Pongawata; Kamu Nggak Sopan Kamu Jadi Tumbal

Ilustrasi/Momy Hunowu

Aliran sungai di Gorontalo baru saja menelan korban. Air mata kaum kerabat para korban belum juga mengering. Kejadian tragis itu hanya berselang sehari. Seperti hari yang keramat. Salsabilah, gadis berusia 17 tahun, terjatuh ke sungai pada dini hari Senin (14/4). Lalu pada keesokan harinya, Selasa (15/4), tiga mahasiswa KKN UNG; Magfirah, Regina dan Alfateha tutup usia ketika hendak menyeberang sungai bersama tujuh rekan lainnya yang beruntung selamat.

Kematian empat remaja yang semuanya di area sungai dan berjenis kelamin perempuan itu mengundang teka-teki. Banyak spekulasi yang muncul, bukan hanya dari mulut ke mulut tetapi juga ramai di kolom komentar berbagai postingan di media sosial. Meski faktor kelalaian dan kecelakaan sebagai penyebab utamanya, tetapi tak sedikit yang menghubung-hubungkannya dengan dunia mistis.

Dugaan bernuansa mistis ini sontak mengingatkan pada penelitian Disertasi yang penulis lakukan empat tahun silam. Temanya ngeri-ngeri sedap. “Dayango”. Tak hanya sebuah tarian tradisional, tetapi berhubungan erat dengan entitas ghaib; lati-latiyalo (berbagai jenis makhluk halus).

Lati-Latiyalo di Sekitar Kita

Makhluk halus (lati-latiyalo) memiliki struktur dan wilayah kekuasaan. Presidennya adalah ibilisi (tayinggiluwa lo Eya), lalu ada tapitulota (tujuh lati) sebagai menteri dan di empat penjuru mata angin (talumbiyatiyo wopato) sebagai kepala daerah yang membawahi tatohuludiyo wopato (penunggu empat puncak gunung), tatohiyaliyo wopato (penunggu empat lembah) dan tatodatahiyo (penunggu dataran), dan seterusnya hingga semak-semak dan loteng rumah.

Singkatnya, semua sisi dan pojok-pojok alam ada penunggu, lengkap dengan namanya. Demikian halnya semua pojok dan ruang rumah. Mulai dari atap, loteng, dapur, kamar tidur, kamar mandi dan ruang tamu, ditinggali lati yang namanya sangat populer, “wawalo”.

Dalam buku The Religion of Java” (1960), Clifford Geertz membagi makhluk halus dalam 4 kategori; roh leluhur, roh-roh tempat, setan dan jin, roh rakyat (tuyul, genderuwo, kuntilanak, dll). Apapun nama dan kategorinya, mereka semua diciptakan Tuhan untuk mengganggu umat manusia. “…aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka…” (QS.7;17).

Seperti entitas manusia, karakter lati ada yang ramah, angkuh, banyak pula yang bengis. Ada yang mau disogok, ada pula yang tak main-main alias tegas dan mematikan secara mendadak. Mereka bertindak tergantung tindak tanduk manusia. Gangguannya bisa dalam bentuk sakit perut (yilanggu), muntah darah (pedi), penyakit aneh yang tak bisa disembuhkan secara medis (bilao) dan dicelakakan (ilawato). Mereka juga mengganggu ternak serta menyerang tanaman (jagung dan padi) dalam bentuk hama ulat, belalang, dll.

Gangguan paling ringan adalah yilanggu yang pelopori oleh lati semak-semak (roh rakyat). Yang berbahaya adalah gangguan lati yang punya jabatan tinggi. Mereka mengganggu bukan tanpa sebab. Siapa melanggar, dia jadi tumbal. Ketika gangguan lati-latiyalo semakin massif, seorang wombuwa segera menggelar dayango sebagai media untuk berkompromi. “Ini bagian kamu, jangan ganggu kami”. Hanya kompromi, tak ada unsur penyembahan di sini. Ujar Wombuwa.

Disediakanlah berbagai macam sesajen (mopoa huta) atas permintaan lati penguasa. Ritual mopoa huta semacam open house para lati-latiyalo. Makan-makan (hantalo), musik-musik (towohu), joget-joget (dayango), nyanyi-nyanyi (wumbungo), semalam suntuk. Ketika ada lati yang menyendiri atau tidak ikut berpesta, serta merta akan dimaki dan dihajar oleh tuan rumah (wombuwa).

Lebih tragis lagi, lati yang bandel dan suka usil, tak segan-segan disembelih di atas puo (kayu-kayu yang mengalir bersama-sama dengan air bah). Kenapa disembelih di atas puo? Puo semacam arena bermain yang paling menyenangkan lati-latiyalo. Sambil mereka berselancar, tak segan-segan mengganggu siapa saja yang dilewatinya di area sungai. Jangan-jangan…. Ngeri bukan?

Beberapa Kejadian Tragis

Banyak cerita masa lalu yang menggambarkan, betapa manusia yang tidak tahu sopan santun, tanpa permisi dan melanggar norma (SOP lati) pada akhirnya menjadi tumbal.

Sekitar tahun 1980. Seorang warga dinyatakan hilang di sekitar danau Limboto. Pakaiannya tergelantung pada tiang pagar kebunnya, tetapi batang hidungnya yang pesek itu, sudah berhari-hari tak kunjung kelihatan. Upaya pencarian sudah dilakukan secara sukarela oleh warga namun tak membuahkan hasil.

Tersebutlah mendiang wombuwa di desa Hutadaa. Dia didatangi warga untuk dimintai bantuan. Segera lelaki berperawakan tinggi kurus itu mengerahkan pengetahuan mistisnya. Dia tak butuh anjing pelacak sebagaimana polisi. Juga tak butuh spotlight, GPS, apalagi perahu karet sebagaimana Basarnas. Cukup dengan merem sebentar sambil komat kamit. Tak butuh berjam-jam, apalagi berhari-hari, dia dapat memastikan secara akurat posisi korban. Bahwa sang korban berada tak jauh dari pesisir danau dan masih bisa diselamatkan.

Benar juga, orang itu ditunjukkannya terbenam di lumpur tak jauh dari pakaiannya yang tergelantung. Meski nampak bergerak-gerak, kondisinya sudah sangat lemah, suaranya parau dan hanya kepalanya yang kelihatan. “Setengah jam saja tak ditemukan, orang ini sudah mati terbenam”. Ujar wombuwa dengan mata menyorot. “Orang ini diganggu lati lo bulalo karena melanggar pantangan”. Ucapnya sambil berlalu.

Pada tahun yang sama, hilangnya pencari ikan di sungai Molalahu menghebohkan warga. Menjelang siang, dua lelaki itu pergi memanah ikan. Salah seorang sudah sekian lama menyelam di kedalaman sungai (lilo) tetapi tak balik-balik. Biasanya dia segera mengapung dan segera menunjukkan ikan panahannya yang menggelepar. Suara rekannya yang memanggil-manggil tak ada sahutan. Dengan wajah pucat, dia bergegas dan melaporkannya kepada warga.

Seketika area sungai itu ramai. Jasadnya tak ditemukan padahal air tak mengalir deras. “Ilawato lati”, begitu sebutan warga kepada seseorang yang jadi tumbal lantaran lupa menyapa atau tak meminta ijin penunggu sungai. Korban yang disembunyikan lati itu akhirnya meregang nyawa. Itu sebab, proses pencarian harus dibantu orang pintar (wombuwa). Dalam hitungan detik, jasad lelaki paruh baya itu terapung. Serta merta disambut isak tangis kerabatnya yang hadir.

Kisah lainnya. Kematian seorang anak gadis yang sedang mencuci dan mandi di sungai. Pergi ke sungai dalam keadaan segar bugar, pulang telah menjadi mayat. Kejadian itu sekitar 30 tahun yang lalu, di desa Tualango, tak jauh dari jembatan Potanga.

Ayah sang korban, seorang PNS yang bertugas di kantor Wali Kota, saat itu kaget setelah diberitahu kerabatnya. Dia tak percaya anak gadisnya tewas. Ketika dia pamitan pergi, gadis itu mencium tangannya dalam keadaan ceria. Berdasarkan pengakuan warga. Gadis itu mengurai rambutnya setelah mandi. Kebetulan penunggu sungai yang terkenal sadis lewat. Namanya “ti wontuwo daa” (yang bertudung besar). Tak segan-segan dia melibas warga yang melanggar SOP di daerah kekuasannya. Jangan-jangan…. Ngeri bukan?

Kejadian berulang di sungai Molalahu kecamatan Pulubala. Sekitar 40-50 tahun yang lalu. Lati penunggu sungai diakui warga tidak montelorir perbuatan dan aktivitas tertentu di sungai. Apalagi dilakukan oleh perempuan berkulit putih mulus dan berparas cantik. Beberapa pantangan yang langsung menerima imbalan tunai di area sungai adalah; berpakaian merah, mandi di sore hari ketika hujan rintik, berteriak atau tertawa cekikikan dan yang fatal adalah mandi haid dan mengurai rambut panjang yang basah usai mandi.

Tak perlu menunggu lama, sang pelanggar pantangan seketika mengalami kejang-kejang (he tahio liyo), mata melotot (mopotilupo mato) dan mulut berbusa (yilumolombula). Pertolongan pertama yang dapat dilakukan adalah dengan memukul-mukulkan daun pohon jarak (dungo bintalo) dengan bacaan mantra tertentu. Jika tidak, nyawanya tak akan tertolong.

Betapa tegas dan sadisnya dunia mistis yaa. Andai proyek-proyek berskala besar seperti proyek strategis nasional hingga proyek kecil semisal pengerasan jalan turut diawasi oleh lati-latiyalo, mungkin saja tak ada yang berani korupsi. Siapa tak permisi, dia akan kejang-kejang, siapa mengambil diam-diam, dia mati mendadak.

Harus Bersopan Santu

Beberapa spot sungai, danau dan laut diyakini warga sebagai tempat angker yang memiliki penunggunya masing-masing- sebagaimana pantai selatan Jawa yang dihuni Nyi Roro Kidul. Oleh warga setempat, kawasan tertentu yang ada latinya dinamakan “pongawata”. Meski tidak terlihat secara kasat mata, vibesnya sangat terasa. Sang lati harus disapa warga ketika melewati tempat angker itu. Sapaannya adalah “bowombu amyitayia” (kami adalah cucumu). Jika tidak, akan ada keranjang yang mengejar, atau penampakan monyet melompat-lompat. Itu tak seberapa, ada yang diseret dan terjatuh.

Selain memberi sapaan, ada pula lati yang harus diberi sesajen sederhana, berupa segulung rokok dan tembakau. Walhasil, sang penunggu merasa dihargai dan dijamin tak akan mengganggu. Entah apa alasannya, penunggu lebih suka mengganggu kaum hawa. Mungkin roh lelaki jomblo yang mati bunuh diri lantaran cintanya ditolak para gadis idamannya.

Bersikap santun adalah pelajaran penting dari interaksi dengan lati-latiyalo. Itulah kenapa, Satu hal menarik, ketika penulis wawancara dengan para wombuwa. Mereka pada umumnya sangat sopan, pilihan kata-katanya sangat halus dan menyejukkan. Mungkin lantaran mereka telah terbiasa berinteraksi dengan lati. Salah ucap, ada ngana punya.

Ternyata, belajar dari alam lebih berkesan, dibandingkan belajar di sekolah formal. Gelar dan ijazah asli bersusun rapi tetapi janji dan ucapannya kadang menyesakkan dada (omon-omon). Apalagi mereka yang sengaja menggunakan ijazah palsu. Dampak sesak atas ucapan dan janjinya berpuluh tahun diderita.

Gegara ijazah palsu, hampir lupa menutup tulisan ini. Apakah kematian empat gadis remaja di dua sungai itu erat hubungannya dengan keyakinan masa lalu warga Gorontalo? Walahu a’lam bi sawab.

Oleh : Dr. Momy Hunowu(Dosen Sosiologi Agama IAIN Sultan Amai Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup