Piagam Menara Gading

Foto Ilustrasi - Salah satu peneliti, Dr. Syamsurijal Adhan, S.Ag., M.Si saat menerima penghargaan periset berkinerja tinggi, Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban, BRIN.

Ruang berpendingin malam itu tidak kuasa menyingkirkan keringat yang terus merembes keluar dari pori-poriku. Adrenalin yang terpacu memaksa hormon-hormon dalam tubuhku memproduksi keringat dalam udara yang disemprot AC.

Seiring dengan gemuruh aula megah itu, adrenalinku terasa makin bergerak cepat ketika namaku disebut. Dr. Maulana  Eka  Rasyid  Arfan  Saputra  Alamsyah  Taufik  Abdullah  Hafidz Umar, MA, M.Si, Ph. D., peneliti terbaik tahun ini.

Dengan langkah yakin, aku menuju panggung. Jas terbaik menempel rapi di tubuhku. Beberapa kolegaku terlihat memotret dengan HP-masing-masing. Direktur dari Lembaga Riset tempatku bekerja menyodorkan piagam berbingkai kuning keemasan. Sorot lampu memantul dari bingkai piagam itu. Lalu Pak Direktur berkata, “penghargaan ini diberikan kepada Saudara Maulana Eka, ah panjang sekali namanya ya….,tetapi kami biasa memanggilnya ‘Dr. MERASA TAHU.’

Ucapan Pak Direktur terputus oleh sorak-sorai hadirin dan tepuk tangan yang makin meriah. Kolega dari pusat risetku tampak paling bersemangat. Jelas mereka bersorak karena nama panggilan sekaligus singkatan dari nama panjangku itu. Saya hanya menyeringai, senyum yang kecut. Singkatan namaku itu menyusupkan bangga tetapi juga terasa membisikkan sindiran.  Pak Direktur mengangkat tangan. Ruangan kembali diam. Lalu ia melanjutkan ucapannya, “Saudara Dr. Meras ini membanggakan kita semua dengan artikel-artikelnya yang diterbitkan di Jurnal Internasional, dilengkapi sitasinya yang ribuan, dan makalahnya yang dipresentasikan di seminar internasional.”

Tepuk tangan kembali bergemuruh, mana kala aku mengucapkan sepatah dua kata. “Terima kasih semua. Ini bukan hanya tentang saya pribadi, tapi untuk seluruh tim riset, untuk lembaga dan untuk kolaborasi kita.” Ucapku dengan suara dan susunan kata-kata berusaha ditakar, seperti setiap frasa dalam jurnal ilmiah yang ditata sesuai kaidah penulisan. Formal dan kaku tanpa emosi.

Lembaga tempat aku bernaung itu bernama Lembaga Riset Wakindi.  Anggarannya cukup besar karena selain mendapat  dana dari negara juga memperoleh kucuran dari Yayasan Swasta. Tiap tahun lembaga ini memang mengganjar penghargaan bagi peneliti yang dianggap berprestasi. Peneliti berprestasi yang dimaksud bukan karena, misalnya, penelitiannya berdampak pada anak-anak yang kurang gizi di satu daerah terpencil. Tidak juga karena, misalnya, penelitiannya memberikan solusi bagi masyarakat adat yang masih termarginalkan. Penghargaan diberikan  karena banyaknya tulisan seorang peneliti terbit di jurnal internasional, makalahnya dipresentasikan di forum antara negara, dan artikelnya dirujuk berkali-kali, meski yang merujuknya belum tentu membacanya secara tuntas dan mengerti betul apa isinya.

Mengingat semua hal itu, samar-samar jauh di lubuk hatiku, ada ruang kosong yang tak mampu diisi suara tepuk tangan. Ada bisikan samar yang tak bisa dijelaskan dengan data atau teori yang kerap nempel di artikelku. Rasa itu seperti angin malam yang menusuk senyap dan membuat tubuh beberapa jenak bergetar-menggigil. Tetapi semua segera terlupakan. Tepuk tangan dan ucapan selamat yang bertubi-tubi di media sosial melupakanku pada bisikan nurani. Saya melayang di atas angin.

Seminggu setelah penghargaan itu aku mendapat tugas riset di provinsi tempat aku dilahirkan. Waktunya panjang dan salah satu lokasinya adalah kampung halaman saya sendiri. Aku pulang kampung dengan rasa percaya diri. Gelar akademik sudah berderet.  Rasanya tak ada orang di kampungku, bahkan mungkin di kabupatenku, memiliki gelar sebanyak itu. Apalagi kini telah menjadi peneliti terbaik pula. Satu dua orang kampungku pasti membaca berita atau menonton penghargaan peneliti terbaik tahun ini  yang cukup viral di YouTube .

Ibuku menyambutku dengan air mata haru. Sama seperti dulu. Kebahagiaan memancar jelas dari parasnya. Aku tahu itu kegembiraan karena bertemu anaknya.  “Anakku pulang” katanya sambil memelukku. Kata-katanya singkat, tapi pelukannya berbicara dalam dan panjang tentang kerinduannya. Di matanya, aku seperti purnama yang bersinar penuh. Selalu membanggakan dia. Tak peduli aku jadi peneliti berprestasi atau tidak. Tidak hirau gelarku berderet mentereng atau tanpa gelar sama sekali. Baginya aku adalah anaknya yang membanggakan.

Tetangga-tetangga datang membawa berbagai penganan. Satu dua membaca berita dan menonton video penghargaanku. Mereka memujiku dengan rasa tulus, meski terang terlihat mereka jelas sungguh tak paham apa itu “jurnal terindeks scopus” atau “konferensi internasional di Prancis” yang kerap kusebut-sebut.

Di hari pertama, suasana  desaku yang tenang dan sejuk betul-betul membuai. Saya meresapi udara dinginnya. Memandang penuh gairah sawah-sawah hijau yang sebagian mulai menguning. Kini ada irigasi yang mengalirkan air menuju sawah-sawah itu. Beberapa bebatuan menonjol menembus permukaan air seakan menjenguk langit. Dengan irigasi itu kini sawah warga tidak lagi hanya ditanami saat musim hujan tiba.

“Sekarang kita bisa panen paling sedikit dua kali setahun karena ada irigasi itu nak”, kata Pak Salim, pamanku. “Kamu kenal Malik kan, temanmu di pesantren dari kampung ini juga.” tanyanya seakan menyelidik apakah saya masih kenal semua temanku dulu dan orang di kampung ini.  “Ia memilih pulang kampung setelah sarjana. Di sini ia membikin semacam lembaga swadaya. Menghimpun pemuda. Dialah yang punya ide membuat irigasi. Air sungai yang ada di bawah itu dinaikkan dengan kincir air. Dia pula yang merancang kincir air itu.”

Mendengar itu tiba-tiba hati  saya kembali berdesir. Selarik bisikan mengetuk pelan, “kemana kamu selama ini? Jangan-jangan hanya sibuk menanam ide di lahan tak berjiwa bernama ‘scopus‘ dan memanen angka-angka sitasi yang tak pernah dikunyah oleh orang kampungmu sendiri.”

Dan tibalah malam itu. Saat semua kebanggaan sebagai peneliti berprestasi dengan jurnal yang tak terhitung dan seminar ke mana-mana, runtuh seketika. Malam itu, aku duduk di warung Pak Ahmad, minum teh ditemani pisang goreng sembari ngobrol serius dengan beberapa pemuda. Mereka  bercerita tentang masalah yang sedang membelah warga: Ada ustaz yang melarang tradisi Maudu Lompoa (Maulid Akbar), peringatan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW, warisan nenek moyang yang rutin digelar secara besar-besaran setiap tahun.

“Katanya bid’ah dan sesat. Ustaz baru dari kota  yang bilang begitu,” ujar Marding dengan nada resah. “Padahal ini tradisi turun-temurun. Sekarang, warga, terutama anak-anak muda saling curiga. Yang satu dibilang kafir, yang lain dibilang sok suci. Kami pecah.”

Aku mencoba bicara. Kujelaskan tentang moderasi, pluralisme, bahkan menyebut Walzer dan Diana L. Eck segala, nama yang sering saya kutip di jurnal dan makalah. Tapi seperti bayangan dalam air, ucapanku tak pernah menyentuh dasar. Wajah-wajah di depanku tampak kebingungan. Penjelasanku terhadap mereka seperti lukisan yang kehilangan maknanya.

Terus bagaimana kak, apa yang harus kami lakukan? Kita akan seminar dulu, atau bagaimana? Ucap Yadi, salah seorang pemuda tamatan SMA, pelan tapi terasa tajam.

Malam itu aku tidak bisa tidur. Dalam remang lampu kamar, aku memandang foto kala menerima piagam penghargaan itu. Wajahku yang semringah dalam foto tiba-tiba terasa seperti topeng kertas. Aku mulai bertanya: “siapa yang sebenarnya kuwakili selama ini? Masyarakat? Atau sistem perjurnalan yang sebenarnya hanya dikonsumsi kalangan tertentu.”

Keesokan harinya, desas-desus makin keras. Rencana gelaran Maudhu mulai bergeser menjadi konflik. Aku menghubungi kolega di kantor.

“Harus ada intervensi cepat. Modul resolusi konflik barangkali?”

“Perlu baseline data dulu, Pak. Kita bisa kirim tim minggu depan,” jawab mereka, tenang seperti biasa.

Namun bagaimana bisa menunggu, malam itu ketegangan memuncak. Suara perselisihan mulai terdengar dari jalan-jalan kecil kampung. Aku menyelusup di tengah-tengah warga. Berharap bisa memberi jalan keluar. Tetapi begitu ada di tengah orang yang sedang berada dalam ketegangan dan emosi, otakku malah tumpul.

Selama ini aku hanya terbiasa di belakang meja, tanganku hanya lincah mengetuk huruf-huruf merangkai kata, bibirku sebatas  fasih menjelaskan berbagai konsep di seminar. Tapi semua artikel jurnalku, makalahku, konsep yang aku kuasai tidak satu pun bisa menolongku malam itu. Aku malah berdiri mengkeret ketika perdebatan semakin sengit.  Teori konflik Marx, Dahrendorf dan Lewis Coser, tidak menemukan ruangnya dalam situasi itu. Teori itu ikut membeku di kepala.

Ketika perdebatan dan emosi makin meninggi dan aku hanya bisa berdiri gemetar dengan muka pias di tengah mereka, saat itulah dari ujung jalan muncul seseorang. Ia berjalan tenang ke arah warga yang sedang berdebat. Pakaiannya sederhana. Kakinya bersandal jepit. Di tangannya ia menenteng beberapa kitab kecil. Kuperhatikan dengan seksama, itu kitab warisan ulama nusantara.

“Malik…?” kataku pelan. Ia mengangguk ramah. “Maaf Pak Doktor, saya belum sempat menemuimu, tapi nanti saya pasti akan ke rumahmu, kita ngobrol panjang-lebar, sekarang saya ingin bicara dulu dengan mereka.”

“Saudaraku semua, kata Malik dengan tenang. Maudhu Lompoa itu tradisi, bukan ibadah mahdhah. Kita bisa beda pendapat, tapi jangan saling membenci. Dulu para ulama menggelar tradisi ini karena mereka tahu, agama tanpa budaya akan terasa hambar, kehilangan ghirah, dan budaya tanpa agama akan kehilangan ruh.”

Kata-katanya biasa, ia tak mengutip Foucault atau Weber, atau siapa pun, seperti lazimnya para presenter di ruang seminar yang senang menyebut tokoh agar dianggap lebih akademik-intelektuil. Tapi setiap kalimatnya menembus dada. Ada lirih di suaranya, lalu jeda. Ia mengisahkan para ulama dan riwayat leluhur yang pertama mengenalkan tradisi Maudhu Lompoa. Ia tak mengajari, juga tidak menantang satu pendapat pun,  tetapi bercerita, seperti orang tua kami dulu mendongeng.

Malam yang tadinya panas jadi teduh. Warga yang sudah siap bertarung, kini duduk tenang. Suara tinggi berubah jadi tawa ringan. Malik tak berdiri sebagai hakim, ia duduk sebagai saudara.

Lalu Malik berkata, “begini saja, yang mau melaksanakan maudhu lompoa bisa melakukan di lapangan desa, selain luas dan bisa menampung banyak orang, juga tidak mengesankan kita melakukan ibadah mahdlah. Tuduhan bid’ah tidak akan muncul lagi.”

Aku hanya menonton dari sudut. Merasa kosong. Seperti menara yang menjulang tapi tak berakar. Semua artikel ilmiahku tentang pluralisme, moderasi beragama dan resolusi konflik, dan semua sesi panel internasional, tak bisa menandingi satu malam Malik di bawah kolong langit yang disinari rembulan.

Setelah suasana tenang, aku mendekatinya. “Kau belajar semua itu dari mana?”

“Dari warga. Dari mendengar. Dari gagal, dari ditolak, dari bergumul bersama mereka di ladang dan di sawah.”

Aku terdiam. Malam itu hatiku menangis. Bukan karena kalah, tapi menyadari ilmu yang kulembagakan telah kehilangan dagingnya. Aku menulis tentang manusia, tapi lupa menjadi manusia yang turun ke bawah dan berinteraksi dengan manusia yang lain. Aku menjadi malu dengan berbagai ucapan selamat itu. Selamat untuk apa? Berbagai ucapan selamat yang tersimpan di HP-ku seakan menari-nari mengejekku.

Penghargaan ini, seindah apapun, hanyalah bayangan. Ia menyinariku tapi tak menghangatkanku. Sebab sistem akademik hari ini lebih mengutamakan siapa yang bicara, bukan untuk siapa ia bicara. Ia memberi panggung pada mereka yang bersuara, yang menyemprotkan tulisannya di berbagai media, bukan pada mereka yang menemani penderitaan di tepi-tepi kampung dan merajut jawaban atas gelombang masalah yang dihadapi warga.

Aku mulai bertanya, untuk siapa aku menulis? Untuk siapa aku berpikir? Jika jawabannya tak pernah menyentuh wajah-wajah yang kulihat setiap hari di pasar, di kebun, di lorong-lorong kota. Jangan-jangan aku bukan sedang meneliti—aku hanya sedang memoles cermin agar pantulanku makin indah di mata sistem.

Mungkin aku hanya perlu turun dari menara itu, bukan membakarnya, karena aku tak punya kemampuan untuk itu. Aku perlu turun untuk menanam kembali pengetahuan di ladang yang nyata—di tanah yang bisa disentuh, di hati yang bisa diajak bicara.

Dan malam itu aku bermimpi, ayahku yang telah lama meninggalkan dunia fana ini datang. Ia berkata padaku: “Ilmu bukan tentang gelar, bukan pula tentang penghargaan, ilmu sejati bukan yang berumah di atas angin apa lagi mendongak ke langit, tetapi sejauh mana ia mau menunduk dan menyapa bumi. Al-ilmu bilaa amalin ka syajari bilaa tsamarin (Ilmu yang tidak dibumikan, ibarat pohon yang tidak berbuah). Kamu lebih tahu itu nak.”  Lalu bayangan ayahku pun sirna.

Oleh : Ijhal Thamaona memiliki nama lengkap Dr. Syamsurijal Adhan, S.Ag., M.Si adalah Peneliti Khazanah Agama dan Peradaban di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) 

Kabar Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup