Molude; Keseruan Petani Jagung
Menanam jagung dalam bahasa lokal dinamakan molude yaitu memasukkan dua atau tiga butir jagung ke dalam lubang. Ada pembagian peran kaum tani dalam aktivitas ini. Kaum laki-laki dengan topi bundar khas kaum tani, mereka sebut wontuwo sebagai pelindung terik matahari, membuat lubang-lubang berjejer dari satu sisi ke sisi lain kebun.
Kaum perempuan menabur butiran jagung sambil melilitkan sarung di kepala sebagai pelindung. Lubang-lubang itu dibuat dengan cara menancapkan tongkat kayu runcing ke tanah. Mengikuti garis bajak (tonalalo) yang sengaja dibuat untuk merapikan garis dan barisan lubang.
Butiran jagung setengah liter diisi pada tempurung atau wadah plastik. Dipegang dengan tangan kiri sementara tangan kanan lentik kaum perempuan mengambil dan memasukkan butir jagung dari satu lubang ke lubang lainnya.
Kunci keberhasilan molude ditentukan oleh para pengisi lubang. Pekerjaan mereka akan terlihat pada saat tunas jagung mulai tumbuh. Lubang-lubang yang tidak ditumbuhi jagung menjadi penanda kelalaian mereka.
Demikian pula lubang-lubang yang ditumbuhi lebih dari tiga bibit bahkan sampai puluhan bibit adalah hasil karya si buruh yang usil. Itu sebab, kaum perempuan yang berperan mengisi lubang. Mereka teliti, telaten dan tidak lalai dalam pekerjaannya.
Keseruan dalam aktivitas molude terasa lebih hidup ketika dilakukan secara berkelompok, di mana setiap anggota komunitas saling membantu dan berbagi tawa. Momen ini bukan hanya aktivitas bekerja tetapi sekaligus sebagai momen memperkuat ikatan persahabatan dan solidaritas di antara mereka. Ada yang khusus mendongeng (mohungguli) dengan konten cerita yang lucu dan menggugah, yang lain menguping dan sesekali menimpali.
Ada pula yang berbalas pantun (mopantungi), sahut-sahutan bernyanyi dan sesekali saling usil, saling melempar segenggam tanah. Terik mentari dan daerah kemiringan seolah tak menjadi kendala lantaran aktivitas pemanis itu.
Tak jarang pasangan muda mudi bertemu, terpaut hati, yang laki-laki menarik tangan perempuan yang terpeleset di lahan miring, menciptakan momen romantis hingga mereka berlanjut ke jenjang pernikahan, melahirkan anak-anak calon petani baru. Memproduksi rakyat jelata.
Sementara bagi petani yang ingin merubah hidup, berusaha keras menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang perguruan tinggi dengan modal peluh dan air mata. Walhasil, di antara anak-anak petani miskin, ada yang telah berhasil merubah nasib, menjadi aparatur sipil negara, politisi, birokrat, akademisi hingga pengusaha sukses di rantau orang. Beberapa anak-anak sukses itu telah membayar peluh ayah ibunya dengan memberangkatkan orang tuanya yang masih tersisa ke Baitullah.
Molude pada masa lalu dilakukan secara gotong-royong, mereka sebut moti’ayo, yaitu secara bergilir berbagi tenaga kerja semisal hari ini molude di petani A, besok di petani B dan seterusnya. Tuan rumah menyediakan makan dan minum. Makanan dengan menu a la kampung. Sarapan dengan bubur jagung atau ubi rebus dengan menu sambal sagela.
Di sela-sela itu disuguhi secangkir kopi tubruk (kopi yilobuo) ditemani kue-kue kampung semisal sabongi (pisang dibungkus ubi parut lalu digoreng), sanggala (pisang goreng) atau popolulu (bola ubi jalar goreng). Pada siang hari nasi jagung campur beras (u’ulawuwa) dengan menu ayam kampung santan pisang muda (pilitode lo lambi) atau tumis (tilumiti) menjadi santapan nikmat.
Makanan ini di antar ke kebun setiap jam makan tiba. Acara makannya di bawah pohon rindang dalam hembusan angin sepoi basah atau di pondok kecil beratap daun pohon kelapa (wombohe) dengan view hijau alam nan asri. Suasana makan kadang diwarnai kompetisi. Siapa cepat dia kenyang. Meskipun tangan berlumur tanah, tak ada yang sakit perut apalagi diare.
Usai makan, kaum lelaki memelintir rokok dari daun enau muda (hawu lalahe) membungkus tembakau kering lalu disulut korek api. Kepulan asap yang dipermainkan angin seolah menyuntikkan energi baru untuk melanjutkan pekerjaan. Setiap sesi molude adalah pengingat akan nilai-nilai gotong royong yang menjadi fondasi masyarakat pedesaan. Dulu.
Dewasa ini tenaga kerja sudah dibayar. Empat puluh ribu rupiah setengah hari. Karena dibayar, pekerja menyediakan makan minum sendiri. Tuan tanah tahu bersih. Hanya datang mengontrol atau ikut juga bekerja. Sudah jarang terdengar dongeng dan candaan. Pekerja memacu pekerjaannya agar cepat selesai dan langsung memegang selembar dua lembar uang nominal 20 ribu.
Uang telah merubah segalanya. Interaksi sosial yang penuh keakraban dalam setiap aktivitas berkebun dan bertani menjadi hilang sebagai konsekuensinya. Beralih ke dunia maya yang turut menyeret kaum tani.
Upah kerja sebagian menjadi modal mengisi data ponsel agar bisa berselancar di dunia maya. Tak jarang kaum tani muda seperti Yusran Tahir dari dusun Malahu Ayumolingo, melakukan siaran langsung (live) kegiatan menanam dan memanen jagung.
Lebih menarik mendengar keluhan petani Yusran Tahir yang mengalir tanpa teks daripada monolog si anak raja Jawa tentang bonus demografi yang menuai banyak hujatan dan dislike di akun medsosnya itu. Padahal proses latihannya berhari-hari, berbiaya mahal, uang negara.
Demikianlah, ada dunia lain yang semakin ramai, sementara dunia nyata semakin sepi. Meski orang berkumpul dalam satu ruangan, tetapi semua pada merunduk ke benda empat persegi panjang dengan beragam merek seturut beragam cara memperolehnya.
Ada yang membeli ponsel mewah dari hasil pungli dan suap. Ada yang menabung berbulan-bulan upah menanam jagung, tak jarang ada yang membayar cicil mingguan atau bulanan.
Bekerja upahan di bawah terik matahari tak apalah. Makan nasi jagung tanpa lauk bergizi biarkanlah, asalkan bisa berselancar di negeri maya yang hiruk pikuk. Dari merekalah, dunia menjadi tahu, betapa menjadi petani di usia muda sangatlah berat, tak seberat menjadi wapres.
Begitulah kehidupan kaum tani di pedesaan. Panen melimpah tetapi ludes membayar hutang. Terus bekerja keras tetapi kehidupan tidak meningkat. Mereka bermandikan peluh beraroma tak sedap pada pakaian yang dipakai berulang.
Bukankah itu lebih baik daripada berwajah glowing, beraroma wangi, memakai jas dan berdasi, tetapi makan gaji buta dan menjarah uang rakyat.
Oleh : Dr. Momy Hunowu – (Alumni Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor)