Politik Baru Prabowo: Nasionalisme Sunyi, Rekonsiliasi, dan Arsitektur Kekuasaan
Oleh: Dr. Funco Tanipu., ST., M.A (Sosiolog, sedang melakukan riset genealogi Prabowo Subianto)
Langkah Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi terhadap Thomas Lembong bukan sekadar tindakan hukum atau gestur normatif. Ia adalah isyarat kekuasaan. Bukan dalam bentuk gertakan, melainkan dalam pola konsolidasi senyap: menyatukan elite, menata ulang peran, dan mempersempit oposisi dengan tangan dingin. Kekuasaan ini tidak dibangun dengan sorak, tapi dengan kontrol. Bukan teatrikal, melainkan struktural.
Prabowo tidak sedang membentuk kabinet, ia sedang mendesain sistem. Sebuah arsitektur politik baru di mana rekonsiliasi dan konsolidasi berjalan bersamaan, tetapi tidak setara. Rekonsiliasi membuka pintu, konsolidasi menutup kunci.
Dari Eksil ke Nilai-Nilai yang Membentuk Sistem
Prabowo bukan pemimpin yang lahir dari forum elite atau diskursus kampus. Ia dibentuk oleh eksil politik. Ketika Soemitro, ayahnya, diasingkan dari Indonesia akibat konfrontasi politik era 1950-an, Prabowo menghabiskan masa remaja di luar negeri, berpindah dari Singapura, Hongkong, Malaysia, Swiss hingga ke London. Dalam pengasingan itulah karakter dibentuk—bukan dengan kemewahan diaspora, tapi dengan keterasingan dan latihan kendali.
Dalam Reflections on Exile, Edward Said menulis bahwa eksil bukan sekadar keterpencilan geografis, melainkan ruang kontemplatif di mana nilai menjadi satu-satunya harta yang bisa dipertahankan. Eksil, bagi Said, adalah titik di mana ideologi diuji oleh jarak dan waktu. Bagi Prabowo, eksil menjadi tempat menempa disiplin, bukan tempat menyusun dendam.
Ibunya, Dora Sigar, menjalankan fungsi negara kecil di rumah. Ia tidak punya jabatan, tapi punya otoritas moral. Dalam sunyi pengasingan, ia mendidik anak-anaknya bukan dengan pidato, tetapi dengan keteraturan harian: membaca sejarah, menghormati waktu, dan menjaga kehormatan keluarga. Semua itu membentuk apa yang disebut Anthony D. Smith sebagai etno-symbolic nationalism: nasionalisme yang diwariskan bukan lewat ideologi negara, tetapi melalui keluarga, nilai, dan memori turun-temurun.
Apa yang tampak hari ini sebagai disiplin struktural dalam politik Prabowo, sejatinya bukan strategi baru. Ia adalah manifestasi dari tradisi panjang dalam keluarganya Raden Tumenggung Kertanegara IV atau Banyakwide (buyut dari jalur ayah) adalah priyayi Banyumas yang mendukung Diponegoro dalam sunyi hingga diasingkan ke Maluku. Benjamin Sigar (leluhur dari ibu) adalah pasukan Tulungan dari Minahasa yang menjaga keteraturan sipil; Margono mendirikan Bank Negara Indonesia dengan pendekatan teknokratik yang tidak populis; dan Soemitro Djoyohadikusumo yang dijatuhkan rezim tapi tak pernah menyerah dalam pikiran.
Dalam semua figur itu, nasionalisme tidak ditampilkan sebagai agitasi, tetapi sebagai laku harian. Dan Prabowo mewarisi semua itu. Ia menyusun kekuasaan sebagaimana leluhurnya menyusun hidup: dengan sabar, dengan kendali, dan dengan kesadaran bahwa keberlanjutan memerlukan struktur, bukan sensasi.
Rekonsiliasi sebagai Strategi, Konsolidasi sebagai Sistem
Rekonsiliasi elite yang dilakukan Prabowo hari ini, baik terhadap PDIP melalui amnesti Hasto, maupun terhadap bekas rival seperti Thomas Lembong, tidak datang dari kehendak hati yang lembut. Ia adalah saringan politik: siapa yang masuk, harus menyesuaikan diri. Siapa yang bertahan, harus patuh pada sistem baru.
Dalam pendekatan Homi K. Bhabha, sistem ini adalah ekspresi dari identitas politik yang tumbuh di antara: tidak sepenuhnya negara teknokratik, tidak pula kekuasaan militeristik. Ia adalah struktur yang dibentuk oleh pengalaman ambiguitas identitas—seperti masa kecil Prabowo, yang tidak sepenuhnya berada di dalam ataupun di luar sistem. Ini menciptakan sistem kekuasaan yang tertutup, rapi, dan fungsional, tetapi bukan tanpa risiko.
Di balik rekonsiliasi itu, Prabowo tengah melakukan konsolidasi menyeluruh. Partai bukan lagi kanal perbedaan, tapi sayap operasional kekuasaan. Koalisi bukan zona negosiasi, tapi jaringan loyalitas. Dalam sistem ini, figur seperti Jokowi belum tentu akan dominan lagi, ia akan diposisikan sebagai kanal transisi. Demikian pula seperti tokoh-tokoh lawas bisa masuk kembali, asal bersedia menyesuaikan dalam format politik baru yakni politik kekuasaan yang memeluk sekaligus menyaring.
Namun ketika semua elite sudah diajak masuk, siapa yang akan berdiri di luar untuk mengingatkan? Ketika oposisi direkonsiliasi, adakah lagi ruang representasi?
Setelah Rekonsiliasi, Apa yang Tersisa?
Politik Prabowo adalah politik hasil pembentukan historis. Ia tidak dibangun di panggung debat, melainkan di ruang keluarga, dalam eksil, dan dalam perjalanan panjang mencari kembali tempat di republik. Tapi justru karena itu, politik ini sangat terstruktur, tetapi juga sangat personal.
Ia bisa membawa stabilitas. Tapi jika semua suara dikonsolidasikan, suara rakyat bisa kehilangan ruang. Sejarah Prabowo adalah sejarah ketabahan, keterasingan, dan pengendalian diri. Tapi sejarah rakyat adalah sejarah pengharapan dan partisipasi.
Prabowo bisa saja berhasil membangun ruang pulang untuk dirinya, keluarganya, dan elite politik. Pertanyaannya kini: bisakah ia membangun ruang pulang untuk rakyat?