Jelang waktu berbuka puasa. Rumah kediaman Dangi Rami mulai ramai. Warga sekitar berpakaian nuansa muslim berdatangan. Tampak pula wajah-wajah asing, memarkirkan motor dan turun dari mobil. Di teras depan rumah, meja panjang sudah tertata rapi. Isinya aneka takjil. Azan magrib belum selesai, tetapi hidangannya Ludes.

Usah sholat, warga duduk melingkar di ruang tengah. Aba Danggu bertindak sebagai pembaca doa. Asap kemenyan yang ditaburkannya (molapi tapo) pada bara api mengepul. Molapi tapo adalah ritual memanggil arwah yang didoakan.

Jamaah yang seharian menahan lapar, tak sabaran menunggu doa berakhir. Termasuk Pakio Hasa yang duduk di ujung majelis tahlilan. Tampak jelas olehnya gelaran aneka makanan lezat. Ada kuah santan, kuah bugis. Ada ilabulo, ada ayam iloni. Hanya 1 porsi, posisinya dekat Aba Danggu. Benar-benar menggoda.

Ada rasa menyesal, kenapa makanan target Pakio, posisinya nun jauh di sana. “Salah tempat duduk ini”. Batin Pakio. Sesekali matanya terpejam sambil merunduk, bukan karena khusyu berdoa, tetapi dia tak kuat menahan hasrat. Air liurnya bolak balik di rongga tenggorokan.

Etika Makanan

Sejatinya, dalam ritual tahlilan, hanya beberapa item yang ditampilkan di depan majelis, yaitu piring kecil bersusun. Isinya nasi kuning dan pisang. Inilah yang disebut “ila lo aruwa”. Selain itu, terdapat piring garam dan kobokan (pouwalowa) yang didampingi gelas-gelas berisi air putih. Menu lainnya hanya partai tambahan. Setelah tahlilan selesai, barulah menu tambahan tersebut disajikan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terganggunya konsentrasi jamaah.

Apalagi Aba Danggu kurang peka. Doanya yang standar terasa panjang. Dia tak kreatif memotong doa. Khusus bulan ramadhan, mestinya dipersingkat saja. Agar Pakio yang bertubuh kecil itu tak terdzalimi, berjuang menahan godaan. Mungkin ti Aba khawatir nominal di dalam amplopnya bakal menurun kalau doanya disingkat. Begitu doa berakhir, target dan sasaran langsung dieksekusi Pakio.

Hanya yang di depannya saja, atau yang bisa dia jangkau. Pakio paham betul aturan mainnya. Tak sopan menjangkau yang jauh, apalagi sampai pantat terangkat untuk meraihnya. Begitu normanya. Table manner istilahnya. Etika makan artinya.

Lihatlah, di tengah majelis, terdapat piring-piring kecil berisi garam yang dikelilingi 3 buah cabe merah membentuk segitiga. Ini melambangkan bahwa jamaah tidak boleh menjangkau sesuatu yang terlalu jauh. Garam di sini berfungsi sebagai miniatur laut yang tidak bisa diseberangi, sementara cabe yang pedas menggambarkan pedasnya sanksi sosial ketika memaksa menyeberang.

Sedemikian detilnya leluhur kita menciptakan norma-norma sosial. Mestinya, norma ini diimplementasikan pada jamuan makan di atas meja (prasmanan). Di sana tak tampak piring kecil berisi garam dan cabe. Yang ada wadah panci (panstuff) yang berjejer, masing-masing berisi menu yang berbeda. Setiap tamu bebas mengitari meja, memilih menu sesuai selera. Terkadang berebut di area panstuff berisi puluhan tusuk sate, takut kehabisan.

Sepiring dua piring memenuhi usus Pakio, jadinya dia sulit bergerak, sholat tarawehnya terancam gagal. Dia bertahan duduk menunggu jamaah lain menyelesaikan makannya. Tangannya masih berlumur sisa-sisa kuah bugis. Dia belum mencuci tangan. Menunggu Aba Danggu mendahului. Begitu normanya. Makan di majelis, tak sopan menggunakan sendok. Tak baik mengangkat piring. Tak etis mendahului pak Imam.

Begitu Aba Danggu meraih wadah air cuci tangan (puhuwalowa) seperti dikomando semua melakukannya. Semua berdiri setelah Aba Danggu berdiri, pindah duduk di teras depan. Menunggu sajian minum penutup. Segelas susu hangat dan sebutir kue nikmat. Sebagai penanda sudah bisa meninggalkan lokasi (polontulo).

Mo ela talo punungo adalah tradisi mengingat (mendoakan) orang yang sudah meninggal dunia sekian lama. Begitu nama tradisinya. Tradisi ini dipraktikkan dalam bentuk do’a bersama. Istilah lazimnya adalah “mohaulu”. Persis sama dengan do’a bersama kepada orang yang baru meninggal dunia. Yang membedakan namanya, “mongaruwa”.

Doa Anak Sholeh

Ritual mongaruwa bagi sebagian warga yang berduka cita sambung menyambung. Mulai dari hari pertama kematian hingga hari kesepuluh. Seperti merasa berdosa tak menggelar doa bersama. Ada semacam beban sosial ketika tidak melaksanakan ritual ini. Punya tak berpunya harus melaksanakan.

“Musi lawolala du’a nou, ma mulaiyala yinti huwi, openu bo nasi kuning ngopingge”. (Harus dikirimi do’a, dimulai malam ini, walau hanya sepiring nasi kuning). Perintah Aba Danggu usai pemakaman.

Kedengarannya simpel. Tak mungkin hanya sepiring. Tak mungkin gratisan membaca doa. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah ditinggal pergi anggota keluarga, masih harus melaksanakan ritual yang butuh dana besar. Inilah yang disebut Dr. Yowan Tamu sebagai beban sosial dalam tulisannya “Dari Ritual ke Beban Sosial”.

“Ini sebagai bentuk doa anak sholeh kepada orang tuanya, yang pahalanya tidak putus-putus”. Prinsip Aba Danggu. Bagi anak sholeh yang berkecukupan itu lebih baik. Bagaimana jika anak sholeh yang ditinggalkan sedang tak punya apa-apa? Apalagi sedang terlilit hutang? Situasi ini dikomentari sahabat saya “Begitu banyak momentum berdoa yang tersedia. Apalagi doa ketika bangun tengah malam. Gratis dan makbul”.

Atas nama doanya anak sholeh, setiap malam pihak keluarga mengirimkan doa untuk si mayit, menyediakan sedekah makan untuk para undangan. Pahalanya diniatkan untuk yang meninggal. Lanjut, setiap kelipatan 10 malam. Berdoa lagi, siapkan sedekah makan lagi hingga hari ke seratus. Setelah itu setiap kelipatan seratus hari. Terakhir setiap 1 tahun.

Bayangkan kalau sudah ada 5 anggota keluarga yang meninggal pada satu rumah. Betapa padatnya acara haulu. Betapa berlipatnya sedekah dan juga pahalanya. Betapa beratnya beban sosial dan ekonomi sebagaimana keresahan Dr. Yowan Tamu.

Khusus pada bulan ramadhan, dipilih 1 hari, khusus menghimpun doa untuk semua anggota keluarga yang telah mendahului. Do’a haul kali ini lebih seru. Berbuka puasa bersama, doa dan makan bersama, terakhir menerima amplop, bukan hanya Aba Danggu, tetapi untuk semua hadirin. Termasuk Pakio Hasa yang sudah kekenyangan. Pahala memberi makan, minum dan sedekah, dikirim untuk semua keluarga yang telah mendahului. Al-Fathihah.

Gorontalo, 19 Ramadhan 1446 H

Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si – (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)