Polemik Gusnar dan Dambea: Veteran Politik atau Kopral Yang Tidak Selesai Dalam Misi “Perang”.

Oleh : Nurmawan Pakaya

Kalau mau jujur, berita soal perseteruan antara Gubernur Gorontalo Gusnar Ismail dan Wali Kota Gorontalo Adhan Dambea yang belakangan makin kencang berhembus ke publik, sebenarnya bukan hal baru dalam dinamika politik di Gorontalo. Tapi tetap saja, ini bikin kita bertanya-tanya: kenapa sih, pemimpin kita belum benar-benar siap menyikapi dinamika dengan kepala dingin?

Padahal, dua tokoh ini bukan aktor baru di gelanggang politik. Mereka bukan politisi yang baru belajar membedakan antara mikrofon konferensi pers dan mikrofon orasi kampanye. Gusnar dan Dambea adalah veteran. Setidaknya ini yang kita tahu. Meraka adalah dua pendekar lama yang pernah sama-sama mengayuh perahu politik lokal dari zaman baliho masih dicetak pakai sablon manual dan kampanye belum melibatkan drone.

Tapi rupa-rupanya, jadi veteran politik lantas tidak otomatis menjadikan seseorang lebih dewasa dalam mengelola konflik. Kadang justru sebaliknya: terlalu banyak sejarah, terlalu banyak luka, terlalu banyak ego yang belum tuntas terurai. Dan di sinilah kita hari ini, menyaksikan dua tokoh publik saling sindir di media, saling sentil di ruang publik, dan sedihnya rakyat sebagai penonton pelan-pelan mulai bosan.

Tapi tidak perlu kaget dan heran, ya, beginilah adanya dunia politik di daerah. Kursinya memang tak beroda, tapi para penghuninya selalu resah. Kekuasaan membuat orang duduk, tapi tak pernah betah membikin orannya duduk diam. Dan ketika dua kursi itu mulai saling goyang, maka bisa dipastikan yang retak bukan cuma meja perundingan, tapi juga jembatan komunikasi. Imbasnya tentu saja pada kebijakan yang semaraut. Semisal anggaran pembangunan yang mandek, bahkan harapan warga yang tadinya menitip kepercayaan kepada keduanya menjadi tidak tenang.

Tapi tak apalah. Mungkin ini adalah sebuah fase di mana kita akan sadar bahwa menjadi pemimpin bukan sekadar memenangkan jabatan, tapi juga menenangkan diri. Dan kalau sudah begitu, yang diperlukan bukan siapa yang lebih keras bicaranya, tapi siapa yang lebih dulu menenangkan ego.

Drama yang Tak Perlu Ada Jika Semua Mau Duduk

Karena kalau mau jujur (lagi), konflik Gusnar–Adhan ini bukan soal prinsip tata kelola, tapi lebih mirip drama keluarga besar yang lupa ditutup tirainya. Semua orang bisa lihat isinya: saling sindir, saling tagih jasa lama, saling ungkit siapa yang dulu bantu siapa. Hanya saja yang membedakan ini bukan acara sinetron pukul tujuh malam, sebaliknya adalah wajah pemerintahan di ibu kota provinsi Gorontalo. Maka sebelum semuanya jadi lebih runyam, mari mulai dari hal yang paling sederhana: duduk. Dan pelan-pelan pun jika memungkinkan bacalah tulisan ini sampai habis. Setidaknya rokok dan kopi ada temannya.

Kepala Daerah dan Tanggung Jawab Etika (Kekuasaan)

Sebagai Gubernur, Gusnar Ismail punya panggung yang lebih besar. Dalam konstitusi misal, Gusnar tidak hanya mengatur urusan provinsi, tapi juga harus membina hubungan vertikal dengan kabupaten/kota. Dengan kata lain harus memfasilitasi kerja sama antar daerah, serta memastikan bahwa dinamika politik tidak mencederai pelayanan publik.

Dalam Dalam konteks perseturuan ini, Gusnar tidak perlu larut dalam polemik yang cenderung personal. Ia tidak perlu membalas pernyataan Dambea satu demi satu. Tidak perlu juga membiarkan tensi ini terus naik tanpa ujung. Justru di sinilah seorang kepala daerah diuji: sejauh mana ia mampu menjadi penengah, bukan justru menambah api dalam bara.

Jika komunikasi birokratik antara provinsi dan kota Gorontalo menemui kebuntuan atawa jika Adhan dianggap terlalu keras kepala—maka Gusnar bisa mengambil jalur lain. Yakni melalui komunikasi jalur partai politik. Sebagai Gubernur bukankah ia sebagai pembina seluruh ormas dab partai politik yang ada di sana? Toh kita juga tahu keduanya berasal dari dunia politik yang sama, pun dalam tradisi demokrasi yang kita imani bersama pulak. Bukankah forum partai politik adalah tempat yang paling wajar untuk menyelesaikan silang pendapat yang tak bisa diselesaikan lewat surat dinas?

Undang Dambea. Duduklah sebagai sesama kader partai politik. Bukan sebagai atasan dan bawahan. Bukan sebagai Gubernur dan Wali Kota. Tapi sebagai dua zoon politicon yang sama-sama memikul tanggung jawab publik. Karena kadang, urusan birokrasi bisa terselesaikan lebih cepat lewat “meja kopi” partai politik dibanding lewat meja rapat resmi birokrasi.

Adhan dan Seni Menahan Diri

Sebaliknya, Adhan juga perlu menahan diri. Membawa persoalan pribadi ke ruang publik bisa memang memungkinkan menjadi strategi politik, tapi juga tidak menutup kemungkinan bisa menjadi bumerang. Sebagai walikota yang menempati posisi strategis, harusnya Dambea bisa menuntun dirinya untuk jauh lebih tenang dalam berbicara. Kritik boleh, tapi perlu dibungkus dalam nalar kepentingan publik, bukan malah nostalgia balas budi yang terluka. Apalagi jika sampai menyebut “tidak tahu etika”, “tidak berterima kasih”, atau “melibatkan pihak eksternal lain dalam jabatan” tanpa bukti administratif yang sahih.

Lantas dalam peristiwa dulu apakah ada keluhan yang valid? Mungkin saja. Tapi bukankah menyampaikannya dalam format konfrontatif hanya akan memperbesar polarisasi? Sebaliknya itu tidak akan menyelesaikan masalah.

Dalam banyak kasus, ego antarpemimpin justru membuat pelayanan publik tersendat. Program-program akan mandek. Bantuan sosial tertunda. ASN menjadi bingung: harus loyal kepada siapa? Aparat menjadi ragu: ikut arahan provinsi atau kota? Padahal di tengah dinamika fiskal nasional, masyarakat lebih butuh bantuan konkret daripada drama politik yang tiada ujung.

Jangan Bikin Publik Sebagai Penonton.

Karena pada akhirnya, ini bukan soal siapa yang paling berjasa, siapa yang dulu pernah berkorban, atau siapa yang paling lantang bicaranya. Ini tentang bagaimana dua tokoh yang sama-sama pernah didukung rakyat bisa kembali duduk bersama, menyusun ulang komunikasi, dan memperbaiki mekanisme kerja sama.

Gusnar harus mulai dari sikap tenang. Bukan karena ia lemah. Tapi karena ia punya kuasa lebih besar untuk mendamaikan. Di pundaknya ada mandat untuk menjaga kesatuan, bukan memperkeruh.

Adhan pun perlu memilih kata dengan lebih hati-hati. Tidak semua luka lama harus diumbar. Tidak semua kekecewaan perlu dilontarkan di media. Terkadang, elegansi seorang politisi justru terlihat dari kemampuannya menyimpan luka dan menyelesaikannya dalam ruang privasi, bukan malah diumbar di ruang publik.

Toh pada akhirnya, rakyat Gorontalo tidak peduli siapa yang paling merasa benar. Mereka hanya ingin hidup tenang. Mereka ingin bantuan pendidikan lancar, layanan kesehatan tidak dipolitisasi, dan proyek infrastruktur tidak dipermainkan karena konflik elite.

Dan jika dua pemimpin daerah tak sanggup menyisihkan ego mereka demi kepentingan masyarakat, maka publik punya hak untuk kecewa. Bahkan punya hak untuk tidak memilih mereka lagi dalam kontestasi politik apapun.

Jadi mari berhenti saling sindir. Mulailah dengan saling bicara. Jangan sampai slogan “veteran politik” yang disematkan publik kepada keduanya justru malah menunjukan betapa Gusnar pun Dambea sebenarnya hanyalah “kopral” yang tidak menuntaskan misi di Medan perang masing-masing.

Boleh bagitu? Ada cirita ini.

FYI: Foto ini diabadikan dalam dua momentum yang berbeda. Dan bagi saya, keduanya adalah panutan. 🙏

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup