Senja di Panti Waluya: Luka Anak Bangsa dan Rumah bagi Mereka yang Pernah Dibuang

Rombongan Peserta Tunas GUSDURian 2025 saat berkunjung ke Panti Jompo Waluya Sejati Abadi di Jalan Kramat V Jakarta Pusat.

BAKUKABAR.id – Siang itu, Jakarta enggan berkompromi. Matahari menyengat tanpa ampun, membakar aspal dan menyilaukan pandangan. Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, rombongan peserta Temu Nasional Gusdurian 2025 melangkah pelan, menyusuri lorong-lorong sejarah yang tak tercatat dalam buku pelajaran.

Peserta TUNAS GUSDURian 2025 saat berpose bersama di depan panti Panti Jompo Waluya Sejati Abadi

Tujuan mereka bukan gedung megah atau aula ber-AC, melainkan sebuah bangunan sederhana di Jalan Kramat V Jakarta Pusat: Panti Jompo Waluya Sejati Abadi. Bangunan itu berdiri tenang, nyaris tak mencolok. Namun di balik dindingnya, tersimpan luka-luka anak bangsa yang belum sepenuhnya sembuh.

Di sana, sekitar lima 15 lansia menjalani hari-hari senja mereka. Mereka bukan sekadar penghuni panti, tetapi saksi hidup dari babak tergelap republik ini: korban politik 1965, yang pernah disingkirkan tanpa proses hukum, tanpa pembelaan, tanpa suara.

Pak Wardoyo, salah seorang penghuni, menyambut rombongan dengan senyum yang tak lagi menyimpan dendam. Pria kelahiran 1940 ini pernah ditahan selama sebelas tahun di Pulau Buru. Di hadapan para pengunjung, ia menuturkan kisah pilunya kehilangan keluarga yang membuatnya nyaris kehilangan harapan.

Namun di usia senja, ia memilih berdamai dengan masa lalunya yang kelam. “Kami dianggap sampah, tapi kami tetap ingin hidup, meski sebagai sampah. Karena suatu saat, sampah bisa jadi emas,” katanya lirih namun penuh makna.

Wardoyo bukan satu-satunya. Ada Pak Iksa Putra Tegu Budi, yang di usia sepuluh tahun dibuang ke Pulau Buru bersama delapan adiknya. Putra pendiri Semen Gresik ini dipaksa menyusul ayahnya yang lebih dulu menjadi tahanan politik.

Di pulau itu, ia hidup dengan jatah makan hanya 10 kilogram beras. Ketika meminta tambahan singkong, ia justru disiksa tentara karena ketahuan makan singkong. “Gigi saya rempong, gara-gara itu,” ujarnya sambil tersenyum getir.

Ada pula Pak Lukas Timuso, penyintas yang berjasa menyelamatkan naskah Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Kala itu, naskah masih ditulis di kertas semen. Lukas menyelundupkan lembar demi lembar agar sejarah tetap hidup.

Menurut pengakuan mereka, para penghuni panti bukanlah pejuang ideologi. Mereka adalah korban dari perang dingin dan kebiadaban politik yang tak mengenal belas kasihan. Sebagian besar dulunya adalah wartawan, guru, dan warga biasa yang menjalani hidup dengan damai yang kemudian dituduh sebagai anggota Gerwani.

Padahal mereka hanya mendukung Soekarno, bukan komunisme. Tapi sejarah tak memberi ruang untuk klarifikasi. Mungkin karena itu, bagi mereka, panti ini bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah ruang pemulihan, tempat kenangan dirawat dan luka-luka dijahit dengan benang solidaritas.

Di balik kelahirannya, terdapat nama besar KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ia meresmikan panti ini pada 8 Februari 2004. Kendati saat itu kondisi kesehatan Gus Dur sudah mulai menurun, namun semangat kemanusiaannya tetap menyala. Ia datang sendiri, tanpa protokol, tanpa sorotan kamera. Hanya membawa satu hal: cinta pada keadilan.

Pembangunan panti bermula dari keluhan Ibu Sulami Djojoprawiro, tokoh Gerwani, kepada Gus Dur. Ia ingin tempat berkumpul bagi perempuan korban 65 dan korban politik lainnya. Gus Dur menyanggupi, mengusahakan hibah tanah atas bantuan bapak Taufiq Kiemas dan lahirlah panti ini. Dan dari sinilah sejarah yang dibungkam mulai berbicara kembali, lirih, namun tegas.

Kini, para penghuni panti tak lagi memperjuangkan ideologi. Mereka memperjuangkan hidup. Mereka menolak dendam, memilih rekonsiliasi. “Rekonsiliasi hanya bisa terjadi jika ada keterbukaan dan dendam ditiadakan,” ujar salah satu penghuni.

Panti Jompo Waluya Sejati Abadi adalah monumen hidup. Ia tidak hanya berdiri dari batu dan semen, tetapi juga dari keberanian, ketabahan, dan harapan. Di sana, luka anak bangsa tak lagi disembunyikan. Ia dituturkan, dirawat, dan dijadikan pelajaran agar generasi mendatang tak mengulang kekeliruan yang sama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup