Wawancara Eksklusif: Potret Perempuan Indonesia Bersama Desie Christyana Sari

Desie Christhyana Sari - (Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta)

Bakukabar.id, Nasional – Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Demokrat, Desie Christhyana Sari menyampaikan pandangan-pandangan dan buah pemikirannya tentang politik dan isu gender di Indonesia.

Wanita berparas ayu itu juga menjelaskan soal tantangan dan motivasi bagi kalangan Perempuan untuk berani tampil, berkiprah di kancah politik. Perempuan akan memperluas manfaat dan eksistensinya untuk masyarakat banyak.

Bertepatan dengan momentum Hari Kartini, Wawancara Eksklusif  ini berupa tanya-jawab yang disampaikan Desie Christhyana Sari, saat redaksi bakukabar.id datang menemuinya di ruang kerjanya, Senin (21/4/2025), kemarin.

Pengalaman Pribadi & Tantangan

Ketika ditanya apakah bisa ia berbagi momen spesifik dalam karier politik di mana norma gender sangat memengaruhi bagaimana Ibu dipersepsikan atau diperlakukan?

Ia menjawab, bahwa Dalam banyak kegiatan, baik sebagai anggota DPRD DKI Jakarta maupun sebagai pengurus Partai Demokrat, ia selalu membangun kapasitas dan berusaha meng-upgrade kemampuan diri agar semakin kompeten.

“Sebab dengan kompetensi itulah, kita sebagai Perempuan akan dihargai dan diperlakukan dengan baik. Tidak ada yang berani memperlakukan secara diskriminatif karena kita akan disegani dengan kualitas diri kita juga”, Desie Christhyana.

Makanya, kata Desie, secara spesifik, hal itu telah ia tunjukkan dengan sikap yang kritis, objektif, dan memberikan solusi-solusi terbaik atas berbagai masalah yang ada. Semua untuk mengabdi kepada masyarakat.

Lalu bagaimana interseksionalitas gender dengan identitas lain (ras, kelas sosial, atau usia) memengaruhi pengalaman politik menurutnya?

Desie menjawab, bahwa sebagai orang politik, ia harus hadir dan bergaul dengan segala kalangan dan komunitas. Artinya tidak membeda-bedakan suku, ras, agama, dan golongan. Bahkan bicara dengan tendensi SARA terasa sangat tabu bagi saya.

“Sebab kita sudah final dengan Pancasila. Maka dalam pergaulan politik, sejauh pengalaman saya tidak ada hambatan berkaitan isu SARA. Bahkan kalau pun ada, akan saya hadapi dan luruskan”, terang Desie.

Ketika ditanya apakah ia pernah merasa tertekan untuk menyesuaikan gaya kepemimpinan tertentu karena ekspektasi masyarakat terhadap perempuan?

Desie bercerita, bahwa pada awal-awal tentu ia merasa gugup. Baginya hal itu itu manusiawi ketika masuk pada tantangan baru. Tapi semua bisa ia lalui dengan adanya keyakinan dan dukungan dari semua orang.

“Bahkan pada akhirnya saya sempat duduk sebagai Ketua Fraksi DPRD dan Sekretaris Partai Demokrat DKI Jakarta. Ilmu tentang karakter dan kepemimpinan itu akhirnya ditempa dengan berbagai tantangan, bahkan pengorbanan dan air mata. Maka kuncinya adalah keyakinan dan motivasi untuk berbuat baik dan bermanfaat bagi banyak orang. Itu kata kuncinya”, terangnya.

Hambatan Struktural dan Sistemik

Institusi politik dan sistim pemilu saat ini masih memperkuat ketimpangan gender dan bagaimana tanggapan Anda?

Menurutnya, sejauh ini sudah ada kemajuan bagi Indonesia soal gender, walaupun masih ada persoalan di bagian lainnya. Tapi secara prinsip bahwa tantangan itu juga harus dijawab dengan diri kita sendiri.

Sebab sebesar apa pun peluang yang dibuka, kalau kita tidak meningkatkan kapasitas diri maka akan menjadi sia-sia.

Demikian juga sebaliknya, seberapa pun kita mampu dan kuatnya kalau kesempatan itu ditutup maka akan sangat sulit.

Intinya, lanjut Desie, sekarang ini kita sebagai perempuan, khsusunya saya pribadi akan terus meng-upgrade diri dan kemampuan saya

“Sebab Rasullah SAW bersabda: barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dia orang yang beruntung. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin maka dia orang yang rugi. Dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari kari kemarin maka dia orang yang dilaknat”, katanya.

Lalu seberapa besar peran struktur kekuasaan informal, seperti jaringan politik dan mentorship, dalam memfasilitasi atau membatasi partisipasi politik perempuan?

Ketika bicara kekuasaan informal, Desie kerap kali menemukan hambatan pada karakter masyarakat, tradisi dan budaya.

Dalam hal ini, kalangan perempuan seringkali dianggap kaum kelas dua, kaum lemah yang bisa diperlakukan seenaknya.

Pada kondisi seperti ini, maka ia harus menunjukkan power juga. Bahwa perempuan juga bisa jauh lebih baik dan lebih berprestasi dari yang lain. Maka sekali lagi, kemampuan dan kapasitas diri bagi perempuan itu sangat penting.

“Sebab dengan menduduki posisi pada pengambilan kebijakan, maka kita bisa mewujudkan pula adanya keadilan dan kesamaan hak dan kewajiban. Hal ini harus diperjuangkan melalui lembaga informal juga”, pungkasnya.

Ketika ditanya Apakah ia merasa media memperlakukan politisi perempuan secara berbeda dibandingkan laki-laki?

Media menurutnya, kini berkembang begitu pesat. Eksistensi media massa pun akan berhadapan dengan perkembangan masyarakat dan tentu saja perkembangan teknologi.

“Justru saat ini media sosial yang semakin dominan dan perkasa, sehingga yang terjadi justru ini menjadi tantangan”, terangnya.

Desie melanjutkan, bahwa kita memperlakukan dan menamoilkan diri kita sendiri di media sosial, maka itu akan menjadi cermin bagaimana orang akan memperlakukan kita.

Kebijakan & Advokasi

Ketika ditanya soal kebijakan atau perubahan legislatif, apa yang paling mendesak untuk meningkatkan representasi dan partisipasi perempuan dalam politik?

Desie menjawab, bahwa yang paling utama saat ini adalah pendidikan politik bagi perempuan.

Menurut ia, bahwa perlu ada kewajiban bahkan desakan malui aturan, bahwa memberi kesempatan dan pendidikan politik bagi perempuan wajib dijalankan Partai Politik.

“Kemudian soal peranan dan ruang ekspresi perempuan itu sendiri harus dibuka selebar-lebarnya’,

“Dan Alhamdulillah, di Partai Demokrat melalui Ketua Umum kami bapak Agus Harimurti Yudhoyono, keterwakilan dan raung ekspresi bagi perempuan sangat dibuka selebar-lebarnya. Itu yang membuat semua nyaman dan betah berjuang bersama Partai Demokrat”, papar Desie

Seberapa efektif kebijakan kuota gender dalam meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik, dan apa keterbatasannya?

Memang sudah ada aturan soal persentase keterwakilan perempuan, baik sebagai caleg maupun dalam kepengurusan.

Tapi harus ada penekanan juga bahwa posisi yang diberikan itu juga yang strategis. Misalnya caleg perempuan jangan dikasi nomor sepatu, kader perempuan jangan mentok sebatas anggota.

“Tapi Alhamdulillah, kamu di Partai Demokrat semua diposisikan dengan sama. Ketua Umum Bapak AHY sayang membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi kami Perempuan untuk berkarya dan berprestasi. Itu sangat baik yang kami rasakan di Partai Demokrat”, katanya.

Lalu Apa saran Anda untuk perempuan muda yang ingin terjun ke dunia politik tetapi ragu karena hambatan gender?

Ia menjawab, bahwa untuk kalangan perempuan di mana pun, kita harus meneguhkan hati bahwa kita bisa. Yakinlah bahwa politik adalah jalan bagi kita untuk mengaktualisasi diri, tanpa harus menghilangan kodrat kita sebagai wanita.

“Apalagi di zaman modern dan semua serba digital, kesempatan bagi kita untuk menunjukkan bahwa perempuan Indonesia itu hebat-hebat”, katanya

Perspektif Global & Budaya

Bagaimana sikap budaya terhadap perempuan dalam kepemimpinan berbeda di berbagai wilayah atau sistem politik?

Menurutnya, Indonesia kental dengan budaya patriarki. Tapi itu bukan lagi sesuatu yang menjadi alasan bagi perempuan untuk tampil. Banyak sekarang perempuan unggul dan membuktikan kualitas sebagai pemimpin yang baik.

“Perbedaan budaya dan karakter antar-daerah juga semakin tergerus. Sebab saat ini era global, semua bisa diakses dengan mudah melalui teknologi digital. Tak ada yang bisa hidup menyepi dan lepas dari pergaulan global”, katanya.

Lalu pelajaran apa yang bisa diambil dari negara-negara dengan partisipasi politik perempuan yang tinggi dan diterapkan di tempat lain?

Ia menjawab, bahwa pelajaran terpenting adalah kita harus yakin bahwa Perempuan Indonesia itu bisa dan hebat. Banyak buktinya. Tidak hanya dalam politik negara lain. Di negara kita pun banyak pemimpin perempuan yang hebat.

Peran Pemuda & Pendidikan dalam Politik

Tanya: Berdasarkan pengalaman Ibu, bagaimana sikap generasi muda, terutama mahasiswa dan pelajar, terhadap perempuan dalam politik? Apakah ada perubahan signifikan dibandingkan generasi sebelumnya?

Di kalangan pemuda, menurut Desie, saat ini justru harus ditekankan pada masalah hubungan sosial yang mulai menjauh dari etika dan budaya bangsa kita. Termasuk bagi perempuan muda.

Misalnya, kata Desie, di media sosial, perempuan harus bijak. Jangan mudah mengambil contoh atau meniru-niru karakter negatif yang tampil di media sosial. Kaum perempuan harus membangun dan belajar pada karakter Luhur nenek moyang kita.

Apakah sistem pendidikan saat ini cukup mendorong kesadaran politik di kalangan pemuda, khususnya terkait representasi perempuan dalam kepemimpinan? Jika tidak, apa yang perlu diperbaiki?

Ia mejelaskan, bahwa sistem pendidikan harus adaptif pada perubahan. Termasuk di bidang politik. Jadi makin banyak perempuan melek teknologi, tapi sangat sedikit yang melek pada politik. Disinilah pendidikan harus hadir mengisi ruang-ruang kosong pada pendidikan politik. Jadi saat pendidikan politik di sekolah-sekolah masih jauh dari harapan.

Seberapa penting representasi perempuan dalam politik bagi generasi muda? Apakah kehadiran perempuan di posisi kepemimpinan benar-benar dapat mengubah pola pikir mereka terhadap politik?

Bagi Desie, jelas sangat penting. Sama pentingnya dengan seberapa penting perempuan muda ikut menentukan nasibnya dan nasib keluarga dan anak anaknya kelak. Dan dalam skala lebih besar, ikut menentukan nasib bangsa Indonesia kedepan. Jadi kalau ditanya seberapa penting perempuan muda masuk politik. Ya sangat sangat penting. Gitu loh.

Pengaruh Latar Belakang Keluarga & Sosial-Ekonomi

Seberapa besar pengaruh latar belakang dan dukungan keluarga terhadap keputusan perempuan muda untuk terlibat dalam politik? Dan apakah hal tersebut merupakan faktor penting dalam kesuksesan perempuan di dunia politik?

Penilaian Desie, bahwa faktor dukungan keluarga adalah elemen terpenting bagi setiap orang. Bukan hanya bagi perempuan, tapi bagi setiap orang.

“Tapi khusus bagi perempuan, dukungan keluarga itu menjadi nomor satu, karena residu dari mindset lama yang menomorduakan perempuan itu masih ada, maka dukungan dari keluarga sangat penting. Baik dukungan moral, support, dan dukungan ekonomi”, tutup Deise

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup