Moyitohu; Mengenang Permainan Tradisional
Permainan (yitohu) tradisional tinggal kenangan. Permainan sarat kreativitas. Kaya kerja keras penuh keringat tak sedap. Kadang berebut, tak jarang berkelahi tetapi tetap solid dan bekerjasama.
Moyitohu (bermain di alam) adalah sekolah kreatifitas, solidaritas dan menyehatkan fisik dan mental. Kalau sekarang? Game oline; seru-seruan sendiri di depan layar. Malas gerak alias mager. Merunduk berjam-jam hingga mata perih. Beragam penyakit “selamat datang”. Anak-anak akrab di dunia maya dan menjadi asing dengan dunia sosial.
Penulis ingin bernostalgia dengan yitohu atau tontulengo yang paling disukai mengisi keceriaan bulan Ramadhan (pomaluta puasa). Beberapa permainan tersebut adalah Mobutahe lo Palapudu, Mopobutu lo bunggo, Moluli Alanggaya dan Mo Masawa.
Mobutahe lo Palapudu
Tangan-tangan kecil anak-anak kampung menggenggam Palapudu (pletekon), alat permainan yang menyerupai pistol-pistolan, dibuat dengan penuh kreativitas dari bambu (talilo).
Dengan diameter sekitar 1 cm, bambu kecil ini dipotong sepanjang 30 cm, dan dijaga lubang pada bagian tengah dengan diameter setengah cm agar tidak terbelah.
Anak-anak belia dengan cekatan menghaluskan potongan sebilah bambu lain sebagai alat pendorong yang akan bergerak masuk dan keluar di dalam lubang Palapudu.
Ujung potongan bambu tersebut dibuatkan pegangan dari potongan bambu bagian lainnya, cukup untuk digenggam dengan nyaman tangan-tangan kecil.
Setelah semuanya siap, mereka mengisi Palapudu dengan gulungan kertas bekas yang sudah dibasahi sebagai pelurunya.
Dengan menggunakan sebilah bambu, anak-anak kampung itu mendorong kertas itu ke dalam lubang, dan saat kertas itu keluar, terdengar suara “pop” sebagai suara tembakan. Jika tidak ada kertas, mereka menggunakan biji ketumbar atau buah bulat berukuran kecil yang muat pada lubang bambu.
Permainan Palapudu ini lazimnya dimainkan oleh empat orang atau lebih. Dalam kelompok-kelompok kecil, mereka saling berhadapan dan bersiap untuk bertempur. Suasana semakin tegang saat mereka membagi diri menjadi dua kelompok; satu kelompok bersembunyi di balik pohon besar, sementara yang lainnya bersiaga di ladang terbuka, siap untuk menyerang.
Dengan teriakan khas anak-anak, mereka mulai saling tembak-menembak, berlari ke sana ke mari, menghindari “peluru” yang meluncur dari Palapudu masing-masing.
Sesekali mereka berteriak, mengadukan lebam-lebam kecil akibat tembakan kertas yang mengenai lengan dan leher, namun semua itu dianggap sebagai bagian dari permainan.
Kelompok yang kalah, yang banyak terkena tembakan, harus mengakui kekalahan dengan senyuman, sementara kelompok pemenang melakukan selebrasi dengan sorak-sorai.
Mopobutu lo Bunggo
Alat permainan bunggo terbuat dari bambu besar (wawohu), dengan diameter 8-10 cm dan panjang 100-130 cm. Bunggo siap untuk menciptakan ledakan yang menerobos gendang telinga.
Ruas-ruas dalam bambu diterobos menggunakan sepotong kayu panjang, menyisakan satu ruas di bagian bawah sebagai tempat menampung minyak tanah, bahan bakar utama untuk menghasilkan gejolak api.
Di ujung batang, ada lubang kecil yang berfungsi sebagai tempat menuangkan minyak tanah dan juga sebagai saluran untuk menyulutkan api dan meniup untuk mengeluarkan asap di dalam bunggo.
Untuk menyulutnya, digunakan sepotong bambu kecil, dililitkan kain pada salah satu ujungnya. Ujung kayu yang terlilit itu dicelupkan ke dalam minyak tanah yang tergenang di dalam bambu.
Dengan hati-hati, anak-anak membaringkan bunggo di atas sepotong kayu kecil, mengangkat ujung atasnya agar posisi lebih stabil. Begitu semua siap, mereka mulai menyalakan api, menyulutkan kain yang sudah dibasahi minyak. Tahap awal bunyinya masih lemah (delo pontulo).
Begitu batang bambu sudah cukup panas, momen yang paling ditunggu-tunggu tiba. Suara “BOOM!” yang keras menggema di separuh dusun, mengusir kesunyian sepertiga malam dan membangunkan warga untuk makan sahur.
Asap mengepul keluar dari lubang bambu, dan anak-anak dengan semangat meniup-niup melalui lubang tersebut untuk mengeluarkan asap hingga bunggo siap untuk meledak lagi. Mereka mengulangi proses ini berulang-ulang, sambil tertawa dan bersorak, berusaha menciptakan ledakan yang lebih besar dan lebih keras.
“Tatonu ta bunggo liyo mobutu da’a”? (Siapa yang bisa membuat ledakan paling keras) tantang salah satu anak dengan penuh semangat, yang lain merespons serius. Mereka berjejer, menyusun Bunggo dan bersiap untuk bertanding.
Dalam pertandingan ini, Bunggo yang mengeluarkan suara ledakan paling keras akan dinyatakan sebagai pemenangnya.
Moluli Alanggaya
Moluli alanggaya, atau melepas layangan, adalah permainan tradisional yang sangat populer. Di kampung ini, terdapat dua jenis layangan yang dikenal, yaitu alanggaya buliya dan alanggaya molou. Kedua jenis layangan ini memiliki karakteristik dan cara pembuatan yang berbeda.
Alanggaya buliya adalah layangan yang berbentuk menyerupai burung elang. Layangan ini memiliki kepala yang meruncing ke atas, dengan dua sayap yang mengembang lebar dan puluhan ekor yang menjuntai ke bawah. Pembuatan kerangka layangan, atau yang disebut balanga, dilakukan dengan menggunakan belahan bambu kering yang lurus.
Proses ini membutuhkan keterampilan untuk menyeimbangkan sisi kiri dan kanan agar layangan dapat terbang dengan baik. Setelah balanga selesai dibuat, bagian luar layangan ditempeli dengan kertas minyak (dulu) yang dipilih berdasarkan kombinasi warna sesuai selera pembuatnya.
Ekor layangan dibuat dari guntingan kertas minyak dalam kombinasi warna yang menarik atau dengan menggunakan pita kaset bekas untuk penambahan keindahan dan kemudahan.
Alanggaya molou adalah layangan berbentuk segi empat tidak beraturan. Model ini dikenal luas dan cara pembuatannya cukup sederhana. Agar layangan tidak mengalami masalah seperti menukik (lumetu) atau berputar-putar (mombaya-mbaya), ekor ditambahkan di bagian bawah sebagai penyeimbang, sehingga layangan dapat terbang dengan stabil.
Keseruan bermain layangan bagi anak-anak biasanya muncul saat layangan putus. Dalam situasi tersebut, anak-anak berlari mengejar dan berusaha meraih tali nilon yang terbawa angin. Tali nilon tersebut menjadi milik siapa saja yang berhasil mengambilnya, sementara layangan itu sendiri tetap dikembalikan kepada pemiliknya.
Menariknya, di beberapa wilayah lain di Gorontalo, layangan yang putus dianggap sebagai milik siapa saja yang menemukannya, menambah nuansa persaingan dalam mengejar layangan putus.
Bagi orang dewasa, permainan layangan diadakan dalam bentuk perlombaan. Di sini, siapa yang layangannya berhasil terbang lebih tinggi, dialah yang dinyatakan sebagai pemenang.
Tali layangan peserta perlombaan diikatkan pada sebatang bambu yang diletakkan di tengah lapangan, dan para peserta akan menghitung durasi terbang layangan menggunakan tempurung berlubang yang diapungkan di atas air dalam ember.
Hitungan berakhir ketika tempurung tersebut penuh dan tenggelam. Pada saat itulah, layangan yang masih berada di atas dinyatakan sebagai pemenangnya.
Mo Masawa
Mo masawa, atau bermain kejar-kejaran, adalah permainan yang sangat populer di berbagai kalangan, terutama di kalangan anak-anak. Dalam permainan ini, siapa yang memiliki kecepatan lari yang baik biasanya akan menjadi bintang, namun kecepatan bukanlah satu-satunya faktor penentu kemenangan.
Strategi dan taktik juga memainkan peran penting. Pemain yang cerdik dapat mengecoh lawan, sehingga meskipun lawan memiliki kecepatan, bisa saja meleset dalam usaha menangkap pemain yang lebih lincah. Salah satu taktik yang sering digunakan adalah melakukan manuver tak terduga saat berlari, membuat lawan kesulitan untuk mengikuti.
Salah satu tempat yang sering dijadikan arena permainan masawa adalah aliran sungai yang jernih dengan debit air yang besar. Suasana yang menyenangkan ini semakin lengkap dengan adanya bronjong yang membendung air menuju persawahan masyarakat.
Keberadaan bronjong tersebut menciptakan area aman untuk melakukan manuver di dalam air, menambah keseruan dalam permainan.
Skill berenang dan kemampuan menahan napas sepanjang-panjangnya juga menjadi kunci saat bermain masawa di dalam air. Hal ini sangat penting, terutama ketika pemain bersembunyi di sela batu atau bawah batang pohon yang melintang atau berusaha menghindar dari kejaran lawan.
Mo masawa menjadi semakin menarik dan digemari oleh anak-anak kampung selama bulan Ramadhan kala itu. Dalam momen bermain, acap kali mencuri kesempatan untuk meneguk air tercemar, mencicipi seteguk dua teguk untuk melepaskan dahaga. “Tak ada yang melihat ini, pokoknya aman,” demikian pikiran lugu anak-anak saat melakukan pelanggaran di bulan suci.
Gorontalo, 24 Ramadhan 1446 H
Penulis : Dr. Momy Hunowu, M.Si – (Dosen Sosiologi IAIN Gorontalo)