Stigma kampus keagamaan: Peluang Kerjasama Sempit dan Kurang Inovatif

Kolase : Dosen PTKIN sedang pesimis/Ilustrasi

Risalah Redaksi  – Menurunnya minat masuk kampus Islam (terutama Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri/PTKIN seperti UIN, IAIN, STAIN) bisa disebabkan oleh sejumlah faktor yang saling berkaitan.

Banyak calon mahasiswa (dan orang tua) masih memandang kampus Islam sebagai tempat belajar agama semata, bukan sains atau teknologi. Kampus hanya belajar agama dan banyak yang mengira kuliah di PTKIN hanya mempelajari tafsir, hadis, fiqh, atau ilmu agama semata, padahal ada banyak program studi umum (hukum, ekonomi, psikologi, komunikasi, teknik, dll).

Lulusan kurang relevan di dunia kerja modern sehingga lulusan PTKIN sering dikaitkan hanya dengan profesi keagamaan (ustaz, guru agama, dai), jadi dinilai tidak cocok untuk bidang industri, teknologi, atau bisnis global. Ada anggapan Kampus Islam kerap diasumsikan sebagai lingkungan yang “tertutup”, terlalu disiplin, atau tidak fleksibel, terutama soal penampilan, pergaulan, atau kegiatan mahasiswa. Tidak seprestisius PTN umum Ada anggapan bahwa PTKIN adalah “pilihan kedua” atau “tempat buangan” setelah gagal masuk kampus favorit seperti UI, UGM, ITB, dan lainnya.

Calon mahasiswa enggan mendaftar sejak awal, meskipun sebenarnya tertarik.Orang tua tidak mendorong anaknya kuliah di kampus Islam karena khawatir masa depannya terbatas. PTKIN kehilangan calon mahasiswa unggulan yang seharusnya bisa memperkuat kualitas akademiknya.

Perkuat citra akademik dan riset di bidang umum dan terapan. Tampilkan tokoh dan alumni sukses dari kampus Islam di berbagai bidang. Aktif di media sosial dengan narasi progresif dan inspiratif. Buka program studi kekinian dan kolaborasi internasional. Ciptakan lingkungan kampus yang inklusif, adaptif, dan modern. Universitas besar seperti UI, UGM, ITB, dan lainnya dianggap lebih unggul dari sisi akademik, fasilitas, dan jejaring karier.

Peluang Kerjasama yang dianggap sempit

Lulusan PTKIN sering diasosiasikan dengan profesi keagamaan (guru agama, penyuluh, dai), sehingga dianggap kurang fleksibel di dunia kerja umum. Kurangnya kolaborasi industri: Beberapa PTKIN masih kurang menjalin kerja sama konkret dengan sektor industri atau perusahaan besar.

Meskipun lulusan kampus Islam (seperti UIN, IAIN, STAIN) banyak yang berkualitas, ada beberapa tantangan nyata yang membuat mereka kurang kompetitif di dunia kerja, terutama di sektor industri dan profesional modern.

Banyak program studi masih fokus pada teori keislaman klasik, belum sepenuhnya terintegrasi dengan kebutuhan pasar kerja masa kini. Keterampilan abad 21 (seperti digital literacy, problem solving, atau bahasa asing) belum menjadi fokus utama di sebagian besar program studi.

Minimnya Penguatan Soft Skills dan Kesiapan Karier

Tidak semua kampus memiliki pusat karier (career center) yang aktif membina mahasiswa menghadapi dunia kerja (pelatihan CV, wawancara, magang).

Kegiatan organisasi dan kepemudaan belum difokuskan pada pengembangan leadership dan kewirausahaan.Kurangnya Kolaborasi dengan Dunia IndustriBanyak kampus Islam belum membangun relasi erat dengan perusahaan, startup, dan BUMN, sehingga: Magang terbatas. Link and match antara lulusan dan dunia kerja masih lemah.Tidak ada jalur rekrutmen khusus bagi lulusan PTKIN di perusahaan besar.

Rendahnya Literasi Digital dan Teknologi Lulusan dari jurusan keislaman kadang belum terbiasa menggunakan tools digital, padahal saat ini hampir semua sektor kerja mensyaratkan digital competency. Banyak lulusan tidak memiliki sertifikasi tambahan (seperti bahasa Inggris, public speaking, digital marketing, manajemen proyek, dll) yang diperlukan untuk bersaing di pasar kerja.

Stigma Profesi “Monodisipliner” Lulusan PTKIN sering dianggap hanya cocok jadi guru agama, penceramah, atau birokrat bidang keagamaan—padahal potensi mereka bisa jauh lebih luas jika diberi dukungan lintas disiplin.

Penurunan Minat Gen Z Masuk Kampus Islam

Generasi Z cenderung tertarik pada jurusan-jurusan populer seperti teknologi informasi, desain, bisnis digital, dan studi global—yang masih terbatas di PTKIN. Gaya hidup dan lingkungan kampus: Kampus yang terlalu “formal” atau kurang adaptif terhadap budaya digital bisa terasa kurang menarik bagi calon mahasiswa zaman sekarang.

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi penurunan minat generasi muda untuk mendaftar di kampus-kampus Islam. Fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai dinamika sosial, kultural, dan perkembangan teknologi.

Generasi muda kini lebih tertarik pada karier yang berbasis teknologi, kreativitas, dan entrepreneur digital (influencer, start-up, game developer, data analyst, dll). Jurusan-jurusan “keislaman” seperti tafsir, hadis, atau hukum Islam dianggap tidak sejalan dengan tren karier masa kini.

Generasi Z menyukai fleksibilitas, pembelajaran berbasis proyek, dan pengalaman praktik langsung. Lingkungan kampus yang dianggap terlalu formal, hierarkis, atau kurang adaptif terhadap tren digital dinilai “kurang relevan.”

PTN besar dan kampus swasta ternama (dengan branding kuat dan jurusan populer) lebih menarik secara visual, pengalaman, dan peluang kerja.PTKIN masih belum cukup “menjual diri” sebagai kampus yang modern dan kompetitif secara global.

Generasi muda kini membandingkan kampus lokal dengan universitas luar negeri, baik dari segi fasilitas, kurikulum, hingga exposure internasional.

PTKIN masih terbatas dalam program internasionalisasi seperti dual degree, pertukaran pelajar, atau pengajaran full-English.

Minimnya Representasi Role Model Kekinian Tokoh-tokoh sukses dari kampus Islam jarang dipopulerkan sebagai inspirasi generasi muda. Narasi publik cenderung menampilkan kampus Islam dalam konteks yang terlalu religius, bukan progresif.

Strategi Promosi yang Kurang Inovatif

Kampanye digital lemah: Banyak kampus Islam tertinggal dalam promosi melalui media sosial, influencer, atau pendekatan kreatif yang menjangkau calon mahasiswa di dunia maya. Kurang menunjukkan alumni sukses: Tidak banyak narasi publik yang mengangkat tokoh-tokoh hebat dari kampus Islam untuk menginspirasi calon mahasiswa.

Banyak kampus Islam masih menggunakan pendekatan promosi konvensional yang tidak lagi relevan dengan karakter generasi Z, sehingga gagal menarik minat calon mahasiswa baru secara luas dan beragam.

Terlalu Mengandalkan Brosur dan Spanduk. Masih dominan promosi fisik: brosur, poster, baliho di sekolah atau tempat ibadah.Kurang memanfaatkan media sosial atau platform digital tempat anak muda aktif (TikTok, IG, YouTube, dsb).

Narasi promosi terlalu fokus pada aspek religius (misalnya: “Menjadi generasi Qurani”, “Pusat studi Islam terbaik”) tanpa menjelaskan prospek karier dan keunggulan akademik.

Tidak menonjolkan keunikan kampus atau diferensiasi dibanding kampus lain. Kampus Islam jarang menggandeng alumni sukses, tokoh muda, atau influencer muslim yang relatable dengan calon mahasiswa.Promosi cenderung formal dan kaku, tanpa pendekatan yang “dekat dan ringan”.

Website dan Media Sosial Tidak Aktif atau Ketinggalan Zaman Banyak situs resmi PTKIN tidak user-friendly, jarang update, dan tidak mobile-friendly.

Media sosial (Instagram, Twitter, Facebook) sering digunakan hanya untuk pengumuman formal, bukan engagement. Minim forum tanya jawab, live Q&A, atau webinar interaktif dengan siswa SMA/MA. Tidak ada virtual campus tour, simulasi pendaftaran, atau konten behind-the-scenes kehidupan kampus.

Pilihan Jurusan Terbatas atau Tidak Populer

Jurusan seperti Tafsir, Hadis, Filsafat Islam, dan Sejarah Peradaban cenderung kalah pamor dibanding jurusan seperti Teknik Informatika, Bisnis Digital, atau Komunikasi Visual. banyak calon mahasiswa mengurungkan niat mendaftar ke kampus Islam karena merasa opsi jurusan kurang relevan, terlalu sempit, atau tidak sesuai dengan kebutuhan masa depan mereka.

Jurusan seperti Tafsir Hadis, Fikih, Ushuluddin, Dakwah, dan Pendidikan Agama Islam masih mendominasi di banyak PTKIN.  Meskipun penting, jurusan-jurusan ini dianggap hanya cocok untuk profesi terbatas: guru agama, dai, penyuluh, atau birokrasi keagamaan.

Nama Jurusan Kurang Marketable. Banyak jurusan di PTKIN memiliki nama yang kurang familiar atau terlalu normatif, misalnya: Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,  Komunikasi dan Penyiaran Islam, Manajemen Dakwah. Nama-nama tersebut tidak langsung “klik” di benak calon mahasiswa atau dunia kerja.

Pilihan Lintas Minat Masih Lemah. PTKIN jarang menyediakan jalur lintas minat atau program gabungan seperti: Ekonomi Syariah + Data Analytics, , Hukum Islam + Diplomasi Internasional, Komunikasi Islam + Media Digital.

Lalu apa yang harus dilakukan kampus-kampus islam agar lebih Strategi dan Responsif?

Di tengah tantangan zaman dan perubahan minat generasi muda, berikut adalah langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan dalam beberapa aspek kunci:

Penekanan pada integrasi keilmuan: Agama dan sains tidak dipertentangkan, melainkan saling menguatkan. Menjadikan kampus sebagai pusat peradaban Islam modern: Bukan sekadar tempat kuliah, tapi ruang transformasi sosial.

Branding yang kuat dan positif: Fokus pada unique selling point seperti etika lulusan, integritas, atau kontribusi sosial.Kampanye digital kreatif: Reels, podcast, TikTok dakwah-edukatif, virtual campus tour. Testimoni alumni sukses: Khususnya yang berkiprah di dunia profesional non-keagamaan.

Program studi multidisipliner: Contoh: Ekonomi Syariah + Data Science, Hukum Islam + Legal Tech. Fokus pada skill masa depan: AI, kepemimpinan global, komunikasi lintas budaya, dan kewirausahaan sosial. Magang dan kolaborasi dengan industri: Termasuk startup halal, fintech syariah, atau LSM global.

Kerja sama internasional: Universitas Islam Dunia, institusi riset global, atau NGO multikultural. Adanya hubungan aktif dengan dunia industry agar lulusan diserap lebih cepat dan relevan. Kolaborasi dengan komunitas dan pesantren untuk memperluas basis rekrutmen mahasiswa.

Memperbanyak Kajian kontekstual dan kontemporer mulai Isu gender, lingkungan, HAM dalam perspektif Islam. Unit riset responsif isu kekinian Islam & teknologi, Islam & ekonomi global, Islam & media sosial, termasuk keterlibatan dalam isu public. Kampus menjadi thought leader dalam diskursus nasional dan lokal

Pengiriman dosen ke luar negeri misalnya, kemudian ada pelatihan pedagogi dan digitalisasi pembelajaran. Kampus sebagai komunitas pembelajar, bukan hanya tempat mengajar, juga beasiswa minat-bakat Untuk siswa unggulan di bidang non-keagamaan tapi ingin mendalami nilai-nilai Islam. Sistem informasi akademik berbasis cloud, Portal alumni dan karir. E-learning berbasis nilai Islam progresif. Aktifkan promosi digital lewat platform yang digandrungi anak muda (TikTok, IG Reels, YouTube Shorts), termasuk adanya  role model muda dan inspiratif dari kalangan alumni untuk promosi identitas kampus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup