Puasa di Gorontalo; dari “Huwi lo Yimelu” hingga “Mobuka Mohulonu”

Ilustrasi/bakukabar.id/reza

Sejak dahulu, bulan suci selalu disambut masyarakat Gorontalo dengan penuh kesungguhan dan perhatian terhadap kebersihan. Kebersihan badan dan pakaian menjadi prioritas utama. Di zaman sebelum shampo dan pewangi masuk kampung, masyarakat secara kultural menciptakan produk dari bahan-bahan alami yang tersedia di alam sekitar. Sebut saja ‘bongo yiladu’ dan ‘ilanggilo’.

Rambut berketombe dan berkutu, dikeramas dengan “bongo yiladu”. Pakaian bersih pengap direndam dengan “ilanggilo”. Apa itu bongo yiladu? Apa olo itu ilanggilo? Keduanya telah terkubur zaman. Penulis pun baru tahu semalam, bertanya dan beroleh jawaban dari pensiunan guru agama di kampung.

Bongo Yiladu dan Ilanggilo

Menurut penuturan ibu Diana, “bongo yiladu dan ilanggilo” adalah racikan daun-daun wewangian, dibakar dan direbus agar wanginya keluar. Bahan-bahannya adalah daun pandan (ponta), daun lemon (dungo limu monu), timbuwale monu (sereh), nilam (onumo) dan kelapa parut (bongo dilangato).

Kelapa parut hanya untuk meracik “bongo yiladu”. Dedaunan wangi dicincang-cincang. Lalu dicampur dengan kelapa parut. Setelah tercampur rata pada wadah berbahan seng, bara api dari tempurung kelapa ditaburkan di atasnya lalu ditutup rapat, agar panas dan asap menyatu dengan racikan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, bara api diperbaharui lalu ditutup kembali. Sampai racikan benar-benar matang.

Setelah itu, dijemur beberapa saat pada terik matahari. Hasilnya, shampo alami dengan wangi yang khas, siap digunakan oleh semua anggota keluarga, terutama kaum perempuan. Aroma wanginya melekat sampai beberapa hari.

Untuk meracik ilanggilo, bahan-bahannya sama, minus kelapa parut. Dedaunan wangi tak perlu dicincang. Cukup direndam dengan air lalu direbus hingga layu. Untuk memaksimalkan aroma wanginya, komposisi sereh dan nilam dilebihkan.

Setelah daun-daun benar-benar layu, pertanda bahannya siap digunakan. Semua perlengkapan sholat anggota keluarga yang sudah dicuci, direndam dengan pewangi alami. Wanginya lengket sampai berhari-hari. Tak seperti pewangi modern yang kadang wanginya hanya sehari.

Penanda Waktu Sahur dan Berbuka

Zaman dahulu, belum punya arloji, apalagi jam dinding. Penunjuk waktu utama adalah posisi matahari. Kala belum ada siaran radio dan TV, waktu makan sahur berpedoman pada kepak sayap dan kokok ayam. Unggas kampung ini berkokok bersahutan pada malam hari, sebagai penanda waktu. Kokok pertama menandakan jam 10 malam.

Sejak kokok pertama, setiap satu jam akan terdengar kepakan sayap dan kokok ayam. Pukul 03 dini hari, kepak sayap dan kokok ayam mulai ramai “tototo’a maluo” artinya kokok ayam telah ramai bersahut-sahutan, seolah tiada henti.

Kala itu belum ada pengeras suara, untuk mengeraskan suara Aba Danggu membangunkan sahur. Keriuhan makhluk kampung bersayap pada sepertiga malam, laksana malaikat yang turun ke bumi, membangunkan umat Islam yang terlelap tidur. Bangun… bangun… bangun… sahur.

Sahur pertama oleh warga Gorontalo dinamakan “huwi lo yimelu” atau “mohimelu”, artinya menyapa. Menyambut kedatangan bulan Ramadhan, yang lama dinanti. Sahur pertama diistimewakan dengan menu istimewa pula; menyembelih ayam kampung.

Dagingnya dapat dikreasi menjadi beragam kuliner. Disesuaikan dengan selera anggota keluarga; Ayam bakar iloni, rasanya nikmat tiada tandingannya. Kuah santan ayam kampung, nikmatnya tiada dua. Ayam goreng rica-rica, nikmatnya menggugah selera. Tumis ayam kampung, benar-benar tak lelah mulut mengunyah.

Hanya hari-hari pertama bulan ramadhan, ayam kampung menjadi andalan. Setelah itu leher dan pengecap menjadi jenuh. Kuliner berbahan ayam kampung tak lagi menggugah selera. Menu lain jadi penggantinya, ikan laut, telur, tahu, tempe, daging sapi, sagela, ikan putih bahkan mie rebus menjadi pilihan saat bersantap sahur.

Begitu halnya saat berbuka. Meja makan tak lagi ramai. Apa penanda waktu berbuka? Berbagai tanda alam digunakan untuk menentukan waktu berbuka; Pertama, tanda alam dari dedaunan dan bunyi jangkrik. Ada daun tertentu yang menjadi penanda waktu berbuka. Daun itu akan terlihat layu, merunduk, seperti terkantuk. Tak lama kemudian suara jangkrik menjerit. Seolah suara azan magrib berkumandang.

Kedua; ketika ayam mulai bertengger, hinggap di dahan dan ranting pohon, menjadi penanda waktu magrisb sudah masuk. Ketiga; ketika bulu roma atau bulu kuduk di lengan sudah tidak terlihat, sudah waktunya meneguk air. Keempat; cahaya di ufuk timur yang redup dan kuning kemerahan di ufuk barat.  Tanda-tanda alam ini dengan sendirinya tak lagi dipergunakan dengan kecanggihan teknologi dewasa ini.

Mobuka Mohulonu

Zaman dulu, ketika para ustadz belum lahir. Orang-orang tua (mongo panggola mulolo) menciptakan fatwa. Hari ke 30 Ramadhan tanpa sahur. Besoknya berbuka puasa sebelum azan zuhur. Betapa riangnya anak-anak, tak dibangunkan sahur, tiba-tiba disuguhi nasi kuning dan ayam goreng untuk berbuka.

Alasan leluhur berbuka puasa siang hari, masuk akal secara logika; “matotombitanga hulalo; Ramadhani ngopita, Syawali ngopita”. Artinya bulan sudah terbagi dua, sebagian masih Ramadhan, sebagian sudah masuk Syawal.

Dengan logika ini, hari ke 30 adalah hari abu-abu, terjadinya pergantian bulan, dari bulan Ramadhan ke bulan Syawal. Sejak siang hari, menurut keyakinan leluhur, telah masuk bulan Syawal sehingga haram berpuasa. Walhasil. Para ustadz sudah tumbuh besar dan menyebar. Menyebarkan dalilnya yang sangat jelas, menyempurnakan puasa 30 hari. Sampai azan magrib.

Salah satu dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim: “Apabila kalian melihatnya (hilal Ramadan), maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal bulan baru), maka berbukalah. Tetapi jika mendung (tertutup awan) maka estimasikanlah (menjadi 30 hari). Dikutip dari: islamiccenter.uad.ac.id.

Meski dalilnya sudah terang benderang, dewasa ini, masih banyak masyarakat di daerah pedesaan yang meneruskan kebiasaan leluhur, berbuka siang hari dengan nasi kuning pada hari ke 30 Ramadhan.

Saatnya Ramadhan Pergi

Rasanya baru kemarin huwi lo yimelu, mengejar ayam “sipaga dan buri” (jenis warna bulu ayam). Untuk menjamu kedatanganmu. Menyajikan menu istimewa. Lauk ayam kampung jadi unggulan. Agar sahur pertama terasa nikmat. Momen indah berkumpul semua anggota keluarga, yang selama setahun terpencar.

Rasanya baru kemarin, Aba Danggu dari toa masjid, mengajak jamaah bersih-bersih masjid. Dengan iringan lagunya Opick; “Ramadhan tiba, Ramadhan tiba, Ramadhan tiba, marhaban yaa Ramadhan, marhaban yaa Ramadhan…

Rasanya baru kemarin duet azan, untuk meyemangati jamaah yang mulai berkurang. Telah banyak yang memilih meramaikan bukber di mana-mana. Hahahihi dengan sahabat lama, hingga abai dengan sholat taraweh.

Rasanya baru kemarin sibuk menyiapkan tumbilotohe menjadi cokuwatohe, menebang dan memancangkan tiang bambu, menyambung-nyambungkan kabel dengan lampu listrik, berhari-hari, hingga puasa terpaksa batal.

Kini Sayup-sayup suara merdu Maher Zein terdengar. Melantunkan syair; “Ramadhan… Ramadhan… di hati…, Ramadhan… usah pergi…” Benar-benar mengaduk emosi, memantik kerinduan, meneteskan air mata, titik-titiknya jatuh tanpa suara.

Ramadhan harus pergi. Di tengah hiruk-pikuk dunia. Seolah Tak ada lagi yang peduli dengannya. Hanya segelintir jamaah yang masih konsisten meraih bonus 1000 bulan. Selebihnya berdesak-desakan di pasar senggol dan pusat perbelanjaan, mengejar diskon 25% beli 1. Beli 2 gratis 1.

Kilauan dunia yang nyata lebih menarik daripada kenikmatan syurga yang masih dijanjikan. Umat Islam sibuk berbelanja berbagai barang dan bahan makanan. Memegahkan diri dan rumah kediaman. Besok lusa idul fitri, mereka berpesta pora dan tertawa, riang gembira penuh riya. Mulut tiada henti mengunyah, berbagai kuliner ditelan, minuman warna warni diteguk, bergonta ganti fashion aneka mode. Seolah berbahagia dengan kepulangan Ramadhan.

Dengan wajah sedih Ramadhan berlalu, sambil berucap lirih, namun nadanya tegas dan mengkhawatirkan: “Bila aku pergi, aku pasti kembali, tapi, apakah kamu masih ada saat aku datang lagi?”

Gorontalo, 28 Ramadhan 1446 H

Dr. Momy Hunowu, M.Si – Dosen Sosiologi Agama IAIN Gorontalo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Usman Palo

    Pak Doktor…
    Waktu itu..
    Belum ada tahu dan tempe.
    Bo hele mohengu.
    😜😜😜🤣🤣😜

    Balas
Sudah ditampilkan semua
Tutup