PSU dan Potret Pemetaan Elektoral, Tanggapan untuk tulisan Funco Tanipu  

Eka Putra B. Santoso - (Dosen Politik IAIN Sultan Amai Gorontalo)

Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada di Kabupaten Gorontalo Utara telah dilaksanakan pada 19 April 2025. Hasilnya, untuk perolehan sementara menempatkan pasangan nomor urut dua Thariq Modanggu dan Nurjanah Hasan memimpin dengan 37.743 suara (51, 58 %), sementara pasangan nomor urut 1,  Roni Imran dan Ramdhan Mapaley ada di posisi dua dengan suara 35,004  (47,84 %),dan pada posisi 3 pasangan Muhammad Sidiq Nur dan Muhsin Badar dengan suara 427 ( 0,58%).

Hasil sementara ini, berbanding terbalik dengan perolehan suara Putaran pertama yang menempatkan pasangan Nomor urut satu Roni-Ramdan pada posisi pertama dengan jumlah suara 41,842, kedua pasangan Thariq-Nurjanah dengan 29,283 suara dan  pasangan Ridwan-Muchsin pada posisi ketiga dengan suara 5.104 suara.

Perputaran yang signifikan ini, menarik untuk ditelusuri dengan melihat ulasan Funco Tanipu yang memetakan suara elektoral pada PSU kali ini. Analisa itu beliau ungkap dari tiga konklusi , pertama fluktuasi suara elit, kedua, perilaku pemilih dan yang ketiga strategi pasangan calon untuk bisa memenangkan kontestasi elektoral.

Tulisan ini adalah respon untuk beberapa konklusi yang beliau urai, terutama tentang fluktuasi suara elit dan pembacaan kritis tentang perilaku pemilih yang cenderung asimetris.

Pemetaan Elektoral

Dalam tulisannya yang berjudul “Siapa yang berpeluang Menangkan PSU Gorut” Funco awalnya membawa perbandingan suara Pilkada 2018 dan 2024, khususnya pasangan Indra Yasin- Thariq Modanggu yang pada saat itu unggul dengan perolehan 31.446 suara , disusul dengan pasangan  Roni Imran- Ismail Pattamani dengan jumlah 23,196 suara. Sementara pasangan lainnya yakni Thomas Mopili dan Suhela meraih 17.332 suara.

Data tersebut diambil beliau untuk melihat fluktuasi suara Roni Imran yang meningkat dan Thariq Modanggu yang turun pada Pilkada November 2024. Menurutnya, keuntungan posisi Thariq saat itu oleh karena dia berpasangan dengan Indra Yasin yang notabene adalah petahana. Sementara pada 2024 kemarin penurunan suara beliau disebabkan ketidakpuasan publik atas kepemimpinannya yang dianggap tidak linier dengan harapan Gorut untuk menjadi lebih baik. Sebaliknya, Roni Imran yang pada putaran pertama mendapatkan surplus suara yang tinggi melebihi Pilkada 2018 karena tagline “kase bae Gorut” seakan menjadi antitesa dari posisi kepemimpinan Thariq.

Menurut saya ada dua rangkaian data yang ingin saya ungkap dari tesis tersebut. Yang pertama, pada tahun 2018 seingat saya, sosok Thariq Modanggu adalah elit yang menjadi kunci kemenangan diantara dua kutub petahana. Thariq secara implisit ada di posisi tawar yang sangat seksi secara elektoral, yakni diantara Indra Yasin sebagai Bupati dan Roni Imran sebagai Wakil Bupati.  Jadi bukan karena faktor petahana, namun karena dukungan elektabilitas Thariq yang menjadi kunci. Jikalau kita tarik lebih jauh dari mana asal elektabilitas itu, ingatan sejarah kita akan dimulai dari sosok Thariq sebagai salah satu deklarator pembentukan Gorut, juga beberapa kali mengikuti kontestasi elektoral.

Yang kedua, menurut saya tesis  Funco  seakan menggambarkan sebagian besar perilaku pemilih Gorontalo Utara sangat rasional sehingga menempatkan rekam jejak kepemimpinan  sebagai variabel naik turunnya perolehan suara.  Tesis itu tentu terbantahkan dengan perolehan hasil PSU Gorontalo Utara yang justru membalikkan keadaan dengan persentase selisih 4%.  Sekiranya , jika pemilih Gorontalo Utara tergolong rasional, pergeseran hasil dari pertarungan akan relatife stabil , atau paling tidak bergeser beberapa persen , namun tidak merubah formasi puncak. “Apalagi dari analisanya bergeser hanya dalam satu malam”

Melihat hal ini  di berbagai kesempatan saya telah banyak menuliskan tipologi pemilih yang dibagi menjadi tiga kategori ( Muhtadi 2018). Yang pertama, pemilih rasional.  Kecenderungan pemilih ini tergolong ada pada kelas menengah terdidik, mereka memilih dengan mengedepankan program kerja, termasuk membandingkan rekam jejak antar pasangan calon. Yang kedua, pemilih psikologis. Cara kerja model pemilih seperti ini adalah, pemilih merasa punya kedekatan ideologis dengan partai pendukung, mereka  biasanya anggota partai atau tim sukses pasangan calon. ketiga, adalah pemilih dengan basis pragmatisme, model pemilih semacam ini menghambakan diri pada kekuatan uang (vote buying)

Referensi ini menggolongkan tidak signifikannya pemilih yang punya kutub rasionalitas juga  ideologis/psikologis dalam pertarungan elektoral di Gorontalo Utara. Perpindahan dukungan yang melebihi batas pada pilkada November 2024 menjadi tanda bahwa kecenderungan  faktor modal yang diduga dimainkan oleh praktek klientelisme menjadi salah satu faktor dan punya signifikansi yang tinggi dalam hal pergeseran suara. Tak hanya itu, saya kira pada 27 November dominasi modal juga menjadi faktor penting. “sekali lagi ini hanya asumsi dan dugaan, bisa benar juga bisa salah”, namun saya kira  trend Pilkada di Indonesia telah dirasuki dengan permainan modal yang tidak sedikit. Edwar Aspinal dan Ward Berenschot menuliskan kasus Indonesia yang secara telanjang kita bisa baca  pada bukunya yang berjudul “ Democracy For Sale”

Mesin Partai dan Efek Ekor Jas 

Pemungutan Suara Ulang (PSU) memang membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit. selain logistik berupa alat peraga kampanye secara umum,  yang tersulit adalah mengembalikan kepercayaan publik pada apa yang telah mereka pilih.  Logika yang paling rasional adalah menggunakan pengaruh dari anggota legislatif terpilih untuk mampu kembali turun dan berjuang sama halnya memperjuangkan diri mereka dalam perolehan kursi. Secara matematis, Nasdem yang mengusung pasangan Roni dan Ramdhan idealnya paling diunggulkan, mereka punya resources sekitar tujuh kursi dengan akumulasi suara 13.836. ditambah partai pendukung lainnya seperti Hanura yang punya modal enam kursi dengan suara  6.240, PKS dua kursi dengan suara 1.659 suara. Gerindra satu kursi dengan suara 1.367. dan Partai pendukung lainnya adalah PPP dan PKB dengan jalur non-parlemen. Proporsionalitas dari dukungan partai ini searah dengan pembagian wilayah pemilih Gorontalo Utara. Nasdem punya basis suara di enam dapil yang terbagi mulai dari  Kec. Kwandang,  Ponelo Kepulauan dan Tomilito, Gentuma Raya dan Atinggola, Tolinggula dan Biau, Sumalata dan Sumalata Timur , dan yang terakhir Kec. Anggrek dan Monano.  Sama halnya dengan PDIP yang mengusung Muh. Sidiq Nur -Muchsin Badar walaupun perolehannya hanya 9.099 akumulasi suara.

Sementara di urutan terendah ada Golkar yang mengusung Thariq – Nurjanah dengan empat kursi dan jumlah akumulasi suara 6892. Pembagiannya Pun hanya di Kec Kwandang, Gentuma Raya  Atinggola , dan Sumalatan dan Sumalata Timur.

Modal ini sebenarnya cukup bergerak di putaran awal Pilkada Gorontalo Utara, Apalagi dengan adanya dukungan Rachmat Gobel dan El Nino Mohi sebagai anggota DPR RI Dapil Gorontalo, meneguhkan  diffused coattail effect “efek ekor jas”  yang signifikan pada perolehan suara pasangan Roni dan Ramdhan. Di Kubu Golkar ada Rusli Habibie yang tidak kalah memberikan efek elektoral sebagai mantan Bupati, Gubernur dua periode dan kini Legislatif senayan. Sementara pasangan yang diusung PDIP, baik itu Ridwan Yasin maupun penggantinya Muh Sidiq Nur- Muchsin Badar tidak memiliki elit utama seperti kedua kompetitornya.  Menurut saya hal ini yang membuat pasangan ini ketinggalan jauh dari dua pesaingnya, mereka tidak punya backup ekor jas  untuk bisa menopang suara yang hanya bertumpu pada modal suara di legislatif  . Coattail Effect sendiri adalah istilah dalam Ilmu Politik yang berarti mampu menumbuhkan  kekuatan positif elit utama pada partai peserta pemilu ( Mujani 2018),  hal ini bisa juga dipasangkan pada skala elektoral yang mana elit dimaksud punya pesona ketokohan dan populer juga dianggap sebagai pembawa dawuh  yang wajib diikuti oleh publik.

Namun linieritas antara panasnya mesin partai dan coattail effect pada PSU kali ini tidak mampu memberikan cara kerjanya yang signifikan. Beberapa varibel yang membuatnya lemah oleh karena sikap apatisme pemilih yang cenderung bosan dengan kontestasi yang tak kunjung berhenti. Akumulasi tersebut terlihat tidak hanya pada hasil PSU, namun juga presentasi pemilih dan variabel non partai yang diisukan datang dan membawa modal yang tidak sedikit. Pada sektor ini analisa pemetaan diatas menurut saya beririsan sangat tipis karena klientelisme yang memainkan peranannya di tengah arus pragmatisme pemilih.

Kesimpulan

PSU telah selesai, hasil sementara dipastikan akan bertahan hinggap KPU mengumumkan rekapitulasinya secara resmi. Pastinya dinamika yang terjadi memperlihatkan signifikansi perubahan pertarungan politik yang awalnya linier menjadi non linier. Fakta ini diduga karena variabel modal yang masif mengubah arah pemilih dan mengambil peran kebosanan politik yang terjadi. Dalam studi tentang pengaruh politik uang yang dirilis Saiful Mujani pada Desember 2023, Pemilih secara umum punya rasa toleransi pada peranan politik uang, terutama pada pola vote buying (jual beli suara). Presentasinya pun lumayan besar pada skala 26% untuk kemungkinan pemilih menggunakan uang untuk menjatuhkan pilihan. Untuk aspek kewilayahan pemilih di desa lebih rentan menjadi korban politik uang dibandingkan dikota, referensi ini beriringan dengan aspek ekonomi hingga pendidikan yang tergolong rendah.

“well mari kita tunggu babak berikutnya apakah pasangan Roni – Ramadhan akan menggunakan isu variabel politik uang ini untuk gugatannya di MK, ” let’s do it again

Oleh : Eka Putra B. Santoso – (Dosen Politik IAIN Sultan Amai Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup