Molombate; Mengenang Derita Pukulan Cambuk dan Rotan
Suatu siang yang terik di bulan Ramadhan tahun 1985. Anak-anak kampung bermain kejar-kejaran (masawa) usai sholat zuhur di masjid. Sungai dengan bendungan kecil (bronjong) yang menampung air ke sawah sebagai medannya. Serunya ketika menjatuhkan diri dari ketinggian (motitidehu). Sesekali meneguk air saat menyelam, sudah menjadi rahasia umum.
Di tengah keseruan itu, tiba-tiba seorang lelaki paruh baya bergegas sambil memegang rotan. Tampak dari tatapan matanya, lelaki itu sangat marah. Apalagi suaranya memekik bak prajurit di medan perang, memerintah anak-anak segera naik. Ayah dan paman dari anak-anak itu menyuruh mereka berdiri bershaf di tepi sungai.
Ada yang sudah sempat memakai celana, ada yang masih berusaha dalam ketakutan, saking ketakutan, kedua betisnya terperangkap dalam 1 lubang celana, dan ada yang pasrah, menggenggam burungnya yang kedinginan dengan kedua tangannya yang menggigil.
Satu persatu anak-anak itu, tak terkecuali, menerima pukulan. Sebagai hadiah atas pelanggaran, belum meminumkan ternak sapi, kelalaian yang sudah berulang.
Medan bermain itu sudah tiada, sang lelaki itu adalah ayah penulis, juga telah tiada. Dia telah berpulang ke Rahmatullah 20 tahun yang lalu, tetapi nilai-nilai pendidikan yang diterapkannya, benar-benar terhunjam dalam kalbu. Alfatihah untukmu ayah.
Peribahasa “Di ujung rotan ada emas” adalah ungkapan yang menggambarkan bahwa di balik disiplin yang ketat, terdapat hasil yang bernilai tinggi. Namun, ada juga pandangan yang menyatakan bahwa peribahasa ini keliru, karena yang sebenarnya terjadi adalah penderitaan atau kekerasan, bukan hasil yang positif.
Terlepas dari pro dan kontra, mendidik dengan pukulan cambuk atau rotan banyak membuahkan hasil. Berbeda dengan mendidik secara lemah lembut, sebagaimana yang terjadi dewasa ini banyak melahirkan generasi yang kurang beradab.
Tahapan Mendidik
Metode mendidik anak-anak pada orang kampung dilakukan secara bertahap. Berturut-turut; monasehati, mobihu dan molombate/mongajari. Anak yang berbuat salah mula-mula diberi nasehat (monasehati).
Monasehati dilakukan secara persuasif kepada anak yang melakukan kesalahan agar tidak mengulanginya lagi. Kesalahan dimaksud adalah dalam tata cara bergaul dan berinteraksi sosial.
Selanjutnya Mobihu (menasihati dengan nada tinggi) adalah langkah kedua setelah anak kembali melanggar nasehat. Mobihu tidak Iagi persuasif. Nadanya agak tinggi, tak ada senyum di wajah. Anak-anak tak berani menatap wajah orang tua yang sedang mobihu. Tak lain yang bisa dilakukan selain berujar, “juuu, sayaaa” untuk mengiayakan nasehat-nasehat itu.
Langkah terakhir adalah molombate (menghajar). Molombate dilakukan dengan cara memukul bagian betis dengan rotan (hutiya diti) atau cambuk sapi (bubo’o). Biasanya memberi tanda. Kecuali darurat, molombate tidak serta merta dilakukan, akan diberitahu orang tua pada saat mobihu. Sangsi lebih berat akan diberikan ketika mengulangi kesalahan yang sama.
Mendidik anak dengan molombate, menjadikan anak-anak kampung menjadi tertib, bersopan santun dalam pergaulan sosial. Pada saat kerabat bertamu, anak anak kampung tidak sembarangan lalu lalang di ruang tamu, Kalaupun terpaksa, berjalan merunduk dengan mengulurkan tangan sambil mengucap “tabi”.
Anak kampung tidak sembarangan meminta atau mengambil makanan (kue) yang disajikan kepada tamu. Kalaupun terjadi, tatapan dan batuk kecil menjadi tamparan keras bagi anak-anak.
Ancaman Pelanggaran Ham
Cara ini sudah mulai ditinggalkan, Ancaman pelanggaran HAM telah melonggarkan norma-norma sosial. Apalagi propaganda hukuman terhadap pelanggaran HAM dipertontonkan di hadapan publik, melalui media mainstream dan media sosial.
Seperti kasus ibu Supriyani yang viral tahun lalu. Guru honorer di Konawe Selatan itu dituduh menganiaya anak seorang polisi, lalu ditahan. Kasus ini mendapat perhatian karena adanya kejanggalan. Sangat menyayat hati, hanya guru honorer, dan ada dugaan pemerasan.
Akibat kriminalisasi guru seperti ini, para guru sudah tidak mau peduli lagi dengan perilaku anak. Tugas mereka malah lebih ringan. Gaji yang diterima tetap sama dan lancar. Sebagai gantinya, anak-anak sudah tidak lagi taat pada guru dan orang tua, sering membantah dan tidak sopan dalam bergaul. Jangankan menatap atau batuk kecil, orang tua yang berteriak-teriak keras sudah tak lagi diindahkan.
Hajar di Tempat
Mohintinga (mengganggu) dan molohuluwa (berkelahi) pada anak-anak adalah sesuatu yang wajar. Berkelahi karena kalah bermain atau dicurangi lawan bermain. Molohuluwa terjadi berawal dari mohintinga yang tidak selesai.
Pada kebanyakan anak kampung, mereka berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa melibatkan orang tua, Mereka tidak mau jadi korban orang tua yang langsung molombate ketika tahu kasusnya dengan anak-anak lain. Salah atau benar, pasti dihajar.
Itulah kenapa, anak-anak kampung tidak mau melapor pada orang tuanya ketika bermasalah dengan teman sebaya. Tidak bisa pula dihindarkan, ada orang tua yang membela anaknya saat diganggu temannya, lalu menuntut di hadapan orang tua dari si anak pengganggu.
Dalam kasus begini, ada orang tua yang langsung menghajar anaknya di tempat, di hadapan orang tua yang menuntut itu. Peristiwa ini dinamakan mopopole ‘e lowala’o.
Zaman telah berubah, sebagian kecil orangtua masih menerapkan cara-cara lama sekali dua kali. Sebagian besar menyerahkan ke lembaga pendidikan. Sementara para guru di sekolah tidak bisa berbuat banyak. Ancaman kriminalisasi sangat mengkhawatirkan. “Biar ngoni bodoh pongola, asal torang batrima gaji”.
Gorontalo, 22 Ramadhan 1446 H
Dr. Momy Hunowu, M.Si – (Dosen Sosiologi Agama IAIN Gorontalo)