau terlepas.
Serangan mentulongo lazimnya terjadi pada saat imam membacakan surat atau ayat panjang atau pada saat khutbah jum’at. Ini adalah duan moment serangan mentulongo yang paling parah.
Selanjutnya maletuluhu atau letuluhu; atau tertidur pasca mentulongo. Tak ada lagi beban. Melayang tinggi. Ketika seseorang tertidur, otak tetap aktif meskipun tubuh dalam keadaan istirahat. Proses ini bertujuan memulihkan energi, memperbaiki sel-sel, dan memproses informasi yang telah diterima yang kemudian hadir menjadi sebuah mimpi (tohilopo). Bangun tidur pasca tohilopo seperti kurang tidur (moduduto).
Terakhir; Hunggo-hunggoloiyo atau hula-hula bo’iyo (mendekur); terjadi ketika metuluhu atau letuluhu sudah berada di puncak. Akan keluar suara mendekur dengan irama berbeda-beda setiap orang. Tak peduli siapa yang di samping. Meskipun todongan senjata di kepala tak lagi berguna.
Kedengarannya sangat lucu. Iramanya berbeda tiap orang. Tergantung bentuk tubuh dan ukurannya. Secara medis, suara kasar yang keluar saat tidur disebabkan oleh terhalangnya atau menyempitnya saluran pernapasan. Pada kondisi ini jika saluran pernapasan benar-benar menyempit akan berakhir tragis (didu lobongu) alias wafat.
Hula-hulabo’iyo tidak hanya mengganggu tidur tetangga, tetapi juga bisa menjadi petunjuk adanya masalah kesehatan yang serius. Kondisi ini jika durasinya terlalu lama, membuat badan semakin lemas dan tak lagi peka dengan suara azan. Kecuali azan magrib.
Hunggo-hunggoloiyo atau hula-hulabo’iyo biasanya diiringi lelehan air liur. Itu sebab Aba Danggu melarang tiduran di atas karpet atau sajadah masjid untuk menjaga kesuciannya. Aroma bekas lelehan liur orang berpuasa harusnya sewangi minyak kasturi, tapi kali ini benar-benar menendang.
Gorontalo, 16 Ramadhan 1446 H
Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si – (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)