Wajah dan Jejak Kaki

Seorang alim menyampaikan kisah-kisah kebaikan dalam Agama Islam, salah satu pesannya adalah 'Menjaga lingkungan salah satu anjuran agama, mari jaga lingkungan', katanya di sebuah tempat di Microsoft Designer - Ilustrasi bakukabar.id

Sahabat saya, akademisi sekaligus aktivis dakwah, memposting video pendek putranya dengan konten dakwah di akun media sosialnya. Konten tersebut menunjukkan Fauzil Azhim, santri salah satu pesantren termasyhur di Jawa Timur itu menunjukkan bakat da’i-nya sejak dini. Dari ekspresi dan pilihan kata-katanya menunjukkan bahwa kelak bocah sholeh ini akan menjadi bintang di zamannya.

Sontak postingan di awal Ramadhan tersebut menuai banyak pujian dari warganet: “Pasti ikut jejak papanya”, “Masya Allah sudah pasti ikut jejak ayahnya”, “Masya Allah. Ikut jejaknya ayah”, “Buah takkan jatuh jauh dari pohonnya”, “Memang buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Demikian pujian yang dituliskan Rahmiaty Ismail, Sahmin Madina, Anton Pou, Rahmiyati Abdillah dan Silvana Harun di kolom komentar. Saya pun turut memberi pujian dalam bahasa Gorontalo; “ma baya-baya mola poli”, yang maknanya sama persis dengan “like father like son” dalam bahasanya Paman Sam.

Sejenak, saya terkesima oleh pilihan kata pujian tersebut. Kata ‘baya’, yang berarti ‘wajah’ atau secara spesifik ‘dahi’ dalam bahasa Gorontalo, digunakan untuk memuji seseorang yang memiliki bakat yang mirip dengan ayahnya. Sementara itu, dalam Bahasa Indonesia, kita menggunakan kata ‘jejak’ yang merujuk pada langkah kaki. Meskipun frasa ‘ma baya-baya’ atau ‘mo’o baya’ dalam bahasa Gorontalo memiliki arti yang sepadan dengan ‘ikut jejak’, perbedaannya terletak pada kedalaman maknanya. Saya sangat tertarik untuk menyelami makna itu dengan menggunakan kacamata selam “Tafsir Kebudayaan” karya Clifford Geertz.

Wajah atau dahi terletak di bagian paling atas dalam struktur anatomi tubuh manusia, sementara kaki yang meninggalkan jejak berada di posisi paling bawah. Pilihan terhadap bagian tubuh yang berbeda dalam dua bahasa ini bagaikan langit dan bumi. Orang-orang tua Gorontalo (mongo panggola) memilih untuk memuji dengan frasa organ teratas, sedangkan bahasa nasional kita lebih memilih frasa organ bagian bawah. Dari sudut pandang ini, bagian yang teratas biasanya diidentikkan dengan kemuliaan, sementara kaki tak jarang diasosiasikan dengan kehinaan. Namun, Wulatipo… tunggu dulu guys!

Kata ‘wajah’ atau ‘dahi’ dalam pujian ini menggambarkan bahwa anak-anak, sebagai pewaris orang tua, selalu mendengarkan petuah dengan cara memandang wajah orang tua saat mereka dinasehati. Dalam momen ini, keduanya berhadap-hadapan, tidak saling membelakangi. Sementara itu, mengikuti jejak berarti memberi contoh tanpa perlu kata-kata. Dalam konteks ini, posisi sang ayah yang melangkah di depan tentunya membuatnya membelakangi anak. Langkah besar ayah yang bergegas membuat langkah kecil anak tertinggal jauh di belakang, sehingga sang anak terpaksa merunduk untuk mengikuti jejak kaki ayahnya yang telah jauh meninggalkannya.

Artinya, mengikuti jejak adalah metode memberi contoh dalam mendidik anak. Dalam banyak kasus, setelah sang ayah mencapai kesuksesan dalam karirnya, barulah sang anak terinspirasi untuk mengikuti jejaknya. Persis apa yang terjadi dalam kisah Mulyono dan Samsul, walaupun terkesan penuh rekayasa. Sementara itu, ‘baya-baya’ merupakan metode pendidikan yang lebih langsung, di mana sang ayah tiada henti memberikan nasihat, petuah, dan pembelajaran secara lisan. Dia tidak akan membiarkan anaknya tersesat dalam perjalanan hidup. Sebagai gantinya, dia memastikan bahwa anaknya telah memahami dan menghayati pesan-pesannya sebelum akhirnya mulai meninggalkannya.

Tafsir selanjutnya adalah ketika posisi wajah atau dahi yang berada di atas saat menghadap Allah dalam sholat, namun secara tiba-tiba menjadi posisi paling bawah saat bersujud, setara dengan kaki. Melalui dahi pula, kita dapat mengetahui apakah seseorang sebagai ahli sujud atau tidak. Dengan demikian, frasa ‘ma baya-baya’ atau ‘mo’o baya’ identik dengan mencontoh secara spiritual, sementara ‘ikut jejak’ lebih merujuk pada mencontoh tindakan atau sepak terjang seseorang.

Tafsir lain dari meletakkan dahi dalam posisi terendah adalah, meskipun karir seseorang sudah berada di puncak, ia tetap harus rendah hati. ‘Makin berisi, makin merunduk,’ demikian pepatah lama yang mengingatkan kita betapa pentingnya sikap rendah hati.

Lalu, bagaimana dengan kaki? Jangan sekali-kali diremehkan yaa. Meskipun posisinya paling rendah, berkat sepasang kaki Lionel Messi, negara Argentina kembali merayakan kemenangan Piala Dunia untuk ketiga kalinya dalam sejarah persepakbolaan dunia. Waaw, sebuah pencapaian yang luar biasa berkat kelihaian kaki menyepak terjang!

Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si – (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup