Supremasi Sipil: Sebuah Refleksi Tentang Realitas dan Harapan
Di banyak tempat, kita sering mendengar narasi tentang supremasi sipil, sebuah konsep di mana masyarakat sipil—atau masyarakat yang bebas dari pengaruh langsung negara atau militer—dianggap sebagai entitas yang memegang kendali atas jalannya pemerintahan. Idealnya, masyarakat sipil adalah ruang di luar struktur formal negara, tempat kebebasan berkembang dan hak-hak individu dihargai. Namun, bagaimana jika kenyataannya tidak se ideal itu? Jika sipil yang memimpin negara hanyalah sebuah gambaran simbolis dan bukan sebuah kenyataan? Dan lebih penting lagi, apa makna sebenarnya dari “supremasi sipil”?
Untuk menggali pertanyaan ini, mari kita mulai dengan merenung pada konsep yang dipaparkan oleh seorang pemikir besar, Antonio Gramsci. Gramsci membedakan dua jenis masyarakat: masyarakat politik dan masyarakat sipil. Masyarakat politik adalah ruang di mana negara beroperasi dengan semua perangkat kekuasaannya, sedangkan masyarakat sipil adalah ruang yang lebih bebas, tempat nilai-nilai sosial, budaya, dan norma berkembang tanpa tekanan langsung dari negara. Namun, dalam banyak kasus, perbedaan ini tidaklah sesederhana itu. Dalam banyak situasi, masyarakat sipil yang seharusnya bebas dari negara justru menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari struktur kekuasaan negara itu sendiri.
Supremasi Sipil: Antara Mitos dan Kenyataan
Ketika kita berbicara tentang supremasi sipil, seringkali kita mengasumsikan bahwa sipil benar-benar berdiri sebagai kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara atau militer. Masyarakat sipil, dalam pengertian ini, seolah memimpin negara dengan kebebasan yang mutlak. Namun, dalam kenyataannya, banyak kasus di mana sipil yang memimpin negara justru berada dalam ikatan kuat dengan kekuatan negara dan militer. Mereka mungkin terlihat sebagai pemimpin yang memiliki kendali penuh, tetapi sering kali mereka terperangkap dalam jaring kekuasaan yang lebih besar, yang mengikat mereka pada sistem aturan negara yang ketat.
Sebuah contoh yang bisa kita lihat di Indonesia adalah bagaimana sipil yang memimpin negara di beberapa periode sejarah justru terbentuk dari pola-pola kekuasaan yang terbatas dan sering kali terikat dengan politik identitas dan kekuatan militer. Ketika seorang pemimpin sipil tampaknya memegang kendali, dia tidak lagi berada dalam ranah masyarakat sipil yang bebas dan terbuka. Sebaliknya, mereka telah berubah menjadi bagian dari struktur negara yang lebih besar, yang sering kali mengarah pada pembentukan kebijakan dan praktik yang tidak jauh berbeda dari yang dijalankan oleh pemerintahan militer.
Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan: apakah benar-benar mungkin ada supremasi sipil yang tulus dan tidak terikat pada negara? Atau apakah itu hanya sebuah mitos—sebuah harapan ideal yang sulit diwujudkan dalam kondisi sosial dan politik yang terfragmentasi?
Gramsci dan Dunia yang Terfragmentasi
Gramsci mengajarkan kita bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya bisa dilihat dari segi struktur formal negara saja, melainkan juga terjalin dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Dalam pandangannya, masyarakat sipil adalah tempat pertempuran ideologi, tempat nilai-nilai dan norma-norma dibentuk. Namun, kekuasaan juga ada di sana, tersembunyi dalam bentuk kebiasaan, tradisi, dan bahkan dalam cara kita berpikir dan bertindak sehari-hari.
Di Indonesia, kita melihat bagaimana politik identitas seringkali mengarahkan arah kebijakan negara. Sektor-sektor dalam masyarakat sipil—baik itu kelompok agama, etnis, atau golongan—sering kali tetap terperangkap dalam sekat-sekat primordial yang menghambat terciptanya masyarakat sipil yang benar-benar inklusif. Dengan adanya sekat-sekat ini, negara menjadi mudah dipengaruhi untuk memihak pada salah satu kelompok, menciptakan ketidakadilan yang semakin mendalam.
Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Gus Dur, “Negara ini bukan milik satu golongan, tetapi milik kita semua.” Tapi, bisakah kita mengatakan bahwa negara benar-benar milik kita semua jika masyarakat sipil kita sendiri masih terpecah oleh garis-garis identitas yang sempit? Jika solidaritas kita masih dibatasi oleh perbedaan agama, etnis, dan golongan, apakah kita bisa menyebutnya sebagai masyarakat sipil yang berdaulat?
Sipil yang Berdaulat: Sebuah Proses yang Belum Selesai
Sipil yang berdaulat bukanlah sebuah konsep yang bisa dicapai dalam semalam. Untuk mencapainya, kita perlu melewati tantangan besar, salah satunya adalah mengatasi sekat-sekat primordial yang menghalangi kita untuk melihat satu sama lain sebagai sesama warga negara yang setara. Saat ini, masyarakat sipil Indonesia masih dibatasi oleh berbagai identitas yang tidak jarang menjadi alat untuk memecah belah dan menghalangi terciptanya keadilan dan kebebasan sejati.
Namun, kita juga harus mengakui bahwa sipil yang berdaulat hanya bisa terwujud jika kita bersedia untuk meruntuhkan tembok-tembok pemisah itu. Kita membutuhkan sebuah masyarakat yang tidak hanya toleran, tetapi juga inklusif, yang mampu menggabungkan keberagaman sebagai kekuatan, bukan sebagai ancaman. Solidaritas yang dibangun harus melampaui identitas-identitas primordial yang seringkali membatasi ruang gerak kita untuk bersama-sama mewujudkan tujuan bersama.
Gerakan Moderasi beragama bisa menjadi salah satu jalan untuk mulai mengikis sekat-sekat sektarian yang selama ini membatasi masyarakat sipil. Dengan memperbanyak ruang perjumpaan yang aktif, moderasi beragama membuka kemungkinan bagi lahirnya pemahaman lintas identitas yang lebih mendalam. Namun, ini hanya mungkin terjadi jika kepentingan politik yang kerap membayangi ide tersebut benar-benar disingkirkan. Ketika moderasi beragama dijalankan secara tulus, ia bisa menjadi arena di mana negara dan masyarakat sipil saling memahami, atau bahkan lebih jauh, menjadi jembatan antar kelompok dalam masyarakat sipil itu sendiri—yang selama ini terkotak oleh warisan identitas, sejarah luka, atau kepentingan kelompok. Dalam perjumpaan semacam itu, harapan akan sipil yang berdaulat bisa mulai dirajut perlahan, melalui pengalaman bersama yang lebih manusiawi.
Refleksi untuk Masa Depan
Jika kita ingin membangun sipil yang berdaulat, kita harus mulai dari diri kita sendiri. Kita harus belajar untuk melihat keberagaman sebagai hal yang memperkaya, bukan memecah belah. Kita juga harus memperkuat sistem pendidikan yang mengajarkan toleransi dan inklusivitas, yang tidak hanya mengajarkan bagaimana hidup berdampingan, tetapi juga bagaimana kita bisa menghargai perbedaan itu sebagai bagian dari kekayaan bersama.
Seperti yang pernah Gus Dur katakan, “Dalam keberagaman, kita bukan hanya harus hidup berdampingan, tetapi juga harus belajar untuk menghargai perbedaan itu sebagai kekayaan.” Sipil yang berdaulat memang sebuah tantangan besar, tetapi bukan berarti sebuah utopia. Ini adalah proses yang terus-menerus berkembang, sebuah perjalanan yang membutuhkan kesabaran, tekad, dan kemauan untuk bekerja bersama, mengatasi perbedaan, dan menciptakan ruang yang benar-benar inklusif bagi semua.
Pada akhirnya, supremasi sipil bukanlah soal siapa yang memimpin, tetapi tentang bagaimana kita, sebagai bagian dari masyarakat sipil, dapat berperan dalam menciptakan negara yang lebih adil, lebih inklusif, dan lebih berdaulat. Sebuah negara yang tidak hanya dipimpin oleh sipil, tetapi juga dibentuk oleh nilai-nilai sipil yang melampaui kekuasaan dan politik identitas, menuju suatu kesatuan yang benar-benar menghargai keberagaman.
Oleh : Pepy Albayqunie (Seorang pecinta kebudayaan lokal dan Jamaah Gusdurian di Sulawesi Selatan yang belajar menulis novel secara otodidak. Ia lahir dengan nama Saprillah)