Skandal Logo Gorontalo Half Marathon: Dana APBD Mengucur untuk Kegiatan Diduga Ilegal, Pakar Hukum: Ini Bisa Masuk Tipikor
Gorontalo diguncang kabar memalukan. Peluncuran logo Gorontalo Half Marathon 2025 yang awalnya dielu-elukan sebagai simbol prestise dan promosi daerah kini justru memantik amarah publik. Betapa tidak, logo yang dengan bangga diresmikan Gubernur di halaman Rumah Jabatan pada Minggu pagi (13/7/2025) itu ternyata diduga kuat menjiplak desain milik Catalyst, komunitas lari asal Australia. Ironisnya, seluruh acara megah itu dibiayai penuh dari APBD.
Praktisi hukum senior Gorontalo, Salahudin Pakaya, SH, menilai skandal ini bukan sekadar urusan desain yang salah ambil gambar. Ia menyebut ini bom waktu pelanggaran hukum berlapis — mulai dari ranah pidana hak cipta, perdata ganti rugi, hingga kemungkinan merembet ke tindak pidana korupsi (Tipikor).
“Publik harus tahu logika hukumnya. Logo itu terbukti milik Catalyst dan digunakan tanpa izin, maka peluncuran logo sudah berdiri sebagai perbuatan melawan hukum. UU Hak Cipta jelas mengatur ini. Apalagi digunakan untuk kepentingan komersial: sponsor, tiket, merchandise. Ini masuk delik pidana formil, ancaman 4 tahun penjara,” tegas Salahudin, Senin (14/07).
Lebih tajam, Salahudin membeberkan persoalan yang jarang disorot: acara peluncuran itu memakai uang rakyat. “Jangan lupa, semua atribut, panggung, publikasi, baliho, desain, cetakan banner, semua dibiayai APBD. Artinya uang negara dipakai untuk kegiatan yang output-nya melanggar hukum. Itu jelas kerugian keuangan negara. Apalagi kalau ada bukti mark-up anggaran pelaksanaan kegiatan, maka unsur Tipikor terpenuhi. Bisa kena pasal 2 atau 3 UU Tipikor,” katanya.
Skandal ini makin merembet karena tempat peluncuran bukan di jalan umum, melainkan di jantung kekuasaan: halaman Rumah Jabatan Gubernur. Di situ Gubernur berdiri di panggung, meresmikan logo di hadapan sponsor dan publik.
“Begitu acara resmi, maka tanggung jawabnya juga resmi. Tidak bisa hanya Dispora atau panitia disalahkan. Gubernur adalah penanggung jawab kebijakan tertinggi. UU Pemda jelas, kepala daerah bertanggung jawab atas penggunaan APBD,” kata Salahudin.
Sebagai negara anggota Konvensi Bern dan TRIPS Agreement, Indonesia terikat kewajiban melindungi hak kekayaan intelektual lintas negara. Salahudin menilai, jika Catalyst benar-benar menempuh jalur hukum internasional, reputasi Indonesia bisa dipertaruhkan.
“Bayangkan, satu provinsi meluncurkan logo jiplakan, lalu berani-beraninya mau daftarkan ke DJKI sebagai hak milik pemerintah. Ini bisa dianggap memperkaya diri dengan karya orang lain. Di mata hukum internasional, ini mempermalukan Indonesia,” ujarnya.
Lebih runyam lagi, Presiden Prabowo sejak awal masa jabatannya gencar bicara soal perlindungan investor asing dan kepastian hukum di Indonesia. “Kalau skandal ini terbukti, maka ini tamparan keras untuk kebijakan luar negeri Prabowo. Satu acara olahraga yang kelihatannya remeh, justru bisa bikin malu di forum internasional. Australia bisa bawa ini ke meja diplomasi kalau Catalyst merasa dirugikan,” kata Salahudin.
Salahudin menegaskan, meski Dispora berencana merevisi logo, unsur pidana tetap terbuka. “Pelanggaran hak cipta adalah delik pidana formil. Revisi logo itu damage control, bukan penghapus dosa. Jejak hukum tetap ada. Kalau Catalyst mau gugat perdata, mereka bisa menuntut ganti rugi besar. Jika BPK masuk audit, kerugian negara bisa dihitung. Tinggal dilacak siapa yang dapat untung dari desain abal-abal ini,” ungkapnya.
DPRD PROVINSI GORONTALO JANGAN HANYA DIAM
Ia pun mengingatkan, skandal ini seharusnya membuka mata DPRD Provinsi untuk segera menggunakan hak interpelasi atau hak angket.
“Jangan pura-pura tidak tahu. Ini soal uang rakyat, nama baik daerah, dan kepatuhan pada hukum. Kalau terbukti ada unsur kesengajaan, penipuan, atau mark-up, maka pejabat terkait bisa dipecat, bahkan diadili. Gubernur tidak kebal. Ini soal akuntabilitas,” pungkas Salahudin.
Di tengah gembar-gembor Gorontalo sebagai provinsi penuh talenta kreatif, kenyataan pahit ini membuat publik garuk kepala: bagaimana mungkin logo kebanggaan justru diambil dari benua seberang, lalu dipamerkan di rumah jabatan? Yang lebih menohok, semua dibayar dengan APBD. Skandal logo ini bukan cuma soal desain — ini soal martabat hukum, akal sehat, dan harga diri di mata publik internasional.