Polemik Gusnar–Adhan: Elit dan Tim “Cawe-cawe” Jangan Hanya Pandai Meniup Api
Oleh : Nanda Poha (Mahasiswa Magister Komunikasi Politik Universitas Paramadina)
Pertikaian politik antara Gusnar Ismail dan Adhan Dambea yang terus mencuat ke publik sebenarnya bukan semata soal dua tokoh yang tidak akur. Yang lebih rumit, dan sering kali luput dari perhatian, adalah peran para elit dan tim di belakang layar—yang justru sibuk “cawe-cawe”, bukan untuk mendamaikan, melainkan memperkeruh suasana.
Menanggapi Nurmawan Pakaya dalam tulisannya dalam https://bakukabar.id/polemik-gusnar-dan-dambea-veteran-politik-atau-kopral-yang-tidak-selesai-dalam-misi-perang/, kita semua paham bahwa dalam politik, ada aktor utama, ada pula aktor pendukung. Tapi masalahnya, ketika aktor pendukung justru mengambil alih panggung untuk memprovokasi, menyulut narasi saling serang, bahkan menjadikan perbedaan sebagai bahan bakar konflik—maka yang terjadi bukan demokrasi yang matang, melainkan politik gaduh yang jauh dari esensi kepemimpinan.
Padahal, elite politik lokal seharusnya mengambil posisi sebagai jembatan. Bukan kompor yang memanaskan suasana. Tugas mereka mestinya bukan menambah barisan pertempuran, tapi membuka ruang-ruang dialog yang konstruktif. Menjadi penasihat yang menyejukkan, bukan tim sorak yang sibuk memperkeruh suasana demi kepentingan masing-masing.
Polemik ini bisa saja menjadi momentum pematangan politik lokal, jika para elit dan tim pendukung mengambil peran sebagai mediator. Tapi sayangnya, dalam banyak kesempatan, kita justru menyaksikan pemandangan sebaliknya: orang-orang di sekitar dua tokoh ini tampak lebih sibuk menciptakan panggung perang opini, saling sindir di media, dan menebar narasi yang membuat publik semakin jenuh.
Rakyat sudah cukup lelah dengan konflik tak berujung. Yang mereka butuhkan adalah stabilitas kepemimpinan dan kerja nyata untuk menyelesaikan masalah-masalah dasar di Gorontalo. Pendidikan, lapangan kerja, infrastruktur, pelayanan publik—semua itu jauh lebih penting dibanding siapa yang lebih keras bicara atau siapa yang lebih dulu menyindir.
Jika para elit politik masih ingin dihormati, maka saatnya menunjukkan keteladanan. Jangan hanya pandai membangun jaringan politik, tapi juga punya keberanian membangun ruang dialog. Jangan hanya jago mengatur strategi perebutan kursi, tapi juga punya visi menjaga marwah demokrasi lokal.
Panggung politik lokal bukan untuk melanjutkan dendam masa lalu. Ia harus menjadi ruang kompromi dan kolaborasi. Dan para tim “cawe-cawe” sebaiknya mulai belajar membedakan antara menjadi pendukung, dan menjadi penyulut konflik. Karena keduanya bukan hal yang sama.
Sudah saatnya kita dorong para elite politik untuk mengambil peran sebagai pendingin suasana, bukan penjaga bara konflik. Politik memang tentang dinamika, tapi ia tidak harus selalu gaduh.