Mohiyonga Hulalo: Tangis Pisah Dengan Ramadhan
Suara lembut Paci Haru terdengar memandu takbiran; Allahu akbar, Allah akbar, Allah akbar. Laailaha illaah Allah Akbar, Allah akbar walillahilhamdu. Selanjutnya diikuti oleh seluruh jamaah yang hadir.
Sebuah Tradisi
Orang kampung menyebut takbiran sebagai mohiyonga hulalo. Masa lalu, tradisi mohiyonga hulalo disemarakkan dengan bertakbir diiringi tabuhan bedug oleh anak-anak muda. Iramanya terdiri dari delapan ketuk, pada ketukan ke delapan jeda lalu diulang-ulang. Ada suasana hati yang berbeda menyatu dalam tradisi ini.
Di dalam masjid, orang-orangtua melafazkan takbir bersahut-sahutan, suasana hati mereka terasa syahdu, irama takbir yang disenandungkan dengan merdu menambah suasana hati makin sedih. Sedih karena Ramadan akan pergi, sementara di serambi masjid, anak-anak berkerumun di sekitar bedug menunggu giliran menabuh dengan suasana gembira menyambut hari raya.
Di tengah lantunan takbir dari dalam masjid, anak-anak bergantian menabuh beduk, satu orang hanya bisa bertahan paling lama enam puluh detik. Setelah Magrib dan Isya, tampak didominasi oleh anak remaja dan dewasa, anak-anak terpaksa menunggu orang-orang muda kelelahan, atau telapak tangan terasa perih setelah menabuh.
Makna Mohiyonga Hulalo
Mohiyonga hulalo dari kata hiyongo/humoyongo artinya menangis, mohiyongo berarti menangisi, dan hulalo berarti bulan. Ada makna yang mendalam dalam istilah ini. Menangisi bulan Ramadan.
Istilah “mohiyonga hulalo” secara harfiah dapat diartikan sebagai “menangisi bulan Ramadhan yang akan pergi” atau ekspresi perpisahan dengan Ramadan dan perjumpaan dengan Idul Fitri. Ini menjadi penanda perasaan duka dan kehilangan yang dialami oleh masyarakat Gorontalo saat bulan suci Ramadhan berakhir.
Menangis merupakan sebuah ekspresi untuk mengungkapkan suasana batin, berupa sedih, senang, haru, takut dan sebagainya.
Menurut Pakio Udi, Ramadhan ibarat orang baik yang mampir selama sebulan, dia telah memberi banyak hal kepada kita, sehingga kepergiannya membuat kita merasa sangat kehilangan. Meski tahun depan, Ramadhan pasti akan datang lagi, tetapi belum tentu yang berpuasa tahun ini akan bertemu kembali, itulah yang membuat tangis tak terbendung.
Fenomena menangis adalah alamiah. Pada anak-anak, menangis terjadi tat kala mainan direbut, terjatuh atau ditinggal pergi ibunya. Sementara pada orang dewasa dapat terjadi pada saat kematian anggota keluarga, kehilangan uang puluhan juta rupiah, menangis saat zikir berjamaah, pada saat takbiran dan usai khutbah ied.
Menangis sangat dipengaruhi oleh suasana hati yang timbul dari perasaan orang yang akan menangis. Karena tidak semua orang dengan mudah dapat menangis. Mereka butuh pemantik untuk menangis.
Tradisi mohiyonga hulalo menjadi pemantik sekaligus momentum bagi seseorang agar dapat menangis, bukan hanya sekedar berpisah dengan Ramadhan tetapi lebih dari itu, sebagai ruang pertobatan atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan.
Imbuh Pakio Udi, dalam praktiknya, pemandu takbiran dalam tradisi ini benar-benar telah menyelesaikan puasa sebulan penuh. Sehingga isak tangisnya saat melantukan takbiran menciptakan suasana yang syahdu.
Akan berbeda suasanya jika sang pemandu diketahui pernah bolong puasanya, tangisannya akan menjadi olok-olok. Situasi ini akan mengurangi nuansa kesakralan tradisi ini.
Meski demikian, mohiyonga hulalo tidak harus menangis atau meneteskan air mata. Apalagi ada unsur kesengajaan dibuat-buat. Cukup batin saja yang mengalaminya. Suasana batin dalam momentum mohiyonga hulalo adalah rasa sedih dan takut di satu sisi, bahagia dan syukur pada sisi yang lain. Kedua sisi ini akan diuraikan sebagai berikut:
Pertama; Mohiyonga hulalo bermakna tangis sedih dan takut. Dalam konteks ini adalah sedih dengan kepergian Ramadhan dan takut kepada Tuhan. Sedemikian rupa, sehingga air mata dapat menjadi alat komunikasi yang sangat efektif antara hamba dengan Tuhannya.
Maksum (2009) dalam bukunya: “The Power of Air mata” terbitan Mutiara Media Yogyakarta menguraikan bahwa tetesan air mata di jalan Allah bisa memadamkan kobaran api neraka. Lebih dari itu, air mata ternyata dapat mendatangkan pertolongan Allah swt. di akhirat kelak.
Dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa ada tujuh golongan manusia yang akan ditolong Allah pada hari kiamat, ketika tiada lagi pertolongan dari-Nya. Salah satunya adalah orang yang menangis di keheningan malam ketika orang-orang terlelap tidur. Ia menangis karena besarnya rasa takut dan harap kepada Allah swt. air mata pun bisa mempercepat ijabahnya doa-doa. Urai Maksum.
Dengan demikian, rasa sedih dan takut pada saat mohiyonga hulalo diharapkan menjadikan umat muslim lebih dekat dengan Allah, menyesali kesalahan-kesalahan dan berniat untuk memperbaikinya.
Menurut Pakio Udi, untuk sampai pada titik ini, mohiyonga hulalo harus dalam suasana khusyu, syahdu agar hati langsung tersambung ke hadirat Allah. Itu sebab, pemandu takbiran adalah mereka yang puasanya penuh dan rajin sholat lima waktu di masjid. Jika tidak, maka mohiyonga hulalo menjadi kehilangan makna, malah menjadi bahan tertawaan.
Kedua; Mohiyonga hulalo bermakna tangis syukur dan bahagia. Dalam konteks ini, syukur dan bahagia dengan datangnya hari raya. Air mata kebahagiaan adalah ekspresi fitrah kemanusiaan.
Masih menurut Maksum (2009), setiap orang pasti menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya, ketika kebahagiaan itu hadir, terasa tak kuasa mendapatkan karunia itu, saking gembiranya, meneteslah air mata.
Air mata kegembiraan dan rasa syukur atas karunia Allah. Kegembiraan dalam konteks ini menurut Pakio, mestinya tidak berlebihan, sebagaimana yang terlihat belakangan ini, lebih cenderung merayakan kegembiraan dengan hura-hura, mengabaikan substansi dari tradisi mohiyonga hulalo.
Makna-makna yang terkandung dalam tradisi agung ini adalah penyaluran emosi secara psikologis dan memunculkan kesadaran secara spiritual, sehingga pada akhirnya akan dapat meraih kesucian, sebagaimana makna Idul Fitri yaitu kembali kepada kesucian.
Penanda Besok Hari Raya
Tradisi mohiyonga hulalo dilaksanakan di masjid-masjid pada malam lebaran. Setelah mendapat kepastian bahwa besok sudah masuk satu Syawal, pelaksanaan takbiran dimulai setelah sholat magrib, hingga Isya. Setelah Isya dilanjutkan hingga jam sepuluh malam.
Keesokan harinya dimulai sebelum azan subuh dan sesudah sholat Subuh, hingga menjelang sholat Ied. Puncaknya pada detik-detik sholat Ied dimulai. Ketika Imam, khatib dan para bilal diarak menuju masjid, mereka melafazkan takbir, tahmid dan tahlil. Daya pikat dalam tradisi ini adalah lantunan takbir yang bersahut-sahutan diiringi tabuhan bedug.
Suasana batin yang menangis menunjukkan betapa orang umat Muslim merasa sedih atas kepergian bulan Ramadan. Dalam suasana batin menangis diharapkan dapat meningkatkan kesadaran diri dalam beragama, kesadaran untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan dan berusaha menjadi hamba Allah swt yang lebih baik.
Sayangnya, tradisi ini mulai kehilangan makna spiritual. Tak ada lagi anak-anak yang berebut menabuh bedug. Tak ada orang-orang tua yang silih berganti melantunkan takbiran. Syahdu, khusyu’ dan menggetarkan jiwa, berharap Ramadhan tahun depan sapat bersua kembali.
Dewasa ini, mohiyonga hulalo terkesan tergesa-gesa. Setelah itu terlihat hanya Aba Danggu saja yang bertakbir tanpa jeda. Karena kelelahan, dia lanjutkan dengan memutar rekaman takbiran. Dari sinilah hilangnya ruang-ruang perenungan, refleksi dan pertobatan untuk mengakui kesalahan-kesalahan dan dengan berniat untuk memperbaikinya.
Sekarang lebih banyak nuansa psikologis, meluapkan kegembiraan dengan hura-hura. Sibuk menyiapkan menu berhari raya. Menggelar open house dari rumah ke rumah, dari satu komunitas ke komunitas lainnya. Reuni teman seangkatan SD, SMP, SMA, kuliah, seprofesi, berhari-hari. Pada akhirnya, Idul fitri berubah menjadi panggung pesta besar; makan-makan, musik-musik, goyang-goyang, fashion-fashion, riya-riya.
Gorontalo, 30 Ramadhan 1446 H
Dr. Momy Hunowu, M.Si
Dosen Sosiologi Agama IAIN Gorontalo