Momaluta Puasa; Hiburan Menunggu Waktu Berbuka

Warga saat menunggu waktu buka puasa - foto : sumber kompasiana

Hari menjelang sore, Balimbo Nani (rekaan) merasa tidak nyaman. Rasa haus mulai menggerogoti dirinya. Ditambah lagi istrinya ngomel terus gara-gara Balimbo setiap saat mendesah sambil melirik ke arah jam dinding. Jarum jam seolah tak bergerak.

Balimbo beranjak, tetapi bukan menuju dapur untuk membantu Nalimbo, istrinya yang sedang berjibaku merancang menu buka puasa. Ia malah bergegas menuju kompleks. Di sana, ia melihat empat lelaki dewasa asyik bermain domino. Suara tawa lelaki gembul terdengar, menertawai rekannya yang menggenggam kartu enam dobel, yang terpaksa mati di tangannya. Lelaki berperawakan kurus itu segera berdiri sebagai hukuman atas kekalahannya

Demikianlah aktivitas warga dalam mengisi waktu menunggu berbuka puasa. Orang kampung menyebutnya ‘momaluta puasa’, yang jika diterjemahkan secara harfiah berarti ‘membujuk puasa’. Istilah ‘momaluto’ atau ‘membujuk’ biasanya digunakan untuk merujuk pada tindakan mengalihkan perhatian anak-anak agar mereka lupa akan sesuatu, misalnya ketika seorang anak ditinggal sebentar ibunya.

Pada praktiknya, momaluta puasa berarti membujuk orang yang sedang berpuasa agar tetap bertahan dan tidak membatalkan puasanya. Untuk tujuan tersebut, mereka biasanya melakukan aktivitas yang menghibur, seperti empat lelaki sahabat Balimbo. Aktivitas ini di satu pihak dapat mengalihkan perhatian, dan menjadi perekat kebersamaan dan keceriaan di antara mereka. Sementara pada pihak lain dapat menyulut pertengkaran suami istri.

Untuk menambah keseruan, siapa pun yang kalah harus menjalani hukuman berdiri (totihula). Jika kalah beruntun, mereka akan berdiri sambil menggantungkan dua buah baterai bekas yang diikat dengan tali nilon di salah satu telinga. Setelah tiga kali berturut-turut mengalami kekalahan, kedua telinga mereka akan terlihat seperti mengenakan anting-anting raksasa, menambah suasana tawa dan sakit hati di antara para pemain.

Ada pula yang menggunakan jepitan jemuran sebagai hukuman. Bagian yang dijepit bisa berupa kuping, bibir, atau pipi. Semakin banyak jepitan yang menempel, semakin jelas menunjukkan buruknya manajemen dalam bermain kartu.

Satu atau dua jepitan dengan durasi permainan 3-5 menit tentu saja memberikan efek rasa sakit, ditambah lagi dengan sakit hati akibat sindiran dari teman bermain (papalata). Jika tidak sabar, permainan ini bisa berujung pada perkelahian (molohuluwa), permainan itu pun bubar.

Di sinilah letak keasyikan permainan ini; saking asyiknya, azan Ashar pun diabaikan, dan ibu-ibu yang sibuk di dapur seolah bukan urusan para lelaki merdeka ini. Beban kerja kaum perempuan dalam komunitas patriarkis memang sangat disayangkan, kaum perempuan harus menghadapi tanggung jawab yang berat sementara para lelaki tengah asyik memanjakan diri mereka dengan aneka permainan.

Momaluta puasa dengan bermain kartu kini mulai jarang terlihat. Kecanggihan teknologi telah menggeser perihnya jepitan penjepit jemuran pada telinga dan pipi menjadi perihnya dua bola mata yang menatap layar ponsel berjam-jam. Aktivitas seperti bermain game online atau scrolling di TikTok kini lebih mendominasi pengisi waktu luang menunggu berbuka puasa.

Di tengah fenomena kaum lelaki merdeka yang sering kali meresahkan kaum istri yang tertekan dengan urusan dapur, terdapat komunitas yang menyibukkan diri dengan kegiatan yang bermanfaat. Sebut saja komunitas dakwah dari berbagai organisasi keagamaan yang mulai tumbuh subur di wilayah perkotaan.

Komunitas ini berlomba-lomba untuk mengisi pundi-pundi pahala dengan ibadah tambahan selama Ramadan. Salah satu program yang menarik adalah ‘Yauma ma’al Qur’an’ (Sehari bersama Al-Qur’an), di mana komunitas ini berkumpul di suatu tempat untuk membaca Al-Qur’an secara personal, berjuz-juz hingga mengkhatamkannya.

Menjelang berbuka, panitia mengumumkan siapa pembaca Al-Qur’an terbanyak. Sang pemenang akan mendapatkan hadiah sebagai penghargaan atas usahanya, seharian berjuang menahan kantuk, menatap lembaran-lembaran mushaf dan melafadzkannya.

Inilah kelompok orang-orang yang beruntung dalam kegiatan momaluta puasa. Mereka telah berhasil mengisi waktu dengan imbalan pahala yang berlipat ganda. Mereka seperti emak-emak yang berburu diskon belanja di pusat perbelanjaan. Sangat kontras dengan komunitas Balimbo cs yang lengah memanfaatkan diskon melimpah di bulan Ramadhan ini.

Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup