Pelecehan Seksual: Kuasa dan Keberanian Melawan Atas Nama Siri
Akhir-akhir ini kita memang sering dikejutkan dengan berbagai berita mencengangkan. Dari pajak yang naik berlipat-lipat, hingga sewa tempat tinggal anggota dewan terhormat yang berjumlah 50 juta perbulan. Dan kita lagi lagi dikejutkan dengan viralnya berita seorang rektor perguruan tinggi ternama di Indonesia Timur yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan bawahannya. Berita pelecehan seksual semacam itu entah mengapa sering kita dengar dari ruang akademik. Padahal di sana adalah tempat pengetahuan harusnya tumbuh, tapi lantas mengapa bisa berubah menjadi arena sunyi di mana hasrat seksualitas dilampiaskan. Dengan tetap berpijak pada asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), persoalan ini patut mendapat perhatian bersama, sebab, sering kali orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan terjerat dalam praktik pelecehan seksual. Sementara korban pelecehan, terutama perempuan, karena berada dalam posisi timpang secara kekuasaan, kerap tidak berdaya menghadapinya.
Pelecehan seksual (sexual harassment) bukanlah persoalan yang betul-betul anyar. Catharine A. MacKinnon, dalam karya klasiknya Sexual Harassment of Working Women (1979) telah menunjukkan masalah ini sejak dulu. Ia menegaskan sexual harassment adalah bentuk diskriminasi berbasis gender yang berakar pada relasi kuasa yang timpang di ruang kerja maupun pendidikan. Tindakan semacam ini bukan perkara seksual semata, tetapi terkait erat dengan dominasi. Di balik sentuhan yang tidak diinginkan, komentar merendahkan, tatapan melecehkan, hingga ancaman implisit, tersembunyi pesan: siapa yang berkuasa dan siapa yang harus tunduk. Dengan kata lain, pelecehan itu tidak harus selalu berupa tindakan secara fisik atau ucapan verbal, tetapi ia juga bisa mewujud dalam tatapan, isyarat dan pesan digital yang bernuansa cabul. Hal itu terutama jika salah satu pihak merasa punya kuasa untuk melakukan, sementara pihak lain dianggap tidak berdaya. Karena Seksual Harassment soal kuasa, maka korban tidak selalu perempuan, ada beberapa kasus, korbannya justru laki-laki. Sekali lagi tergantung siapa yang punya kekuasaan di sini. (Mengenai kasus di mana laki-laki yang jadi korban seksual harassment bisa disimak dalam film India, Aitrazz .)
Komnas Perempuan secara terang benderang telah memetakan ragam pelecehana seksual. Ada yang hadir secara kata-kata: komentar, candaan, atau gurauan bernuansa seksual yang merendahkan. Ada pula yang bernuansa non verbal: tatapan, isyarat, atau pesan digital bernuansa cabul. Pelecehan juga bisa dalam bentuk fisik: sentuhan, usapan, pelukan, atau ciuman tanpa persetujuan. Bahkan kadang juga menjelma dalam bentuk psikologis dan simbolik: memanfaatkan posisi atau jabatan untuk menekan seseorang agar patuh pada kehendak seksual.
Dalam ruang akademik, bentuk terakhir inilah yang mencemaskan, sebab perguruan tinggi yang mestinya menjadi tempat menyemai pengetahuan bergeser menjadi arena kuasa untuk menekan mahasiswa, staf atau dosen yang berada dalam posisi lemah untuk memenuhi hasrat seksual. Dalam ruang sunyi, melalui pesan digital dan atas nama kepatuhan atas pekerjaan, hasrat seksual sang empunya kuasa mengalir dan menundukkan korban.
Kekuasaan, sebagaimana sejak dulu diingatkan Michel Foucault, memang tidak selalu hadir dalam bentuk represif, tetapi sering dalam wajah yang terlihat lebih ramah dan produktif. Ia bisa berbentuk pembimbingan mahasiswa, saran agar pekerjaan lebih mudah, posisi akademik dan soal masa depan. Melalui cara-cara produktif itulah hasrat itu juga ditumpahkan. Banyak korban yang akhirnya memilih bungkam sebab terperangkap dengan hal-hal positif tadi. Ia terjebak pada kekhawatira akan posisi akademik serta reputasi dan masa depan. Jadilah kasus-kasus pelecehan kerap terlambat terungkap, atau justru terkubur sama sekali.
Keberanian korban untuk mengungkap pelecehan ini patut diapresiasi, apalagi jika ia masih berada dalam lingkaran kekuasaan dengan sang pelaku. Tentu saja semuanya memang masih perlu pembuktian di pengadilan, tetapi berani untuk mengungkap adalah salah satu langkah awal agar yang punya kuasa tidak senaknya saja menggunakan kekuasaan untuk memenuhi hasrat seksualnya. Keberanian melawan menjadi titik balik yang penting. Keheningan yang pecah oleh suara korban sering kali menjadi awal perubahan. Sara Ahmed dalam Complaint, menunjukkan bagaimana keberanian individu untuk mengadu, meskipun acap kali diabaikan dan penuh risiko, mampu mengguncang institusi dan membuka ruang bagi perubahan.
Dalam masyarakat Bugis-Makassar, terdapat sebuah nilai luhur yang sejak lama menjadi benteng kokoh melawan segala bentuk pelecehan seksual. Nilai itu disebut siri’. Ia adalah nilai luhur yang berkaitan dengan harga diri, martabat dan kehormatan seseorang. Di hadapan tindakan pelecehan, konsep siri’ bekerja sebagai penanda sekaligus pemicu perlawanan. Sebab, pelecehan bukan sekadar perbuatan tercela, melaikan telah masuk dalam ranah mappakasiri’ (perbuatan menghilangkan martabat), sebuah penghinaan yang membuat korban berada dalam posisi nipakasiri’ (dihilangkan martabatnya). Pada titik inilah seseorang dapat merasakan tappela (tabbe) siri’, yaitu hilangnya kehormatan diri yang tak ternilai. Dan ketika martabat itu dirampas, orang Bugis-Makassar akan bangkit dengan perlawanan terakhir yang berakar pada semboyan sakral: nalabirangi matea natappela sirika’ (lebih baik berkalang tanah daripada kehilangan siri’).”
Namun, siri’ sejatinya tidak hanya berfungsi bagi korban agar berani bersuara dan mengungkap kebenaran. Ia juga menjadi pagar moral yang mencegah seseorang melakukan pelecehan. Sebab, siapa yang menjaga sirina, akan menjaga tindakannya; dan siapa yang setia menjaga siri’, akan menjaga perempuan dari pengalaman pahit kehilangan kehormatannya. Dengan demikian, siri’ hadir bukan hanya sebagai spirit perlawanan, tetapi juga sebagai etika luhur yang mengikat masyarakat untuk saling melindungi dari tindakan yang melecehkan.
Ala kulli hal, tentu kita tidak ingin ada lagi kasus pelecehana seksual terjadi di ruang akademik yang kita anggap paling bermartabat itu. Adalah tugas kita bersama memastikan ruang terhormat tersebut, dan ruang-ruang lainnya, menjadi tempat yang aman, adil, dan bermartabat. Keberanian korban untuk bersuara harus diimbangi dengan keberanian institusi untuk melindungi, mendengar, dan menindak. Pelecehan seksual, pada akhirnya, bukan hanya kejahatan terhadap individu, melainkan juga pengkhianatan terhadap kemanusiaan.
Penulis: Ijhal Thamaona memiliki nama lengkap Dr. Syamsurijal Adhan, S.Ag., M.Si adalah Peneliti Khazanah Agama dan Peradaban di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)