Rohis Sekolah Jadi Pintu Masuk Radikalisme di Gorontalo?
Di balik ketenangan pagar sekolah dan rutinitas belajar mengajar, ada arus ideologis yang mulai merasuki ruang-ruang pendidikan: radikalisme dan intoleransi. Organisasi siswa seperti Rohani Islam (Rohis) kini tak sekadar menjadi wadah pembinaan spiritual, tetapi mulai menunjukkan indikasi kuat sebagai kanal penyebaran paham eksklusif yang menolak keberagaman dan meragukan dasar negara, Pancasila.
Pergeseran Orientasi Rohis, dari Moderat ke Intoleran
Dari serangkaian wawancara dengan siswa, guru, dan mantan anggota organisasi keagamaan di sejumlah sekolah menengah di Gorontalo, ditemukan adanya pergeseran orientasi dalam kegiatan Rohis. Organisasi yang semula berfokus pada pembinaan akhlak kini bergeser menjadi saluran penyebaran ideologi yang mencurigai pluralisme, menolak simbol negara, dan menumbuhkan sikap antipati terhadap demokrasi.
“Dulu kami banyak belajar soal akhlak dan ibadah. Sekarang isinya banyak kajian yang mengajarkan kami untuk menjauhi teman-teman yang berbeda keyakinan,” ujar seorang siswa yang enggan disebutkan namanya.
Di Upacara, Menolak Hormat Bendera
Salah seorang pengurus Rohis di salah satu SMA menyatakan bahwa di beberapa sekolah, sebagian siswa menolak berdiri saat lagu kebangsaan diputar, bahkan enggan mengikuti upacara bendera karena meyakini bahwa menghormati simbol negara dianggap bertentangan dengan keyakinan mereka.
Sering kali mereka yang terpapar sengaja datang lambat ke sekolah agar tidak ikut upacara dengan berbagai macam alasan. Gerakan anti-hormat bendera seperti ini adalah bagian dari doktrin melawan negara yang sering diajarkan pada kajian-kajian yang berkedok Islam.
Sejumlah Guru Sekolah Berafiliasi pada Organisasi Terlarang
Yang lebih memprihatinkan, temuan ini tidak berdiri sendiri. Bahkan, sejumlah guru ditengarai dan terindikasi memiliki afiliasi dengan organisasi yang telah dibubarkan pemerintah, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), serta organisasi yang cenderung radikal.
“Guru-guru yang terafiliasi pada organisasi tersebut bahkan secara aktif menyampaikan ajaran yang diskriminatif serta bertentangan dengan semangat kebinekaan serta cinta tanah air,” jelas pengurus Rohis tersebut.
Siswa Sekolah Target Empuk Intoleransi dan Radikal-Terorisme
Muhammad Makmun Rasyid, Dewan Ahli ISNU Provinsi Gorontalo, menyatakan bahwa Rohis dan pelajar menjadi target empuk penyusupan ideologi transnasional dan anti-negara karena mereka tengah berada dalam fase pencarian jati diri, di mana idealisme membuncah namun belum dibarengi dengan nalar kritis yang matang.
“Dalam masa transisi ini, narasi besar tentang penindasan umat, kezaliman sistem demokrasi, atau kemuliaan negara khilafah mudah memikat karena menawarkan jawaban instan atas kebingungan identitas dan keinginan untuk menjadi ‘lebih Islami’,” ujar Makmun.
Penyusupan ini, menurutnya, kerap berlangsung halus melalui kajian tertutup, buletin dakwah, hingga grup WhatsApp yang membahas konsep-konsep seperti “tauhid yang murni” atau “sistem Islam yang sempurna”. Sayangnya, pelajar yang terpapar kerap tidak menyadari bahwa mereka sedang digiring keluar dari koridor Islam rahmatan lil ‘alamin menuju gerakan politik berbasis ideologi global yang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.
“Ironisnya, karena dibungkus dalam kerangka religius, penyusupan ini sering luput dari deteksi guru, orang tua, dan bahkan aparat sekolah,” tambahnya. “Rohis bisa menjadi medan perebutan ideologi—dan bila tidak dibina dengan pendekatan moderat dan inklusif, Rohis bisa menjadi pintu masuk bagi infiltrasi gerakan yang menjadikan sekolah sebagai ladang kaderisasi diam-diam.”
Ekstremisme di Usia Dini
Kekhawatiran terhadap infiltrasi ideologi ekstrem di sekolah bukan tanpa dasar. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat bahwa dari 300 pelaku ekstrem kanan yang ditangkap antara 2010–2013, 150 di antaranya berusia di bawah 30 tahun. Beberapa bahkan masih berstatus pelajar. Salah satu kasus mencolok terjadi di Klaten pada tahun 2011, ketika empat siswa SMK 2 Klaten yang aktif dalam Rohis ditangkap oleh Densus 88 karena keterlibatan dalam aktivitas terorisme.
Temuan ini diperkuat oleh Indeks Potensi Radikalisme (IPR) 2024 dari BNPT, yang menunjukkan bahwa Provinsi Gorontalo mencatat skor 11,6, tergolong sedang secara nasional. Dimensi sikap mencatat skor tertinggi, menandakan bahwa benih-benih intoleransi tumbuh kuat dalam kesadaran dan keyakinan individu.
Data dari Alvara Research Center (2020) turut menggarisbawahi tren ini. Generasi Z mencatat 1,7% penolakan terhadap Pancasila sebagai dasar negara, dengan Younger Gen X mencatat angka tertinggi, yakni 3,1%. Selain itu, 7,5% masyarakat menyatakan tidak setuju bahwa mengubah dasar negara adalah tindakan makar. Secara geografis, responden asal Sulawesi menempati angka tertinggi dalam sikap kontra terhadap Pancasila (9,5%), diikuti Kalimantan (4,8%) serta Maluku dan Papua (3,1%).
BNPT Dorong FKPT Jadi Garda Terdepan Kontra Radikal-Terorisme
Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), Dr. Funco Tanipu, S.T., M.A., saat diwawancarai setelah rapat perdana FKPT Gorontalo, menyampaikan bahwa FKPT Gorontalo mendapat arahan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI mengenai pentingnya menjalankan misi utama pencegahan terorisme dengan memberdayakan potensi masyarakat.
“Bapak Komjen Pol. Eddy Hartono selaku Kepala BNPT RI memberikan arahan kepada FKPT agar berkoordinasi dan berkolaborasi secara proaktif dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Pak Kepala BNPT RI mengingatkan bahwa meskipun selama tiga tahun terakhir tidak terjadi aksi terorisme (zero attack terrorism), proses radikalisasi masih terus berlanjut bahkan sering mengincar generasi Z melalui media digital.”
Lebih lanjut, Funco menyampaikan bahwa berkaitan dengan hal tersebut, Kepala BNPT RI meminta agar FKPT harus bisa menjadi corong informasi sekaligus menyerap informasi terkait perkembangan radikal terorisme di daerah.