PRAHARA REPUBLIK MERAH PUTIH (Fakta dan Imajinasi di Jantung Negeri)
Oleh : Ustad Asrul G.H. Lasapa (Da’i dan Pemerhati Sosial Keagamaan)
Suasana semakin genting. Pergerakan massa sudah tidak terkendali. Teriakan demi teriakan menggelinding hingga ke petala langit. Suara dentuman benda keras menghantam genteng dan kaca bangunan megah seakan berlomba dengan suara letusan senjata aparat keamanan.
Kobaran api semakin membara. Gumpalan asap hitam membumbung pekat ke angkasa Republik tercinta. Ada yang merintih kesakitan dan ada pula yang terkapar meregang nyawa. Pekikan, jeritan dan tangisan berpadu dalam gemuruh sorak-sorai perlawanan dan kemarahan yang memuncak.
Rumah orang-orang terhormat didobrak, isinya diobrak-abrik, dihancurkan, dijarah dan dibawa pulang. Keamanan benar-benar lumpuh total. Aparat terjebak dalam dilema. Antara mengendalikan situasi dan mengamankan diri sendiri.
Massa beringas terus melampiaskan gejolak dendam emosi pada apa saja dan siapa saja yang dianggap musuh penderitaan dan ketidakadilan. Amukan massa bagai gelombang tsunami yang melumatkan tembok-tembok perkasa yang selama ini terjaga dalam kehormatan dan kemahsyuran.
Bumi bergetar, Nusantara berguncang. Merah putih yang baru saja berkibar di angka delapan puluh terhentak diterpa badai prahara. Merah Putih lambang keberanian dan kesucian. Hari ini, dua warnanya tak lagi serasi. Warna merahnya terlihat lebih terang dibandingkan dengan warna putihnya. Massa benar-benar kehilangan kesadaran dan akal sehat akibat kemarahan dan dendam yang telah mencapai ubun-ubun kepala.
Biasanya dalam setiap momem demonstrasi, ada saja tokoh penting termasuk tokoh berpangkat dan berpengaruh tampil ke depan, berdiri di tengah kerumunan massa sambil mencoba memberi solusi dan mengendalikan situsi. Kali ini tidak ada yang berani. Mungkin tidak ada yang mau ambil risiko. Jika ada yang berani tampil, maka bersiaplah dengan konskwensinya. Dibully dan dilabeli dengan stigma kepentingan dan interest pribadi dan dipastikan analisa-analisa politik akan ramai mengikuti arus polarisasi yang dibangun media.
Tokoh agama dan pimpinan ormas yang memiliki nama besar pun hanya bisa mengeluarkan himbauan, maklumat, dan pernyataan yang diyakini bisa meneduhkan dan meredakan api kemarahan yang semakin berkobar. Tapi seberapa jauh himbauan itu berpengaruh meredam kemarahan yang telah memuncak ? Bukti di lapangan menunjukan fakta terbalik. Api bukannya padam, malah semakin membara. Nyalanya tidak hanya pada satu titik, tapi terus menjalar pada sejumlah titik lainnya. Bara api kemarahan menyeberang sungai melintasi samudera menembus pulau-pulau lain di Nusantara.
Dalam situasi yang mencekam itu, dari arah utara muncul sesosok pria tua bersorban dan berjas hitam. Sorban yang terlilit di kepalanya tidak seperti sorban ala habaib, tapi sorban khas ulama nusantara. Warna sorbannya tidak lagi terlihat putih. Demikian pula jas yang dikenakannya terlihat sangat kusam. Sarung yang dipakainya pun penuh dengan debu. Meskipun tubuh rentanya telah dimakan oleh usia, tapi karisma dan kewibawaan terpancar dari wajahnya yang bening dan bercahaya.
Diiringi oleh sekelompok orang bergamis putih bersih laksana pasukan yang turun dari langit, dia melangkah pelan menembus kerumunan massa menuju gerbang dan langsung masuk ke gedung milik orang-orang terhormat bersidang. Tanpa protokoler resmi dan tanpa dipersilahkan oleh MC, dia naik ke podium kehormatan. Semua mata memandangnya dengan penuh tanda tanya. Tidak ada suara yang terdengar. Apalagi ketukan interupsi. Semuanya tegang menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dari atas podium terdengar salam damai yang menyejukkan hati. Hampir tidak ada suara jawaban atas salam yang disampikannya. Semua diam terkesima. Tidak lama kemudian dia memulai pidatonya :
“Saudara-Saudaraku yang diberi kedudukan terhormat. Aku sengaja datang ke tempat yang juga terhormat ini, setelah sekian lama terbaring dalam dekapan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Aku datang karena tidak tahan lagi menyaksikan negeri yang kami perjuangkan dalam bait-bait doa, tetesan darah dan air mata ini tercabik-cabik oleh keinginan dan nafsu yang tidak pernah puas. Dulu kami berjuang tanpa pamrih, tanpa tunjangan dan tanpa gaji. Kami ikhlas berkorban demi bangsa yang kami cintai. Kami mengimpikan senyum bahagia anak-anak negeri. Kami berharap tidak ada lagi yang menangis, tidak ada lagi yang sengsara setelah merah putih yang menghiasi kepala dan senjata kami, berkibar dengan gagah di bumi pertiwi ini. Wahai orang-orang yang terhormat, kalian adalah penerus perjuangan kami dalam menebar kesejahteraan dan kebahagian ke seluruh penjuru negeri. Tugas kalian belum selesai. Masih banyak amanah yang belum kalian tunaikan. Cobalah pandang audut-sudut negeri dengan mata hati kalian. Turunlah ke pasar-pasar, ke sawah-sawah, ke pabrik-pabrik, dan upayakan sesekali mengayuh sampan ke tengah lautan. Untuk apa ? Agar kalian melihat langsung derasnya keringat yang mebasahi pertiwi. Agar kalian melihat langsung kulit-kulit yang legam terbakar teriknya mentari. Agar kalian menyaksikan langsung nyawa yang diayun oleh gelombang pasang samudera. Kalian bekerja di ruang tertutup dengan buaian fasilitas mewah dan menyenangkan, sedangkan mereka bekerja di alam terbuka menantang kerasnya kehidupan. Tidak banyak yang mereka minta.
Kepada kalian, mereka hanya menitipkan sebahagian air mata, sebahagian keringat dan senjumput derita yang setiap hari mereka rasakan. Titipan itu adalah amanah yang harus kalian pertanggungjawabkan di hadapan mereka, terlebih-lebih hadapan Tuhan. Aku sampaikan ini agar kalian lebih banyak bersyukur atas kelimpahan nikmat yang telah Tuhan berikan kepada kalian. Demi Allah, Aku menyayangi kalian. Memang tidak ada manusia sempurna. Tidak ada manusia yang tidak khilaf. Aku yakin kalian adalah orang baik. Maka mulai hari ini, buktikan kepada bangsa bahwa kalian benar-benar orang baik. Ketahuilah bahwa Tuhan akan selalu bersama orang-orang yang baik”
Ruang sidang yang tadinya hening berubah menjadi konser isak tangis. Tiba-tiba seperti dikomando, terdengar suara bergemuruh : “Maafkan kami Yayi, Maafkan kami Yayi. maafkan, maafkan, maafkan !!! Kami berjanji akan menjadi abdi negara yang baik”
“Jangan minta maaf kepadaku. Minta maaflah kepada bangsa ini. Kalian telah menyakitinya”.
Tanpa pamit, sosok berkarisma dan berwibawa yang ternyata Kiyai pejuang dan pendiri Republik ini perlahan meninggalkan ruang sidang. Selanjutnya dia mendatangi kerumunan massa yang masih bergolak. Setelah berdiri di tempat yang tinggi, dia berteriak dengan lantang : “Berhenti !” Suaranya menggelegar laksana halilintar. Mengema ke segala lenjuru mata angin. Hanya dengan sekali teriakan, aksi anarki massa sontak berhenti. Massa diam terpaku seakan terhipnotis”.
“Dengarkan wahai kalian anak-anaku semuanya ! Kalian adalah generasi terbaik bangsa ini. Kalian adalah pemimpin dan pemilik masa depan Republik ini. Aku tahu niat kalian baik. Menjaga dan mengawal Republik tercinta ini. Kalian adalah pejuang keadilan. Kalian tidak ingin Republik ini dikotori oleh keserakahan dan kezaliman. Oleh sebab itu, kalian turun ke jalan meluruskan ketimpangan bernegara, memperjuangkan aspirasi kaum lemah yang terpasung oleh kekuasaan”.
“Dengarkan wahai anak-anakku ! Andaikan Aku bisa hidup bersama kalian, andaikan aku bukan milik masa lalu, maka Aku akan berada di depan memimpin kalian memperjuangkan kebenaran demi tegaknya keadilan. Hari ini, Aku sangat sedih. Aku menangis melihat anak-anak yang Aku sayangi, anak-anak yang terdidik dan terpuji, mencabik-cabik negerinya sendiri”.
“Kalian memang memerangi kezaliman. Tapi kalian memeranginya dengan kezaliman yang baru. Tuhan tidak pernah meridhai kebenaran dicampur aduk dengan kebatilan. Tuhan tidak pernah menyuruh kita beramar ma’ruf nahi munkar dengan merusak dan menjarah. Tahukah kalian bahwa benda dan gedung yang kalian rusak itu bertasbih kepada Penciptanya ? Tahukah kalian bahwa gedung yang kalian bumi hanguskan itu adalah milik umat ? Anak-anakku, Tuhan melarang kita berbuat kerusakan di alam semata ini setelah Dia memperbaikinya. Tuhan juga sangat membenci orang-orang yang berbuat kerusakan”.
“Anak-anakku, air mata ini semakin deras mengalir melihat kalian bukan hanya merusak, tapi juga telah menjarah harta orang-orang yang telah kalian anggap sebagai musuh keadilan. Aku tahu kalian akan berkata bahwa yang kami jarah adalah hak kami yang mereka rampok. Kami hanya mengambil hak kami. Jika itu benar, bagaimana kebenaran itu bisa kalian pertanggungjawabkan ? Bagaimana kalian membuktikan kebenaran itu hanya dengan mata telanjang ?”
“Ketahuilah wahai anak-anakku aekalian, bisa jadi sebagian besar atau bahkan keseluruhan harta yang mereka miliki adalah harta halal, yang diperoleh dari hasil keringat dan jerih payah selama bertahun-tahun. Bisa jadi harta yang mereka dapatkan adalah harta yang mereka usahakan sebelum mereka menempati kedudukan terhormat. Bisa jadi sebelumnya mereka menjual jasa dan menggadaikan profesi untuk membahagiakan istri dan anak-anak yang mereka cintai. Sekarang harta itu telah kalian jarah”.
“Jika kemudian ternyata harta yang mereka miliki didapatkan dari jalan keserakahan, kalian juga tidak berhak mengambilnya. Karena yang berhak mengambilnya hanya negara”.
“Anak-Anakku tercinta, Aku tahu kalian adalah cendekiawan terpelajar yang turun ke jalan mengawal peradaban. Semoga para penjarah itu bukan dari kelompok kalian. Demi Allah, Aku sangat mencintai kalian semua. Aku hanya tidak ingin negara yang kami dirikan dan tanah tempat jasad kami dikebumikan terjerembab ke dalam jurang pertikaian, perpecahan dan kehancuran”
Sesaat kemudian, Sang Kiyai berwibawa itu mengangkat tangannya seraya berdoa : “Wahai Yang Maha Menjaga… Kami dulu berjuang mendirikan negeri ini atas nama-Mu. Kemerdekaan negeri ini juga atas berkah dan rahmat-Mu. Maka dengarkan wahai Tuhan, hari ini, Aku titipkan Republik ini kepada-Mu”.
Setelah berdoa, Sang Kiyai berjalan tenang meninggalkan massa yang masih terpaku.
Saat berpapasan dengan satu peleton polisi, dia berkata : “Aku tahu kalian berada dalam dilema. Tapi menjaga kestabilan negara adalah tugas utama. Tetaplah berada di tengah. Mengayomi sekaligus melindungi. Jangan memihak. Karena keberpihakan adalah ketidakadilan. Selama kalian istiqamah dalam menjaga bangsa, doaku bersama kalian”
Kemudian dia melangkah pergi. Dari bibirnya terdengar sayup-sayup istighfar dalam butiran-butiran tasbih : “Ampuni Aku Tuhan…. Ampuni para penyelenggara negara ini, ampuni anak-anak bangsa ini, ampuni seluruh penduduk di negeri tercinta ini !”
Bersamaan dengan kepergian Sang Kiyai, massa aksi perlahan membubarkan diri.
#Damai Negeriku
Gorontalo, 31 Agustus 202