Sekali lagi, Tentang Tudingan Ijazah Palsu
Roy Suryo sejak awal bersuara lantang soal dugaan kejanggalan dalam ijazah mantan presiden Joko Widodo. Ia bahkan menyatakan bahwa foto dalam ijazah tersebut bukanlah Jokowi, melainkan sepupunya. Sebelumnya ada Bambang Tri Mulyono, ada Rismon Sianipar, ada Dr Tifa sebagai pihak yang terus memperkarakan keaslian ijazah Jokowi.
Mereka yakin betul sedang memperjuangkan “kebenaran”—bukan hanya soal selembar ijazah, tetapi tentang kejujuran seorang mantan pemimpin negara. Klaim-klaim ini pun mendapat panggung luas di media sosial, talkshow, hingga kanal-kanal digital alternatif. Publik pun terbelah: sebagian menganggapnya pembongkaran, sebagian lagi melihatnya sebagai sensasi murahan.
Sementara itu, Jokowi merespons dengan gaya khasnya: tenang, tak terburu-buru, bahkan terkesan membiarkan isu ini bergulir. Ia tidak secara langsung menunjukkan ijazahnya ke publik, seolah memancing perdebatan ini masuk ke arena yang ia kehendaki—hukum. Dalam konteks ini, sebagian orang menilai sikap tersebut sebagai bentuk kepercayaan diri, sementara yang lain memaknainya sebagai sikap tertutup yang justru menimbulkan kecurigaan baru.
Persoalan ini menyentuh dua ranah: legal-formal dan simbolik-politik. Secara legal-formal, keabsahan sebuah ijazah tidak ditentukan oleh bentuk fisiknya, melainkan oleh legitimasi institusi yang menerbitkannya. Hal ini ditegaskan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menyatakan bahwa ijazah adalah dokumen resmi dari perguruan tinggi yang sah dan diakui negara. Dalam Permendikbud No. 81 Tahun 2014, ditegaskan pula bahwa ijazah sah apabila dikeluarkan oleh institusi terakreditasi dan ditandatangani oleh pejabat berwenang.
Dalam konteks ini, keaslian atau ketidakaslian ijazah Jokowi sepenuhnya berada di tangan Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai pemilik otoritas. Jika UGM telah menyatakan bahwa yang bersangkutan lulus sesuai prosedur, maka secara hukum ijazah itu adalah sah. Tak peduli seberapa banyak pihak luar meragukannya, mereka tidak memiliki kapasitas hukum untuk membatalkan keabsahan tersebut.
Logika ini sangat nyata dan faktual dalam praktik sehari-hari. Seorang pelamar kerja, misalnya, tidak bisa serta-merta diterima berkasnya hanya karena membawa ijazah asli. Ia tetap diwajibkan menyertakan salinan fotokopi yang telah dilegalisir oleh pihak kampus sebagai bentuk pengesahan. Legalitas itu menunjukkan bahwa lembaga pendidikan mengakui dokumen tersebut sebagai sah.
Jelas, bahwa nilai hukum sebuah ijazah tidak terletak pada fisiknya, melainkan pada legitimasi otoritas yang menerbitkannya. Ini sangat berbeda dengan logika dalam jual-beli emas. Anda bisa membawa emas batangan tanpa sertifikat, tetapi nilai jualnya tetap bisa ditentukan melalui uji kadar dan berat fisik—karena nilai emas melekat pada substansi bendanya. Ijazah bukanlah benda dengan nilai pasar; ia adalah dokumen simbolik yang sah karena pengakuan institusional. Maka mempersoalkan keasliannya dengan pendekatan benda-bendaan adalah kekeliruan berpikir yang mereduksi makna dan fungsi legalitas dalam sistem pendidikan.
Logika serupa juga berlaku dalam sistem birokrasi di berbagai negara. Di banyak negara maju, verifikasi ijazah dilakukan bukan dengan memeriksa langsung fisik dokumen, tetapi dengan menghubungi institusi pendidikan terkait atau memeriksa database resmi alumni. Di Australia dan beberapa negara Eropa, sistem digitalisasi dokumen akademik bahkan memungkinkan otoritas atau calon pemberi kerja mengakses langsung keabsahan gelar melalui platform resmi universitas atau kementerian pendidikan. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan pada otoritas institusi menjadi fondasi legalitas dokumen, bukan sekadar keberadaan selembar kertas dengan cap atau tanda tangan.
Namun persoalannya tak berhenti di ranah hukum semata. Publik juga hidup dalam ruang persepsi, ruang tempat emosi, ingatan kolektif, dan ketidakpuasan historis bercampur menjadi atmosfer yang memengaruhi cara menilai sebuah peristiwa. Di ruang ini, ketidakpercayaan terhadap elit politik begitu mudah tumbuh dan menyebar. Kritik terhadap Jokowi dalam kasus dugaan ijazah palsu bukan semata-mata soal dokumen administratif atau legalitas formal, tetapi lebih sebagai simbol dari kegelisahan yang lebih dalam—tentang keterbukaan informasi, akuntabilitas, dan integritas pejabat publik. Banyak orang tak benar-benar peduli pada detail teknis keaslian ijazah; yang mereka resahkan adalah perasaan bahwa negara ini terlalu sering ditutup-tutupi, terlalu sering mempermainkan kepercayaan rakyat.
Dalam lanskap semacam itu, figur seperti Jokowi—bahkan setelah tidak lagi menjabat sebagai presiden—masih memikul beban simbolik yang besar dalam demokrasi kita. Ia bukan hanya sosok pribadi, tetapi representasi dari sebuah era pemerintahan, dari janji-janji yang pernah dielu-elukan, dan dari harapan yang barangkali belum sepenuhnya terpenuhi.
Maka ketika muncul isu seperti ini, apalagi terkait integritas personal, yang digugat sesungguhnya bukan hanya Jokowi sebagai individu, tetapi seluruh ekosistem kekuasaan yang pernah ia pimpin. Ketegangan antara legalitas dan legitimasi pun kembali muncul: bahwa sesuatu bisa saja sah secara hukum, tetapi tetap dianggap belum memuaskan secara moral atau transparansi publik. Di sinilah pentingnya membangun budaya politik yang tidak hanya taat hukum, tetapi juga peka terhadap rasa keadilan dan kebutuhan masyarakat akan kejelasan.
Jokowi harus lebih elegan menyelesaikan masalah ini. Meskipun, motif politik Roy Suryo cs mudah terbaca tetapi Jokowi sebagai mantan presiden harus lebih negarawan. Melaporkan pihak-pihak ke ranah hukum, hanya membuat suasana semakin runyam. Solusi kasus ini sederhana, cukup perlihatkan ke publik ijazahnya, tensi akan menurun. Orang-orang yang tetap menuntut setelah itu akan semakin kehilangan legitimasinya.
Sebagai bagian dari publik, penting bagi kita untuk tidak terjebak dalam dikotomi antara pembelaan membuta dan tuduhan tanpa dasar. Publik berhak mengkritik, bahkan mencurigai, jika ada alasan yang kuat dan disampaikan secara jernih dalam semangat demokrasi yang sehat. Namun kritik itu juga harus dilandasi itikad baik, bukan didorong oleh motif politik atau kebencian personal. Di sisi lain, figur publik, terlebih yang pernah menduduki posisi kepemimpinan nasional, juga punya tanggung jawab moral untuk menjaga kepercayaan publik, termasuk dalam hal transparansi identitas dan rekam jejak.
Jika kita ingin memperkuat demokrasi, maka ruang publik harus diisi oleh akal sehat, bukan hanya kecurigaan; oleh ketegasan hukum, bukan kegaduhan emosional. Dalam iklim demokrasi yang matang, kebenaran tidak akan lahir dari keramaian spekulasi, tapi dari kesediaan semua pihak untuk terbuka, adil, dan rasional.
Tampaknya, dalam riuhnya silang pendapat dan hiruk-pikuk tudingan ini, kita memang masih membutuhkan satu kata yang sering terlupakan dalam praktik demokrasi kita: kejujuran. Kejujuran dari pihak penuntut, agar jelas apa motif sebenarnya—membela kepentingan publik atau sekadar mencari panggung. Dan kejujuran dari pihak Jokowi, untuk secara elegan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masih menggantung.
Sebab, jika kita terus membiasakan diri gaduh oleh hal-hal yang semestinya sederhana, bukan mustahil kita akan kehilangan kepekaan terhadap masalah-masalah yang lebih mendesak. Dan ketika kepercayaan publik telah menjadi barang langka, bukan hukum yang akan goyah lebih dulu, melainkan demokrasi itu sendiri.
Oleh : Pepy Albayqunie (Seorang pecinta kebudayaan lokal dan Jamaah Gusdurian di Sulawesi Selatan yang belajar menulis novel secara otodidak. Ia lahir dengan nama Saprillah)