Sawit Gorontalo Kacau Balau, Ginada: Ini Soal Masa Depan, Bukan Cuma Ekonomi!

Ketua Departemen Organisasi Pengurus Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI), I Dewa Gede Ginada Darma Putra. FOTO : Istimewa

BAKUKABAR.id–Sorotan tajam datang dari Ketua Departemen Organisasi PP Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), I Dewa Gede Ginada Darma Putra, terkait kisruh pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Gorontalo. Dalam pernyataan kerasnya, Ginada menyebut kondisi tata kelola sawit saat ini bukan hanya bermasalah, tapi masuk dalam level krisis akut dan berlapis.

Berangkat dari berbagai dokumen, riset lapangan, dan temuan dari DPRD hingga Ombudsman, Ginada menyebut negara telah gagal total dalam mengawasi sektor strategis ini.

“Apa yang terjadi hari ini mencerminkan kegagalan tata kelola yang sistemik dan permisif terhadap pelanggaran hukum. Negara seolah absen, padahal masyarakat yang menanggung kerugiannya,” tegasnya, Sabtu (26/7/2025).

Lahan Mangkrak, Ekonomi Mandek

Setidaknya 21 ribu hektar lahan sawit yang dikuasai perusahaan justru dibiarkan telantar. Bagi Ginada, ini bukan hanya soal pemborosan lahan, tetapi juga penghancuran potensi ekonomi daerah dan hilangnya hak produktif masyarakat.

“Lahan yang ditelantarkan itu artinya petani tak bisa menanam. Daerah kehilangan PAD, rakyat kehilangan penghidupan,” katanya.

Lebih jauh, Ginada menyingkap praktik curang di balik skema kemitraan antara perusahaan sawit dan petani. Banyak koperasi plasma tak pernah menggelar RAT, perusahaan tak menjalankan kewajiban, bahkan tak membuka akses data produktivitas kepada petani.

“Ini bentuk kelalaian administratif. Tapi lebih dari itu, ini bukti relasi kuasa yang timpang—korporasi di atas rakyat,” ucapnya.

Yang lebih mengkhawatirkan, kata Ginada, adalah tren baru yang mencemaskan: perampasan ruang hidup rakyat lewat transisi energi. Ia menyoroti perusahaan seperti PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) dan PT Inti Global Laksana (IGL) yang mengalihfungsikan lahan sawit menjadi kebun energi (wood pellet) untuk ekspor.

“Transisi energi itu harusnya ramah lingkungan. Bukan jadi dalih baru untuk melegalisasi deforestasi,” kritiknya.

Data dari Forest Watch Indonesia (FWI) dan WALHI membuktikan, 1.105 hektar hutan alam hilang di Pohuwato dalam periode 2021–2023 akibat proyek semacam ini.

Bencana Ekologis yang Dilegalkan

Dampaknya sangat nyata. Masyarakat di sekitar kebun sawit menghadapi krisis air bersih, pencemaran lingkungan, dan hilangnya sumber pangan lama seperti jagung.

“Ketika air bersih tak tersedia, itu bukan sekadar soal lingkungan. Itu sudah soal hak hidup layak. Negara harus hadir!” tegas Ginada.

Atas kondisi tersebut, Ginada mendesak agar kerja Pansus Sawit DPRD tidak berhenti pada permukaan. Audit harus menyentuh dimensi hukum, lingkungan, sosial, dan benar-benar melibatkan pendapat masyarakat.

“Audit bukan sekadar formalitas. Ini harus jadi pintu masuk reformasi total pengelolaan sawit di Gorontalo,” serunya.

Kasus Boalemo: Petani Jadi Korban Utama

Tak hanya di Pohuwato, kisah miris juga terjadi di Kabupaten Boalemo, khususnya oleh PT Agro Arta Surya. Perusahaan ini dilaporkan tak memiliki izin pengelolaan limbah, tak memiliki AMDAL, dan belum mengurus izin pemanfaatan air bersih.

Kemitraan dengan petani pun disebut hanya menjadi alat jerat utang. Di Kecamatan Wonosari, banyak petani terjerat utang hingga puluhan juta rupiah per hektar, tapi tak pernah menerima pembagian hasil yang jelas.

“Lahan masyarakat 16 hektar yang ditanami sawit, hanya cair Rp23 ribu per bulan. Dan itu pun hanya keluar tiap enam bulan sekali!” beber Ginada.

Dalam kerangka solusi, Ginada mendorong reformasi agraria berkeadilan, penguatan kapasitas kelembagaan desa, dan kebijakan yang berpihak pada petani, masyarakat adat, dan ekologi.

“Sawit tidak boleh jadi simbol ketimpangan. Negara harus memastikan keadilan agraria dan ekologis hadir di Gorontalo,” ujarnya.

Sebagai penutup, Ginada menyatakan komitmen PP KMHDI untuk terus mengawal isu ini. Ia juga mengajak seluruh elemen mahasiswa, pemuda, dan masyarakat Gorontalo untuk bersatu menyuarakan keadilan ekologis.

“Kalau negara tak hadir membela rakyat, maka kita wajib mengevaluasi siapa yang sedang berkuasa di Gorontalo. Ini bukan soal sawit saja. Ini soal masa depan daerah!” pungkasnya dengan nada keras.

Sebelumnya, Ketua Pansus, Umar Karim (UK), menegaskan bahwa pihaknya akan segera mengundang BPK dan BPKP pada Senin, 21 Juli 2025, guna memperkuat proses penelusuran berbagai dugaan penyimpangan, termasuk yang menyeret nama-nama besar seperti Palma Group.

“Kami akan paparkan semua hasil temuan Pansus. Harapannya, BPK dan BPKP bisa menindaklanjuti sesuai kewenangan mereka. Kami temukan banyak indikasi pelanggaran aturan dalam tata kelola sawit,” ujar UK saat ditemui usai Rapat Komisi I, Jumat (25/7/2025).

Sejak awal, Pansus telah menggandeng Polda, Kejati, dan Ombudsman. Kini, dengan menggandeng BPK dan BPKP, UK berharap penyelesaian tidak bersifat sepihak, melainkan komprehensif dan berbasis temuan hukum dan audit resmi.

“Kami sadar, tak semua bisa diselesaikan sendiri oleh Pansus. Ini butuh keterlibatan semua pihak—provinsi, kabupaten, hingga penegak hukum. Kami hanya buka jalan,” tegas UK, yang juga politisi NasDem itu.

Menanggapi isu dugaan penerimaan uang oleh anggota dewan yang sempat beredar, UK angkat bicara. Ia menyebut bahwa tudingan tersebut tidak menyebut nama secara spesifik, namun sebagai Ketua Pansus, ia merasa perlu bertindak.

“Isu itu tidak akan mempengaruhi Pansus. Justru memacu kami untuk bekerja lebih maksimal. Saya sendiri sudah lapor ke Polda,” ucapnya mantap.

Ia menyayangkan munculnya prasangka yang menurutnya tidak berdasar. Namun, ia juga memahami bahwa masyarakat punya hak untuk mengkritisi.

“Respon pesimis dari sebagian warga itu wajar. Tapi kami tidak bekerja untuk pembelaan pribadi. Kami bekerja demi ratusan petani sawit yang telah kami temui langsung,” ujarnya.

UK menggarisbawahi bahwa Pansus dibentuk bukan untuk mengamankan kepentingan elit atau perusahaan, tapi untuk mendengarkan dan menyuarakan aspirasi para petani sawit yang menjadi korban ketimpangan tata kelola.

“Pansus tidak butuh pencitraan. Yang kami butuh hanya kepercayaan dari rakyat. Itu saja,” pungkasnya.

Langkah Pansus ini layak diapresiasi, apalagi di tengah badai isu yang coba mengganggu fokus kerja. Meski jalan panjang penyelesaian konflik sawit masih penuh liku, setidaknya satu hal jelas: perjuangan belum selesai. Petani butuh keadilan, dan lembaga harus berani berdiri tegak di baris terdepan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup