Re-historiografi Gorontalo: Sebuah Dorongan Awal
Narasi umum sejarah Gorontalo paling tidak hanya berkutat pada tiga peristiwa pokok; kisah terbentuknya Duluwo Limo lo Pohala’a, “kepahlawanan” dalam peristiwa 23 Januari 1942, dan cerita Pembentukan Provinsi Gorontalo. Tiga peristiwa pokok ini cenderung dianggap oleh pemerintah, akademisi, maupun awam sebagai pijakan untuk membentuk pengetahuan sejarah Gorontalo. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin tiga peristiwa yang terpaut kesenjangan abad ini dapat menjelaskan perubahan dan keberlanjutan dari fenomena sosial yang dinamis di Gorontalo? Bagaimana mungkin tiga peristiwa tersebut dapat menjadi pijakan historis yang menjelaskan Gorontalo hari ini?
Saya berpendapat bahwa sejarah Gorontalo yang kita pahami hari ini adalah sejarah yang pendek, terputus, dan berserakan. Jika historiografi adalah rangkaian tulang yang menopang tubuh pengetahuan masa lalu, maka historiografi Gorontalo adalah struktur tulang tak bersendi yang dengan susah-payah membentuk tubuh sejarah lokal. Hasilnya adalah tubuh pengetahuan masa lalu yang “pincang”. Akibatnya, pembahasan mengenai sejarah Gorontalo rasanya tidak mampu bergerak ke tema dan topik-topik segar selain kisah Duluwo Limo lo Pohala’a, Peristiwa 23 Januari, dan cerita Pembentukan Provinsi Gorontalo.
Saya setuju dengan tawaran beberapa kawan, seperti usul Samsi Pomalingo (baca: https://bakukabar.id/re-historiografi-gorontalo/), bahwa kita perlu melakukan re-historiografi Gorontalo alias upaya memaknai ulang sejarah Gorontalo. Samsi dengan eksplisit menyatakan bahwa re-historiografi diperlukan untuk menangkap catatan yang lebih inklusif dan kritis. Hanya saja, pertanyaannya kemudian adalah inklusif dan kritis terhadap apa atau siapa? Betul bahwa sejarah, tidak hanya sejarah Gorontalo, seringkali ditulis sesuai dengan selera pemegang kekuasaan. Mereka menciptakan arsip—sumber utama dari yang terutama dalam penulisan sejarah, persis seperti argumen Samsi. Oleh karena itu, lanjut Samsi, diperlukan upaya upaya integrasi terhadap sumber tradisi lisan. Namun terdapat beberapa hal yang perlu diuraikan terlebih dahulu sebelum kita menyambut tawaran brilian dari Samsi.
Pertama, upaya ini akan menjadi mudah jika kita memiliki narasi sejarah berbeda antara yang resmi dan populer. Tetapi bagaimana jika kita tidak memiliki perbedaan ini sejak awal? Amatan singkat terhadap narasi sejarah di Gorontalo menunjukkan bahwa pengetahuan kita tentang masa lalu Gorontalo terakumulasi dalam satu pengetahuan yang sama. Baik warga biasa maupun elit lokal sama-sama mengacu pada dua titik utama dalam membincangkan sejarah Gorontalo; peristiwa 23 Januari 1942 dan pembentukan Provinsi Gorontalo pada tahun 2000. Beberapa akademisi menambahkan bumbu nostaljik dengan menegaskan Gorontalo sebagai sebuah komunitas adat yang tunggal, utuh, berbeda, dan—tentu saja—imajiner. Bagaimana ceritanya peristiwa-peristiwa yang terpaut kesenjangan abad ini dapat dirangkai menjadi tumpuan tubuh pengetahuan sejarah tentang Gorontalo? Tentu ini adalah persoalan epistemologis (yaitu, cara kita mengetahui sesuatu) yang pelik.
Persoalan kedua terletak pada sumber. Tak dapat disangkal bahwa sumber tertulis adalah mata-air yang memuaskan dahaga pengetahuan kesejarahan. Hingga hari ini, setidak-tidaknya menurut amatan saya, tidak pernah ada suatu kajian sejarah yang tidak mengandalkan pada sumber-sumber tertulis. Untuk memahami sejarah Asia Tenggara misalnya, kita tidak akan pernah terlepas sekurang-kurangnya dari sumber-sumber tertulis berikut; catatan para pedagang dan petualang dari Tiongkok dan India kuno, catatan para musafir dari jazirah Arab, hingga tentu saja arsip milik orang-orang Eropa.
Jikalau pun sumber-sumber lisan dimasukkan dalam suatu kajian sejarah, maka ia tidak akan mampu menopang keseluruhan kajian sejarah, seperti misalnya kita dapat amati dalam Dunia Maluku karya Leonard Andaya. Dalam hal membincangkan Gorontalo, para sejarawan juga sulit untuk menghindar dari catatan milik Eropa di akhir abad ke-19 dan pertengahan abad 20 seperti De Landschappen (1870) karya J.G.F Riedel, De-Lima Pohalaa (1931) karya B.J. Haga, dan Het Volk van Gorontalo (1935) karya Richard Tacco.
Sumber lisan sejauh ini tidak mendapat tempat utama dalam penulisan sejarah karena cukup sulit melacak ketepatan informasi dalam tradisi lisan. Walaupun tradisi lisan mampu untuk menggambarkan“suasana kebatinan” (zeitgeist) pada suatu masa, namun ia terbatas dalam memberikan informasi rinci dan akurat akan suatu kejadian di suatu tempat pada masa lampau. Hanya saja, apakah hal tersebut merupakan suatu sikap yang cenderung “orientalis” atau berwatak “kolonial”? saya rasa berbagai anggapan tersebut terlalu berlebihan karena para kritikus secara tidak sadar menggabungkan kritik terhadap metode dan kritik atas perspektif sebagai hal yang sama—sekalipun nyata-nyatanya jelas berbeda!
Berangkat dari dua persoalan utama tersebut, saya berpandangan bahwa re-historiografi bukanlah upaya untuk “memperbaiki” sejarah resmi milik penguasa, ataupun usaha mempertentangkan sumber lisan atas tulisan. Re-historiografi adalah upaya untuk menemukan kebaruan perspektif sejarah baru yang setia pada disiplin metodologis. Perlu dicatat bahwa disiplin metodologis bukanlah berarti sejarah hanya dapat diperbincangkan oleh sejarawan. Sebaliknya, disiplin metodologis yang seringkali dipraktikkan oleh sejarawan sudah seharusnya
dipraktikkan, ditinjau, dikritik, dan diperbaharui oleh seseorang yang tidak berlatar belakang sebagai sejarawan dalam memahami pola maupun peristiwa kesejarahan di suatu tempat dan waktu. Bentuk disiplin yang dimaksud adalah ketepatan penjelasan waktu, tempat, dan tentu saja setia dalam mengamati hal-hal spesifik. Inilah salah satu kekurangan utama dalam historiografi Gorontalo masa kini. Dengan disiplin metodologis yang demikian, perspektif baru niscaya akan hadir dari masa ke masa.
Dalam hal perspektif, kebaruan dalam cara memandang, menemukan titik tekan, kata kunci baru, dan penjelasan segar tentu tidak ditentukan oleh sumber apa yang akan kita gunakan untuk menyelidiki masa lampau. Baik sejarawan kolonial maupun pasca-kolonial dapat menggunakan sumber yang sama dengan perspektif yang berbeda. Jika sumber kolonial terkesan memberi penekanan pada peristiwa menyangkut “orang-orang besar” seperti raja dan pengikutnya, maka seharusnya terdapat juga kesempatan bagi sejarawan kita untuk menemukan penjelasan baru dengan melihat “orang-orang besar” dari sudut pandang “orang-orang biasa”. Proses re-historiografi Gorontalo menuntut kreatifitas dari pengamat sejarah dalam mengamati terbentuknya pola-pola sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan dengan
berdasar pada kekayaan sumber arsip yang tersedia. Dengan menemukan perspektif baru, maka kita berharap sejarah Gorontalo tidak lagi terbatas pada Limo Pohalaa, 23 Januari 1942, dan Pembentukan Provinsi Gorontalo.
Sebuah contoh menarik dalam konteks pembahasan lain dapat dilihat dari karya Tara Alberts dalam Conflict and Conversion: Catholicism in Southeast Asia, 1500 1700 yang dipublikasikan pada tahun 2013. Contoh ini menarik untuk menunjukkan bagaimana perspektif baru dapat dibentuk tanpa harus bergantung pada keberhasilan menggabungkan sumber lisan dan tulisan. Karya Alberts pada dasarnya sangat bergantung pada keberadaan arsip tertulis milik Eropa—hal yang tak terhindarkan saat menelisik misi Katolik dan Zending di Asia Tenggara. Namun, ia berhasil menemukan perspektif baru dengan menceritakan kembali peristiwa misi Katolik dari sudut pandang orang-orang biasa dari arsip milik misionaris Eropa. Hal ini sangat berbeda dengan narasi dominan tentang sejarah penyebaran agama Kristen di Asia Tenggara yang terlalu banyak melihat dari sudut pandang misionaris. Dari arsip milik Eropa, ia mengemukakan kembali perspektif “Asia Tenggara”. Disiplin metodologis dan kebaruan perspektif adalah tawaran saya untuk memaknai ulang dan menuliskan kembali sejarah Gorontalo yang masih menyisakan banyak pertanyaan. Tentu, kritik paling potensial dari tawaran ini adalah ketidakberanian untuk melihat relasi kuasa dalam proses produksi pengetahuan.
Namun, saya pribadi justru merasa bahwa ketimpangan ini seringkali juga secara sadar maupun tidak sadar telah diciptakan oleh pengamat sejarah maupun ilmuwan sosial yang sibuk membuat jargon yang hanya dapat dipahami oleh diri sendiri maupun lingkungan akademik (dan mungkin tulisan ini juga bersifat demikian!). Proses re-historiografi Gorontalo sudah seharusnya melakukan kritik terhadap proses penulisan dan penyebaran pengetahuan sejarah yang demikian. Sejarah seharusnya menjadi suatu pengetahuan yang dapat dicerna oleh golongan cendekiawan maupun awam. Dengan kata lain, sejarah sudah sepatutnya ditulis dengan watak untuk menjebol sekat-sekat pengetahuan dalam masyarakat. Singkatnya, sejarah adalah milik publik. Dengan memegang watak dan prinsip demikian, re-historiografi Gorontalo tidak akan lagi mengulang perilaku historiografi Gorontalo kini yang menjadi milik eksklusif dari dosen, peneliti, mahasiswa, maupun pemerintah. Oleh karenanya, ia pantas mendapat julukan “re-historiografi“ ketimbang historiografi semata.
Teakhir, tawaran Samsi terkait re-historiografi perlu disambut dengan gembira dan kritis. Beberapa pengamat sejarah dan peneliti seperti Basri Amin telah mencoba untuk menjelajahi topik-topik yang tidak biasa dalam narasi sejarah Gorontalo seperti kepemimpinan perempuan. Hanya saja, perihal yang masih perlu dipetakan kembali adalah sejauh mana karya-karya tersebut dapat membentuk pola historiografi baru. Dengan memperhatikan aspek disiplin metodologis dan dorongan untuk menemukan perspektif baru, tentu pola historiografi baru dapat dirangkai dan dipetakan secara kritis. Namun, jika dua aspek tersebut tidak diperhatikan secara serius, maka sepertinya re-historiografi hanya akan menjadi upaya mengulang cara
produksi pengetahuan sejarah yang pincang dan tak berfaedah.
Oleh: Daniel A. Kalangie – (Researcher | Program & Strategic Partnership | LPDP Awardee PK-234)