Ritual Mappeca Sure (Bubur Asyura); Tak Sekedar Memperingati Tragedi

Ritual Mappace Sure/ ilustrasi

Fajar baru saja menyingsing di langit Karbala. Angin padang gurun mengalir pelan, membelai tenda-tenda yang berdiri di bawah langit merah muda. Seorang lelaki berusia 58 tahun baru saja menyelesaikan salat Subuh. Ia berdiri hening dalam doa, menatap ke luar tenda, ke seberang padang tempat pasukan besar telah mengepungnya. Empat ribu orang, bersenjata, berbanjar. Sementara di sisinya, hanya 72 jiwa: 32 prajurit berkuda, 40 pejalan kaki, dan selebihnya perempuan serta anak-anak. Sejarah akan mencatat ini bukan sebagai pertempuran, tapi tragedi Karbala.

Lelaki itu, yang wajahnya teduh dan bercahaya, adalah Imam Husein, cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW. Ia menaiki kudanya, mendekati pasukan musuh yang sesungguhnya adalah sesama Muslim. Di hadapan mereka, ia berseru dengan suara yang menggugah hati:

Lihatlah nasabku, pandangilah siapa aku ini, lantas lihatlah siapa diri kalian. Perhatikan apakah halal bagi kalian untuk membunuhku dan mencederai kehormatanku

Ia menyebut nama-nama: Fatimah Az-Zahra, ibunya; Ali bin Abi Thalib, ayahnya; Hamzah dan Ja’far, paman-pamannya. Ia menyebut pula sabda Nabi tentang dirinya dan saudaranya Hasan: dua pemuda penghuni surga. Lalu ia menyeru hati nurani mereka:

Jika kalian ragu, tanyakanlah pada sahabat-sahabat Nabi: Jabir, Abu Sa’id, Sahl, Zaid bin Arqam, dan Anas bin Malik. Mereka mendengar langsung apa yang Rasul katakan tentang aku.”

Pidato itu bukan sekadar pernyataan, melainkan jeritan jiwa, upaya terakhir untuk mencegah pertumpahan darah. Beberapa dari mereka terguncang. Siapa yang sanggup menghunus pedang kepada bocah yang dahulu sering dipeluk, ditimang, dan dicium di punggung Nabi saat salat?

Hanya segelintir yang tersentuh. Sementara sebagian besarnya telah terbakar hasutan iblis untuk membunuh.   Sesaat setelah pidato itu, langit pecah oleh suara perintah dari Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash: serbu! Maka terjadilah peristiwa memilukan pada 10 Muharram 61 Hijriyah, saat padang Karbala memerah oleh darah keturunan Rasul. Imam Husein syahid, tubuhnya ditikam tombak oleh Sinan bin Anas bin Amr Nakhai. Sejarah mencatatnya dalam kitab-kitab besar Sunni, seperti Tarikh At-Thabari  tulisan At-Tabari dan Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir. Tragedi itu tak lekang dalam ingatan umat Islam: duka yang mengendap dan menorehkan luka spiritual sepanjang zaman.

Namun duka itu tidak membeku sebagai sejarah semata. Ia tumbuh menjadi peringatan, menjadi doa, menjadi budaya. Hari Asyura, 10 Muharram, diperingati bukan hanya oleh Syiah, tapi juga kalangan Sunni di berbagai belahan dunia Islam. Di Nusantara, Asyura bertransformasi menjadi ritus yang menyerap kearifan lokal: paduan antara duka dan doa, antara sejarah dan harapan.

Di Jawa, Asyura disebut Suro. Di sana, masyarakat mengarak tumpeng ke tengah kampung. Bukan sekadar rebutan makanan, tapi perebutan berkah. Di Sumatera Barat dan Bengkulu, peringatan ini disebut Tabuik, mengarak peti atau patung simbolik sebagai penggambaran kisah Karbala. Di Aceh, dikenal perayaan Hasan-Husin, cucu Nabi yang dikisahkan dalam hikayat dan doa-doa. Dan di Sulawesi Selatan, ia menjelma menjadi Mappeca Sure dan Massongka Bala, dua ritual khas yang menyentuh hati dan mengakar dalam budaya Bugis.

Mappeca Sure, yang bermakna “bubur asyura”, adalah bentuk doa syukur menyambut tahun baru Islam.  Jika dilaksanakan pada 10 Muharram, maka di situ juga ada kenangan tentang tragedi karbala. Di dalam perayaan itu disajikan bubur.  Terkadang buburnya ada yang berwarna dengan rasa manis, namun ada pula bubur putih biasa dengan berbagai lauk dan buah yang telah diiris kecil di atasnya.

Bubur yang disajikan itu kaya makna, di dalamnya menyatu harapan dan rasa syukur.  Seorang kiai kampung menjelaskan, bubur yang disajikan itu tidak lain mengikuti jejak Nabi Nuh dan umatnya saat terombang ambing di atas kapal. Di saat itu persediaan pangan tidak banyak. Beras hanya sedikit, lauk pauk juga tidak berlimpah. Maka agar seluruh penumpang kapal tetap bisa makan di atas kapal sepanjang banjir masih berlangsung, maka dibuatlah bubur dengan berbagai lauk yang diiris kecil-kecil di atasnya. Dengan bubur,  beras yang dibutuhkan hanya sedikit, tetapi hasilnya banyak. Inilah strategi ketahanan pangan di tengah bencana.  Sementara di masa kini, dengan cara seperti itu, penyelenggara mappeca sure bisa menghasilkan banyak bubur dan bisa berbagi ke banyak orang.

Mappeca sure biasanya bergerak senafas dengan Massongka Bala, sebuah ritual tolak bala dengan harapan di tahun baru yang telah datang menghampiri kita, semua manusia dan makhluk Tuhan terhindar dari segala tragedi dan malapetaka. Peringatan Asyura dengan makan bubur serta dirangkaikan dengan massongka bala memang tidaklah semata-mata memperingati tragedi karbala. Ritual ini juga merupakan perayaan menyambut tahun baru Islam ala masyarakat lokal. Diyakini pula pada bulan-bulan Muharram, terutama di penanggalan 10, terjadi beberapa peristiwa penting di mana para Nabi lepas dari berbagai cobaan. Dalam penjelasan beberapa ustaz kampung dikatakan bahwa perayaan Mappeca Sure dan Massongka Bala dilangsungkan pada bulan Muharram terutama pada tanggal sepuluh karena diyakini sebagai hari penyelamatan para Nabi: Adam bertobat, Nuh berlabuh setelah sekian lama terombang-ambing di tengah banjir bandang, Musa selamat dari Firaun, Yunus keluar dari perut ikan, Ibrahim lepas dari kobaran api, Yusuf bebas dari penjara, dan Ayyub sembuh dari penyakitnya. Namun masyarakat Muslim  nusantara juga tahu di titi mangsa itulah syahidnya cucu Nabi SAW. Maka di hari itulah masyarakat Bugis dan di suku-suku lain di nusantara menggelar ritual dan memanjatkan doa,  menggabungkan duka dan harapan dalam satu ruang spiritual yang khas.

Perayaan Asyura di nusantara telah berlangsung lama, sejak Islam pertama kali menapak kakinya di bumi ini. Dalam manuskrip kuno Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, disebutkan bahwa peringatan Asyura telah dikenal di wilayah Melayu sejak abad ke-13. Fadhly Hussin, peneliti naskah ini, menyebut bahwa umat Islam lokal telah sejak lama memperingati syahidnya Imam Husein, jauh sebelum istilah Syiah masuk dalam kosakata konflik aliran di Indonesia.

Sementara itu, di sisi lain, perpaduan mappaeca sure dan massongka bala sekali lagi menggambarkan  perpaduan menakjubkan antara Islam dan budaya lokal. Seperti ditulis Clifford Geertz, agama di Asia Tenggara adalah “agama yang hidup”, agama yang menjelma dalam simbol-simbol kultural, dalam tradisi agraris, dalam ritus-ritus kolektif yang merawat harmoni sosial. Tak jauh berbeda dengan itu Martin van Bruinessen juga menyatakan bahwa Islam di Nusantara adalah hasil interaksi panjang antara teks agama dan konteks sosial-budaya. Dalam pembacaannya, perjumpaan antara Islam dan adat lokal tidak melahirkan benturan keras, melainkan rekonsiliasi dan pembauran yang damai. Islam tidak datang sebagai gelombang yang meratakan budaya, tetapi sebagai air yang menyuburkan tanah-tanah tradisi.

Orang-orang nusantara, seperti terlihat dalam  masyarakat Bugis-Makassar, menjalankan Islam dan menyambut tahun baru hijriah tidak sekadar sebagai ajaran teks atau pidato kering di atas mimbar, melainkan pengalaman yang hidup, yang menyentuh batin, mengikat komunitas, dan menumbuhkan spiritualitas. Cara beragama, seperti banyak diungkap para peneliti di nusantara, menekankan pada pengalaman bukan soal teksnya.  Islam melebur dalam tradisi dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari. “What matters is how Islam is made meaningful in everyday life.”  Begitu kira-kira (kalau saya tidak salah ingat) kata John Bowen.

Last but not least, perayaan Asyura bukanlah milik satu mazhab. Ia adalah milik mereka yang meneteskan air mata saat mendengar kisah Karbala. Ia adalah milik mereka yang menyambut tahun baru Islam, ia adalah milik orang-orang yang melangitkan doa pengharapan. Ia adalah milik mereka yang, dalam sunyi, memohon kepada Tuhan agar tahun yang baru membawa keselamatan dan berkah.

Dan akhirnya di bawah langit nusantara yang teduh, perayaan asyura terus hidup. Ia berbicara dalam bahasa rakyat, dalam bubur dan tumpeng, dalam tabut dan hikayat, dalam syair dan air mata. Ia adalah sejarah yang dikenang, sekaligus harapan yang dirayakan.

Oleh : Ijhal Thamaona memiliki nama lengkap Dr. Syamsurijal Adhan, S.Ag., M.Si adalah Peneliti Khazanah Agama dan Peradaban di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup