Molo’opu dan Mopotolungo; Bukan Sekedar Upacara Pisah Sambut

Salah satu slide yang penulis presentasikan pada MOU UPNM Malaysia & IAIN Gorontalo pada 10 Oktober 2024 silam.

Dalam waktu beberapa hari ini. Para kepala daerah di Gorontalo yang baru dilantik dan purna tugas, telah/sedang diupacarakan secara adat. Upacara adat molo’opu bagi pejabat baru dan upacara mopotolungo bagi pejabat lama.

Molo’opu dan mopotolungo sejatinya bukan hanya sekadar menyambut kedatangan pejabat baru dan melepaskan kepergian pejabat lama. Para leluhur Gorontalo telah mencanangkan upacara adat ini bukan asal jadi dalam rapat sejam dua jam, tetapi melalui pergulatan panjang pemikiran, perasaan dan hati nurani yang mendalam. Ada nilai kearifan agung yang terkandung di dalamnya.

Secara tekstual, dalam kamus Bahasa Gorontalo-Indonesia yang disusun Prof. Mansur Pateda (1977; h.293), kata molo’opu diartikan sebagai 1) mengadakan upacara penobatan, 2) memangku. Dalam arti pertama, Prof Mansur memberi arti molo’opu sebagaimana yang sudah banyak diketahui.

Seturut pandangan Funco Tanipu dalam https://funco.id/moloopu-mololopu-dan-peringatan-bencana-bagi-kepala-daerah/ Secara tekstual historis, Funco menemukan kata molo’opu dalam kitab Meeraji. Kata molo’opu digunakan oleh malaikat Israil yang didampingi malaikat Mikail, malaikat Jibril dan malaikat Israfil saat mendapat tugas dari Allah SWT untuk “menjemput” nyawa Nabi.

Kata “mengambil”, “menjemput”, apalagi “mencabut nyawa” menurut Funco, tidaklah pas untuk kedudukan Nabi. Maka dipilihlah kata “molo’opu” atau memangku yang lebih “adab” dalam konteks kedudukan atau derajat Nabi.

Kata tersebut -lanjut Funco- oleh leluhur Gorontalo ditransformasikan dalam acara adat yang kini kita kenal dengan “Molo’opu”. Acara molo’opu dalam pengertian Funco lebih terurai yaitu upacara penjemputan pimpinan daerah dari kediaman pribadi ke rumah jabatan atau dinas.

Secara kontekstual, praktisi sekaligus peneliti upacara molo’opu, Thariq Modanggu dalam sebuah diskusi dengan penulis mengemukakan pengalamannya selama menjadi kepala daerah, bahwa dalam sistem adat Gorontalo, pejabat atau khalifah yang sudah dinyatakan terpilih secara demokratis, menang telak dalam quick count dan real count, diumumkan secara resmi oleh KPU dan dilantik secara sah oleh pemerintah, baik presiden maupun menteri dalam negeri, tetapi semua tahapan itu belum dianggap sempurna secara adat.

Menurut Thariq, para bupati/gubernur boleh saja masuk kantor, bertemu para pejabat, staf dan bawahan, tetapi belum bisa serta merta turun ke masyarakat. “Halale to buto’o, mobulilo to adati” artinya: sah secara hukum tetapi tidak wajar secara adat. Pejabat/khalifah harus melewati tahapan molo’opu sebagai penanda bahwa sang pemimpin sudah bisa turun ke masyarakat untuk menjalankan amanah.

Upacara molo’opu adalah upacara sakral, sehingga menurut hemat penulis, terlalu sederhana jika hanya dimaknai sebagai upacara penyambutan, upacara penobatan atau upacara penjemputan pimpinan daerah dari kediaman pribadi ke rumah jabatan atau dinas. Padahal para leluhur merumuskannya secara seksama untuk melahirkan kepemimpinan yang amanah, tetapi kita mempraktikkannya hanya sebatas seremoni.

Dalam hubungan ini, agaknya perlu tafsir kebudayaan (the interpretation of culture) untuk menemukan makna terdalam pada upacara adat. Bahwa tafsir-tafsir yang sudah ada tidak cukup memuaskan nalar dan nurani penulis.

Secara sosio kultural, penulis akan memaknai molo’opu sebagaimana menurut Pateda (1977) pada arti yang kedua “memangku”. Lazimnya, molo’opu diperlakukan oleh orang dewasa/orang tua kepada sang bayi dan anak kecil. Kedua kategori manusia baru ini dipangku orang dewasa karena dikhawatirkan akan melakukan hal-hal yang berbahaya, membahayakan dirinya dan merugikan orang lain/kedua orangtuanya. Memangku manusia baru bukan hanya sejam dua jam, sehari dua hari, tetapi sepanjang waktu.

Dalam praktiknya, seseorang yang sedang molo’opu manusia baru, tak selamanya mendudukkan sang bayi dalam pangkuan. Dia sesekali melepas anak kecil itu dari pangkuannya tetapi tidak secara total membiarkannya. Sang bayi tetap dalam pengawasannya. Tugas memangku selesai ketika bayi diistirahatkan dalam buaian (molunggelo). Nah, mengistirahatkan dalam buaian inilah yang penulis maknai sebagai mopotolungo.

Dalam konteks memangku seorang pejabat yang mulia, siapa sebenarnya yang memangku? Jika nyawa Rasulullah karena kemuliaannya, dipangku oleh para malaikat, maka pejabat karena kemuliannya dipangku oleh adat yang diwakili oleh lembaga adat atau dewan adat.

Sang pejabat baru, sebagaimana manusia baru, selama dalam pangkuan akan selalu dalam pengawasan secara adat selama dia menjabat. pengawasan ini tidak memungkinkan baginya untuk melakukan hal-hal yang membahayakan jabatannya dan merugikan negara/rakyat yang dipimpinnya.

Perhatikan gambar/ilustrasi. Proses molo’opu dilakukan secara terus menerus kepada khalifah oleh lembaga/dewan adat, mulai dari sejak dinobatkan (molo’opu) sampai meletakkan jabatan (mopotolungo). Pengawasan secara adat dilakukan karena dipundaknyalah diletakkan semua amanah secara total; “Tawu maa tawu lo ito Eya, Huta maa huta lo ito Eya, Taluhu maa taluhu lo ito Eya, Dupoto maa dupoto lo ito Eya, Tulu maa tulu lo ito Eya. Bahwa rakyat, tanah, air, udara, api semuanya dalam gengam kekuasaan pejabat.

Tetapi penyerahan amanah dikunci dengan sumpah; “Bodila poluliya tohilawo Eyanggu”. Artinya, seorang khalifah tidak boleh sewenang-wenang. Oleh sebab itu, pemanfaatan SDM (pegawai, staf dan masyarakat), tanah, air, udara, api. Tidak bisa dikendalikan sesuka hati. Harus dalam pengawasan melekat secara adat. Jika tidak, semuanya berpotensi dipermainkan/diselewengkan. Sebagaimana praktik penyelewengan jabatan dalam kasus pemagaran laut dan pengoplosan pertamax dan pertalite yang menghebohkan negeri ini.

Inilah yang menurut Funco sebagai pengingkaran terhadap sumpah. Pengingkaran tersebut akan menerima resiko kehancuran. Dalam bahasa Gorontalo, kehancuran adalah “mololopu”. Molo’opu diabaikan, mololopu seisi negeri. Naudzubillah. Agar mololopu tidak terjadi, gerak-gerik khalifah mesti diawasi secara adat.

Kenapa harus diawasi secara adat? Bukankah sudah ada KPK, MK, kepolisian, kejaksaan dan badan pengawasan lainnya yang dibentuk negara? Itu betul. Faktanya, lembaga-lembaga pengawasan bentukan negara masih bisa dikompromikan, dimanipulasi, baik secara administratif maupun secara politis.

Sebagai contoh, Undang-undang menyatakan tidak boleh, tetapi menjadi boleh dengan melakukan perubahan atas kehendak khalifah, sebagaimana putusan MK yang memberi peluang kepada putra mahkota menjadi calon khalifah. Contoh lain, secara administratif KPK sudah menemukan dua alat bukti untuk menangkap sang khalifah yang tidak amanah, tetapi secara politik, tunggu dulu. Di situ masalahnya.

Dengan demikian, molo’opu jangan hanya seremonial sehari. Molo’opu adalah pengawasan secara terus menerus. Dengan pengawasan adat, tak ada yang bisa memanipulasi, tak ada kompromi. Pertanggungjawabannya bukan di hadapan adat, tetapi di hadapan Penguasa alam semesta, baik ditimpakan semasa di dunia (mololopu), maupun azab neraka di akhirat kelak.

Momentum molo’opu pada bulan suci Ramadhan ini, semoga menambah bobot komitmen amanah bagi para kepala daerah baru di negeri ini. Wallahu a’lam bi shawab.

 

Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup