Obrolan Puasa; Ada Apa Dengan Gender?
Senang bisa berbagi pengalaman dalam obrolan puasa bersama Komunitas Salampuan, organisasi nirlaba akronim dari Sahabat Anak, Perempuan dan Keluarga. Tema obrolannya kesetaraan gender. Pematerinya keren-keren. Para praktisi kesetaraan gender. Kak Asri, Kak Novi, Kak Indri dan Kak Zul. Sebagian mereka lulusan kampus luar negeri. Itu sebab saya sedikit minder dalam obrolan seru ini.
Gerakan Kesetaraan Gender
Apa itu gender? Istilah gender dikaitkan dengan peran laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan sex yang dikaitkan dengan jenis kelamin. Ketika peran laki-laki lebih dominan dari perempuan atau sebaliknya, maka disitulah ketidaksetaraan gender terjadi.
Gerakan kesetaraan gender sudah pernah diperjuangkan mendiang RA Kartini. Yang kemudian dikenal dengan emansipasi wanita. Perjuangannya kala itu adalah membebaskan kaum perempuan dari pingitan keluarga. Perempuan pada zamannya disembunyikan di bilik-bilik dan loteng rumah. Persis apa yang terjadi di sini, di Gorontalo zaman dulu.
Anak gadis diberi label “Ta Dulahu” artinya orang yang hanya bisa keluar pada siang hari. Aib besar kalau keluar malam. Keluar rumah harus didampingi mahram dan menutup aurat (memakai bele’uto). Label “ta dulahu” dan memakai bele’uto sebetulnya upaya membentengi dan menjaga marwah kaum perempuan, tetapi kemudian diaplikasikan berbeda, justru mengungkung kaum perempuan di rumah, pada kerja-kerja domestik. Sementara kaum lelaki bebas berkeliaran ke mana mereka mau, hingga beristri lebih dari satu (dulu ya).
Makanya, ada saja yang resisten dengan istilah kesetaraan gender dan gerakannya. Seperti mengusik kenyamanan kaum lelaki. Dianggap kaum perempuan ingin bebas, lepas tanggung jawab. Kaum perempuan dituduh hendak menguasai para lelaki, sebagaimana gerakan feminisme di Barat.
Padahal sejatinya, gerakan kesetaraan gender bertujuan untuk mencapai kesetaraan antara semua jenis kelamin dalam berbagai aspek kehidupan. Poinnya adalah mewujudkan kebersamaan peran, tolong menolong, gotong royong dalam melaksanakan aktivitas baik kerja-kerja domestik maupun urusan publik.
Bukan Melawan Kodrat
Gender bukan gerakan melawan kodrat. Gender adalah konstruksi sosial tentang peran laki-laki dan perempuan. Dalam satu komunitas atau rumah tangga, anggota-anggotanya mengkonstruksi sendiri peran-peran. Pendeknya saling berbagi peran. Ada yang perannya memasak, mencuci, menyapu halaman, bekerja di ladang, pergi ke pasar, mengajar di sekolah, bekerja di perusahaan, dll. Peran-peran tersebut semuanya bisa dibagi, bisa didistribusi, bisa dipertukarkan. Yang tidak bisa ditukar adalah KODRAT.
Kodrat bersifat alami dan tidak dapat diubah. Dia berkaitan dengan fungsi biologis. Karenanya, kodrat itu bawaan dari pabrik (pencipta). Perempuan kodratnya berhubungan dengan reproduksi misalnya menstruasi selama 1 minggu, mengandung selama 9 bulan, melahirkan antara hidup dan mati, menyusui selama 2 tahun. Kodrat ini tidak bisa dibagi dengan laki-laki. Kodrat ini tidak bisa dipertukarkan, apalagi diperjualbelikan. Tetapi peran perempuan yang sedang menjalani kodratnya bisa dibagi.
Anak gadis yang sedang menstruasi, janganlah disuruh memeras santan, menyetrika, dll. Peran ibu hamil yang selama ini mengurus rumah tangga bisa diwakili oleh laki-laki. Perempuan yang baru saja berjuang melahirkan jangan dulu disuruh mencuci. Perempuan yang sedang menyusui, jangan dulu dibebani dengan memasak, mencuci, menyetrika yang semua itu bisa dikerjakan oleh laki-laki.
Bukankah ajaran Islam memberi keringanan kepada perempuan yang datang bulan untuk meninggalkan kewajiban sholat dan puasa? Lalu kenapa melepaskan peran selama masa haid, hamil dan menyusui tidak bisa?
Perhatikan ilustrasi ini. Seorang ibu menyusui, disuruh suaminya menyuguhkan air hangat pada tamunya. Sang ibu krasak-krusuk harus ke warung, membeli gula sambil menggendong sang bayi yang menangis. Lalu memanaskan air, menyeduh teh. Sementara suaminya haha hihi dengan sahabat lamanya yang baru bertemu. Ongkang-ongkang kaki sambil merokok. Mestinya sang suami bisa mengambil alih menyeduh teh sendiri atau menggendong bayi sembari istrinya menyuguhkannya. Ayo, ngaku ayo…
Multiple Burden
Apakah urusan domestik hanya berlaku pada ibu-ibu rumah tangga saja? Ternyata tidak. Banyak kaum perempuan yang sudah berkarir di luar rumah; sebagai guru, dosen, kepala dinas, aktivis, dll. yang sebenarnya mereka membantu peran laki-laki untuk mencari nafkah.
Lucunya, kaum perempuan berkelas ini harus berjibaku menyiapkan sarapan, menyetrika, mengurus anak, tanpa bantuan sepeser pun para suami. Alih-alih bahu membahu menyelesaikan pekerjaan, menyuguhkan teh hangat, memakai baju, sepatu saja harus disiapkan istri.
Ketika sang istri tugas ke luar daerah, dia harus memastikan suaminya tidak mati kelaparan. Menyiapkan tukang catering, memenuhi lemari pendingin dengan berbagai kebutuhan dll. Canggih kan?
Ini bukan lagi dobel peran, tetapi multiple burden, sebut Zulkifli Tanipu dalam paparannya. Bahwa perempuan menjalankan beberapa peran sosial sekaligus. Belum lagi tekanan psikis yang harus dideritanya.
Potret ini menggambarkan laki-laki tak ubahnya anak kecil yang harus disuapin ibunya. Padahal, dulu, ketika masa pacaran. Dia berlagak superman. Apa-apa kebutuhan sang pacar dipenuhi. Pagi-pagi nelpon menanyakan “sudah makan belum ade?” Luka lecet sedikit langsung dielus-elus penuh kasih sayang “Kasihan ade, sini kakak obati”. Ketika usai akad nikah, semua perhatian itu terbalik. Dia yang dulunya siap melayani, berganti mau dilayani, Keren kan?
Seolah peran-peran siap melayani saat pacaran hanyalah modus untuk menaklukkan hati sang pacar. Persis si ayam jantan yang membujuk si betina dengan cara mengais-ngais tanah, seolah-olah menemukan makanan. Begitu hasratnya terpenuhi, si jantan segera berlalu.
Inilah yang hendak dikoreksi. Kaum perempuan dan juga laki-laki harus berbagi peran. Kerja sama, tolong menolong dalam setiap aktivitas.
Jadi kalau ada yang mempertanyakan adakah gender dalam Islam? Sebagaimana respon sahabat Kak Indri Yasin ketika memposting flyer obrolan puasa di platform medsosnya.
Islam mengajarkan kerjasama, gotong royong, tolong menolong. Dalam kebaikan dan takwa. Mengurus rumah tangga, mengurus anak adalah kerja-kerja kebaikan dan takwa. Yang dilarang adalah mendzalimi. Nah, memberi beban kerja lebih kepada perempuan, yang secara fisik lemah, kemayu adalah perbuatan DZALIM, bukan?
Tantangan Kesetaraan Gender
Point penting dalam obrolan tersebut adalah bahwa ketidaksetaraan gender yang selama ini terjadi karena faktor budaya. Masyarakat Gorontalo umumnya berpola patriarkis, artinya peran laki-laki di area publik lebih dominan dan nihil di area domestik.
Pada masyarakat Gorontalo, terutama di pedesaan, dianggap tabu laki-laki mencuci piring, memasak, menyetrika. Karena urusan ini sudah dikonstruksikan sebagai urusan perempuan. Ketika ada anak laki-laki yang mengerjakan pekerjaan perempuan diyakini akan “mowali bayasa” atau ada kecenderungan menjadi banci (waria). Walhasil tak jadi banci tetapi menjadi super manja.
Padahal peran-peran domestik tidak mempengaruhi perilaku banci. Banci lebih dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan. Ketika ada anak laki-laki bergaya kemayu, lalu dia diberi stereotip sebagai banci, dan teman-teman laki-laki sebayanya menjaganya, maka dia akan lebih dekat dengan perempuan, disitulah dia menjadi berubah. Jadi bukan karena mencuci piring, menyapu halaman dll.
Demikian halnya dengan kesetaraan gender, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Para pembicara dalam obrolan puasa adalah contoh bagaimana mereka memiliki ayah dan suami hebat yang berbagi peran dalam keluarga. Oleh sebab itu, salah satu tips mewujudkan kesetaraan gender adalah dengan memberi contoh kepada anak-anak, membagi peran setara, agar kelak mereka menjadi praktisi kesetaraan gender. Mewujudkan keluarga bahagia yang sesungguhnya.
Gorontalo, 14 Ramadhan 1446 H
Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si – (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)